Beautiful Woman
Lyla masih asyik mencacat beberapa hal yang penting dari beberapa buku penunjang skripsi. Semester akhir ini ia harus bisa menyelesaikan skripsi dan wisuda tahun ini juga. Namun, fokusnya kali ini benar-benar terpecah karena bayang-bayang dirinya segera menikah dengan ... Radit!
Astaga! Kenapa harus laki-laki menyebalkan yang penuh rumor itu? Raditya Bagaskara. Laki-laki berstatus mahasiswa akhir di kampus sama dengan Lyla. Dan sayangnya, Lyla tak begitu mengenal Radit selain rumor dirinya yang memiliki kesenangan dengan dunia malam dan ....
"Hai, La!"
Suara pekikan gadis berambut panjang dan hitam legam itu membuyarkan pikiran Lyla. Beberapa mahasiswa yang tengah asyik membaca buku di perpustakaan itu langsung memberikan kode dengan desisan; meminta Riana memelankan suara.
Riana nyengir, kemudian ia mengangguk meminta pemakluman dari pelototan mata sang pustakawan yang duduk di balik meja administrasi. Sementara Lyla hanya berdecak kesal, mengibaskan sentuhan tangan Riana dari lengannya.
Riana mengerjap. "Lo marah sama gue?" tanya Riana seraya menurunkan tas selempang dari bahu ke atas meja.
Lyla masih bergeming, berpura-pura sibuk dengan buku dan catatan di hadapannya. Sesekali ia berkomat-kamit seolah menunjukkan keseriusan membaca, agar Riana berhenti banyak tanya.
"Lyla, serius, ih! Sorry, gue nggak bisa ngebohongin papa elo waktu telepon gue pagi itu." Riana menggoyang bahu Lyla dengan suara berbisik.
Detik berikutnya, gadis blasteran itu menggeram kesal seraya membanting bolpoint ke atas buku. "Bisa diem nggak, sih, lo?"
Riana menipiskan bibir sembari menyelipkan rambut ke balik telinga. "Oke, maaf buat kejadian malam itu. Habis lo mabuk nggak kebangetan."
Lyla mendesah, menengadahkan kepala sejenak demi menatap langit-langit perpustakaan sebentar. Lalu, ia menoleh ke arah Riana. "Lo nggak bisa bawa pulang gue ke apartemen lo gitu? Sengaja banget ninggalin gue di hotel berdua sama Radit. Gue sama Radit ... gue ...." Lyla bingung harus menjelaskan bagaimana.
Sontak mata Riana langsung membulat sempurna. "Lo sama Radit ... udah ...." Riana mengangkat kedua tangan dan memperagakan tanda kutip di udara.
Seketika itu juga Lyla menabok lengan Riana. "Nggak!" sangkalnya.
Riana mendadak dramatis, mengelus dada lega sembari meletakkan kepala ke meja. "Syukur deh," lanjut Riana, "terus kenapa lo masih marah sama gue?"
Lyla yang hampir menggusap rambut mendadak bergeming. "Syukur? Lo bilang syukur? Gue sama Radit itu—"
Lyla menghentikan ucapan berbisiknya ketika seorang wanita tiba-tiba duduk di kursi yang berseberangan dengan Lyla. Ia menggigit bibir, melirik sekilas wanita berpenampilan keibuan itu. Kemeja putih berbalut scraft di leher, rambut sebawah bahu yang terikat rapi, dan mata teduh sarat kelembutan. Wajah itu sungguh membuat siapa saja yang menatapnya merasa nyaman.
Riana berdeham, mendadak dirinya merasa kikuk. Lyla secara spontan mendelik padanya dan meminta dirinya untuk tetap tinggal. Namun, sahabatnya itu lebih memilih berkhianat dan mengangguk sopan pada dosen wanita yang tengah meletakkan tas di meja itu, kemudian beranjak pergi.
Mata Lyla memejam dengan kedua tangan mengepal. Astaga, kenapa juga hidupnya menjadi rumit begini gara-gara ulah konyol sahabatnya di pesta liar itu? Lyla terus merutuki diri dan Riana. Berharap sepulang dari kampus ia segera menemukan Riana dan mencekiknya hingga kehabisan napas. Lyla mendesah pasrah, kemudian berpura-pura sibuk dengan buku dan catatan.
"Apa kabar Lyla?" Anita, dosen berparas ayu itu menyapa sembari ikut sibuk mencatat sesuatu di buku kunjungan perpustakaan.
Lyla menghentikan aktivitas, menatap wanita cantik beraroma parfum feminine, sekilas. "Baik, Bu," sahutnya setelah menghela napas perlahan.
"Bagaimana dengan proposal skripsimu? Apa ada yang perlu dikonsultasikan?" Anita masih bertanya sembari sibuk mencatat.
Demi menghormati dosen tercantik di kampus ini, Lyla kembali mendongak, dan menatap lawan bicara yang kini sama mendongak.
"Lancar."
"Aku harap juga begitu," pungkas Anita diiringi senyum tipis.
Ah, demi Tuhan! Senyum wanita berdarah Jawa ini sungguh memikat. Bahkan Lyla yang sesama wanita saja mengakui bahwa ia cantik.
Tidak ada yang bisa Lyla lakukan kecuali membalas senyumannya dengan anggukan dan balas tersenyum. Namun, beberapa detik setelah wanita itu berlalu ke meja administrasi perpustakaan, ketika Lyla menatap punggung Anita, mendadak nyalinya ciut.
Oh, bahkan wanita itu memiliki tubuh yang teramat proporsional. Lyla menggeleng kepala sembari menggigit bibir. Apa yang sedang ia pikirkan? Apa pedulinya dengan wanita itu? Sebelum ia melantur lebih jauh, dengan segera Lyla mengemas buku yang berserakan di meja, menjejalkannya ke dalam tas ransel, kemudian segera pergi.
**
Gerimis turun membasahi jalanan yang semula tertimpa terik matahari. Aroma aspal kering yang mulai basah tercium. Lyla menghirup udara lebih dalam. Ah, hujan seperti ini memang membuat siapa saja suka menikmati udara yang mulai mendingin.
Bahu Lyla mengedik, merogoh saku celana jins lebih dalam. Ia sempat mencari sesuatu dari saku ransel setelah berhasil meraih rokok dari saku. Begitu ia mendapatkan benda kecil itu, Lyla menyulut ujung rokok dan mengisapnya perlahan. Hanya saat di luar rumah begini ia bisa merokok. Di depan papa, ia masih berusaha menutupinya. Sudah cukup ia membuat resah dengan pulang mabuk.
Tidak. Lyla sungguh tidak menginginkan menjadi seperti ini. Hanya saja dengan membuatnya hilang kesadaran, ia sedikit bisa melupakan perkara pelik dalam keluarganya. Mendengar mama yang terkadang menangis tersedu di balik pintu kamarnya, melihat wanita itu menyembunyikan air mata. Sungguh, semua itu membuat Lyla hampir gila. Jika papa tak mencintainya, tidak bisakah melepaskan ibu tirinya itu?
Mata Lyla berkaca-kaca, sejumput kesedihan yang ia tahan ingin sekali ia tumpahkan. Ingin sekali ia bagi, tapi pada siapa?
Harusnya mommy tak meninggal begitu cepat.
Ya Tuhan, apa Lyla mulai merutuki takdir sekarang? Lyla mengembuskan napas perlahan sembari menengadah agar air mata tidak tumpah. Ia kembali mengisap batang bernikotin di cepitan dua jari tangan kanan.
Namun, saat manik mata hazel Lyla menangkap sosok berpayung merah dari ujung jalan menuju halte, ia buru-buru membuang rokok dan menginjak hingga padam. Ia berdeham dan memasukkan dua telapak tangan ke dalam saku jaketnya.
"Sedang menunggu jemputan atau angkutan umum?" Anita bertanya sembari melipat payung merahnya. Ia mendesah, menatap Lyla dari ujung kepala hingga kaki. Sisa kepulan asap rokok masih mengepul di sekitar gadis yang kini mengerjap menatap datar padanya.
Ah, lagi-lagi Lyla terlihat buruk dan merasa menjadi perempuan jauh dari idaman laki-laki. Mengapa Ibu Dosen cantik ini selalu sanggup menciutkan kepercayaandirinya semenjak ia mengenal Radit?
Lyla menghela napas. "Menunggu angkutan umum," sahut Lyla kemudian.
Anita mengangguk dan tersenyum simpul. Sebuah klakson mobil sport di ujung jalan menyadarkan dirinya untuk menoleh. Mobil itu berhenti dengan jarak agak jauh dari halte. Anita melambai, lalu kembali membuka payung merahnya.
"Saya duluan," pamitnya.
Lyla hanya mengangguk samar. Gadis itu mendesah menatap dari kejauhan bagaimana si lelaki dengan rela menerobos rintik gerimis dan membukakan pintu mobil. Romantis.
Setelah dua orang itu masuk ke dalam, mobil itu tak lekas melaju. Ada jeda beberapa waktu hingga mobil itu kembali melanjutkan perjalanan.
Apa yang sedang dua sejoli itu lakukan di dalam mobil?
Kepala Lyla menggeleng dan memejamkan mata kuat-kuat. Ia begitu lancang membayangkan hal yang tidak-tidak. Come on, Lyla! Who are you? Siapa kamu memikirkan mereka terlalu jauh? Ibu Dosen itu juga memiliki kehidupan pribadi yang mahasiswanya tidak berhak tahu, bukan?
"Bukan urusan gue! Bukan! Bukan!" Lyla menepuk-nepuk kedua kepala dengan kedua telapak tangan.
Lyla terkesiap saat mobil yang membawa dosen cantiknya melewati dirinya perlahan dan membunyikan klakson sekali. Mendadak tubuh Lyla lemas dan terduduk di kursi panjang halte, menatap mobil hitam yang menjauh darinya.
Apa Radit juga akan bersikap seromantis itu padaku?
Pikiran Lyla kembali melayang, tanpa sadar ia semakin membandingkan dirinya dengan segenap wanita cantik di dunia. Siapa pula lelaki yang mau bersanding dengan wanita yang hobi menenggak alkohol bergelas-gelas? Siapa pula lelaki yang mau hidup bersamanya yang sama sekali jauh dari sikap lemah lembut? Ah, otak Lyla hampir rusak memikirkan kesiapan dirinya menjadi istri Raditya Bagaskara.
**
Hampir tiga puluh menit berlalu, Lyla masih terpekur di halte depan kampus. Ia masih malas menaiki angkutan umum yang beberapa kali ini lewat. Biar saja mama dan papanya cemas putrinya tak langsung pulang. Lyla akan memberlakukan malas pulang ke rumah selama kedua orang tuanya masih memberlakukan perjodohannya dengan Radit.
Hujan yang semula rintik kian menderas. Lyla mendesah malas. Sahabatnya Riana sudah berulang kali menelepon ke ponsel Lyla, tapi ia enggan menggulir icon hijau dari telepon genggamnya. Tidak, ia sedang marah besar dengan Riana. Ponsel kembali ia rangsekkan ke dalam tas dan mengabaikan beberpa kali panggilan masuk berikutnya.
Kedua tangan Lyla bertumpu di atas lutut, matanya menatap kosong ke arah paving yang ia pijak. Namun, ketika sepasang kaki berbalut sneakers hitam bertengger di sana, kelopak mata Lyla mengerjap.
"Lo nggak bisa angkat telepon gue?" Laki-laki yang sekarang berdiri di depan Lyla itu bertanya dengan nada kesal sembari mengacak rambut yang terkana rintik hujan. Kedua bahunya basah, mungkin ia berlari dari ... ah, iya benar. Mobilnya berhenti agak jauh dari halte seperti dugaan Lyla.
Lyla mengamati mobil Radit yang berhenti sedikit jauh dari halte. Kenapa ia tidak berhenti di depan halte saja?
Tanpa berpikir panjang, Lyla mengambil kembali ponsel dari dalam tas. Kemudian membuka notifikasi panggilan dan chat. Ada tiga kali panggilan dari Radit dan satu chat darinya. Gadis berbalut jaket berbahan denim itu membaca sejenak chat dari Radit.
"Ngapain ke rumah lo?" Lyla menoleh ke kanan pada Radit yang telah duduk di sampingnya.
Radit hanya mengedikkan kedua bahu. "Eyang sama Mama yang minta ajakin lo ke rumah."
Lyla mendesah malas. Namun, ia segera bangkit. "Buruan kalo gitu. Gue nggak mau kena marah eyang lo yang galak itu," celetuk Lyla.
Radit terkikik geli, tetapi ia buru-buru meralat kikikannya dengan senyum simpul saat mata Lyla mendadak memelotot garang.
**
Suasana di dalam mobil tampak hening. Lyla masih sama seperti biasa. Gadis yang tengah duduk di samping Radit itu hanya diam seraya menatap ke luar jendela. Sekaku inikah calon istrinya? Kalau iya, Radit bisa gila. Apa mungkin Lyla masih canggung berada di sampingnya sehingga ia belum lepas bersikap di depan Radit?
"Kalo menurut gue, pacar lo udah cantik. Kenapa lo nggak nikah sama dia aja?"
Pernyataan Lyla yang tiba-tiba itu membuat Radit menoleh sebentar sebelum ia kembali fokus pada setir mobilnya. Ya, siapa pun yang tahu kekasih Radit itu memang akan bilang cantik. Wanita tercantik dengan sikap lembut yang membuat Radit tergila-gila sejak pertama mengenalnya.
"Pacaran nggak menjamin orang itu bakalan jadi jodoh kita, kan, La?"
Kelopak dengan bulu mata lentik itu mengerjap beberapa kali, lalu menatap Radit bingung. "Lo nggak serius pacaran?"
Radit menginjak rem mobil saat lampu merah di pertigaan jalan menyala. Ia menghadapkan tubuh ke arah Lyla dan menatap sejenak ke dalam manik hazelnya.
"Kalo gue nggak serius nggak mungkin bisa bertahan sampai selama ini, kan?"
Dua tahun. Radit dan kekasihnya menjalin hubungan ini selama itu, meski Eyang Kasih sama sekali tak menyukainya. Bahkan eyang Radit itu berharap Radit segera memutus hubungan itu. Namun, cucu Eyang Kasih itu enggan melepas hubungan yang bagi orang-orang keramat itu. Hingga acara perjodohan ini hadir karena ulah sahabat Radit dan Lyla. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengakhiri semua meski terasa perih. Lyla. Gadis di sampingnya bisa menjadi alasan kuat kenapa ia harus melepas kekasihnya, demi kebahagiaan malaikat kecil yang tak menginginkan bernasib sama dengan Radit.
"Terus?"
Radit mengembuskan napas perlahan. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil. Ia sedikit ragu. "Ya ... itu tadi. Mungkin dia bukan jodoh gue. Tapi ...," sambung Radit, "elo."
"What?! Maksud lo?!" Lyla mendadak kaku. Ia buru-buru sama menghadapkan tubuh ke arah Radit. "Lo mau terima perjodohan konyol ini?"
Radit mendesah pasrah, ia melajukan mobil perlahan saat lampu hijau menyala. Kemudian secara perlahan pula ia mengangguk.
"Nggak! Gue nggak siap! Gila aja lo! Gue nggak cinta sama elo! Dan lagi gue belum siap jadi istri, belum siap menyandang nama belakang suami gue, belum siap hamil, belum siap punya anak! Gue—"
"Siapa suruh elo hamil duluan? Kalo itu juga gue belum siap," potong Radit sembari menyandarkan kepala ke kaca jendela mobil dengan malas.
"Terus pacar cantik lo gimana? Nggak! Gue nggak mau ambil risiko!" Lyla masih histeris dan terus menggelengkan kepala, putus asa.
"Ya pacar gue urusan gue, lah. Lo cukup persiapin diri aja."
Lyla menoleh dengan tatapan tajam. "Gila lo, ya! Lo nggak tahu siapa pacar lo itu? Masa depan gue ada di tangan dia! Gue nggak mau disangka kurang ajar karena main rebut pacar orang!"
Namun, Radit hanya bisa mengedikkan bahu pasrah, membuat Lyla tak sanggup berpikir lagi. Bagaimana lagi menolak perjodohan ini bila Radit sudah bisa menerimanya?
Gadis itu menghempaskan punggung ke sandaran jok mobil. Ia tampak menggigit jemari telunjukknya dengan cemas. Melihat gelagat cemas gadis di sampingnya, Radit sama menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan berbisik dalam hati tentang sebuah kata untuk calon istrinya.
Maaf ....
**
(10-05-2018)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top