Bagian ; 2.1
[Part 11 full version sudah bisa kalian baca di Karyakarsa kataromchick, ya. Pecinta kisah pelik mari merapat. Kalian bisa kasih komentar juga buat part terbaru di Karyakarsa kataromchick.]
Melihat wajah sang istri yang terlelap dengan kadar kecantikan yang tak luntur dimata Tamran... bagai sebuah mimpi. Mereka memang menjadi satu. Sepasang. Namun, tidak menutup kemungkinan hal tersebut hanya sebuah mimpi yang tak akan lama keberlangsungannya. Tamran tahu dirinya adalah pria jahat. Sayangnya dia tidak bisa mundur lagi hanya karena perempuan yang dirinya peluk kini lebih berarti?
Belakangan, Tamran suka sekali mengusap pipi perempuan itu ketika sesi bercinta mereka usai. Ketika Marina lebih dulu terpejam dan rasa lelahnya tak bisa ditandingi dengan keberadaan sang suami. Tamran juga semakin sulit memejamkan mata dengan cepat meski tubuhnya begitu lelah. Bayangan demi bayangan Marina yang sudah dia sengaja dekati karena taruhan yang teman-temannya lakukan membuyarkan ketenangan Tamran.
Dipikir lagi, mengapa dirinya peduli dengan keberadaan Marina? Padahal sejak awal memang Tamran hanya menggunakan perempuan itu sebagai bahan mainan. Memangnya ada seorang pemain ulung memikirkan bahan yang dipermainkan dengan sebegini lekatnya?
Tamran yang tidak benar-benar pada pikirannya mendengar suara tanya Marina yang sukses membuyarkan lamunannya. "Kok belum tidur?" suara serak Marina mengingatkan Tamran betapa perempuan itu terlalu sering meneriakan namanya sepulang kerja sore tadi.
Dikecupnya bibir Marina. Tak tahu apakah itu akan menjadi pengaruhnya agar cepat tertidur atau justru menambah sulit tidur seorang Tamran. Tak dipedulikannya bagian itu. Yang terpenting, Marina berada dalam pelukannya.
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Marina ulang.
"Hm. Aku mikirin kamu." Kata Tamran membuat kening istrinya berkerut.
"Aku? Kenapa mikirin aku?"
Tamran tak langsung memaparkan apa yang dia pikirkan dengan sang istri. Pembahasan ini mungkin hanya akan menyakiti perempuan itu nantinya. Namun, melihat Marina yang cukup dewasa dalam menghadapi sesuatu selalu membuat Tamran yakin bahwa perempuan itu memang lebih tegar dan kuat dari perempuan manapun yang Tamran kenal.
"Aku kepikiran kalo seandainya kamu pergi dariku."
Tamran bisa merasakan sejenak tubuh kaku Marina dalam pelukannya. Perempuan itu pasti terkejut dengan pemikiran yang Tamran utarakan.
"Kenapa aku harus ninggalin kamu?"
Pemikiran seperti itu pasti ada dasarnya, bukan? Kalau Tamran bisa memikirkan kemungkinan semacam itu, berarti ada faktor yang memengaruhinya. Apa yang salah pada hubungan mereka sampai sang suaminya berpikiran begitu? Jika Tamran memiliki kesalahanpun kemungkinan besar Marina akan memaafkan pria itu tanpa syarat. Lalu, kenapa? Kenapa Tamran sampai berani berpikir bahwa Marina akan meninggalkannya.
"Karena aku nggak cukup baik buat kamu."
Marina berdecih ringan. "Ini kita udah nikah, loh, Tam. Kamu mau main-main dengan kata-kata aku nggak cukup baik seolah-olah kamu lagi berusaha mutusin cewekmu?" balas Marina dengan nada kentara tak suka.
"Aku nggak menjadikan ini mainan. Aku tahu, kamu pasti tahu gimana reputasiku dikalangan teman kampus dulu. Kita jalan sejauh ini juga bukan hal yang singkat. Itulah kenapa aku takut kamu ninggalin aku."
Marina mendongak dan akhirnya memposisikan diri untuk duduk. Dia sudah berganti baju tidur, tidak lagi telanjang hanya karena malas bergerak. Bukan sifat Marina membiarkan tubuhnya dalam keadaan lengket saat tidur.
"Kamu memang man whore semasa di kampus dulu, tapi itu nggak sekarang. Aku juga berdoa nggak untuk nantinya. Kamu udah banyak belajar selama berhubungan denganku. Kamu bahkan mau menunggu sampai kita menikah, sesuai permintaanku mengenai hubungan badan. Kenapa harus diungkit masalah begituan lagi?" Marina menghela napas. "Kamu mau jujur atau kita tidur di kamar yang terpisah?"
"Kenapa harus tidur terpisah?!" Balas Tamran tak setuju. "Ini, nih yang bikin aku males ngomongin sesuatu ke kamu. Mending aja aku tadi jawab nggak ada apa-apa, beres perkara! Nggak ada tidur pisah segala."
Dengan begini, Marina menjadi ingat kembali mengapa mereka mudah sekali saling tersulut emosi. Menikah diusia dua puluh lima dengan karakter yang belum benar-benar mereka selami sepenuhnya membuat perdebatan kecil terus menerus.
"Kalo kamu lupa, kita bertengkar kemarin pagi juga karena sikap kamu yang suka sekali mengentengkan suatu masalah. Kamu harus tahu, sikap kamu yang begitulah yang membuat komunikasi kita buruk. Aku maunya kamu jelasin rinci, kamu malah sukanya motong dengan emosi."
Marina berdiri dari ranjang, mengikat rambut asal dan berjalan menuju kamar sebelah. "Marina!" seru Tamran. "Aku nggak suka kita bertengkar begini."
Perempuan itu berbalik sebelum benar-benar membuka handle pintu. "Oh, tentu aku juga! Aku nggak suka bertengkar begini. Aku berusaha mengalah dan menekan egoku dengan minta maaf tadi sore. Kita tidur bareng, setelah itu kamu menunjukkan gelagat aneh. Apa yang bisa aku harapkan selain kita saling memberi jarak buat berpikir? Apa kamu nggak merasakan bahwa belakangan ini kamu suka sulit tidur dan menghindari pertanyaanku?" cecar Marina.
Tamran mengangguk, lalu kedua tangannya diangkat ke atas. "Iya. Aku salah. Maafin aku, Marina."
"Ya, aku akan selalu maafin kamu. Tapi kali ini, aku memang mau kita saling diam dulu. Daripada malah saling teriak dan ngusik istirahat tetangga." Lalu 'blam' pintu kamar tamu Marina tutup cukup keras di depan wajah Tamran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top