Bagian ; 1.1
[Baca duluan sampai puas di Karyakarsa kataromchick, ya. Kalo kepenulisannya agak beda, mohon dimaklumi karena ini kisah lama yang aku usahakan dengan keras untuk dilanjutkan. Happy reading.]
"Cepetan pake ini dasinya!"
Marina berjalan dan melakukan semua tugas dipagi hari sendiri. Tidak ada pembantu rumah tangga yang siap siaga membuat pekerjaan perempuan itu berkurang. Sangat tak ada. Kenapa? Karena untuk pernikahan yang menginjak bulan ketiga itu, mereka berdua memutuskan untuk tidak bergantung pada siapapun. Ini bentuk dedikasi Marina juga sebagai istri, dan mungkin calon ibu di rumah.
Walau sama sekali tak mudah, alias, tak ada momen yang benar-benar menyenangkan antara dia dan sang suami-Tamran-untuk bercinta di atas ranjang sepanjang hari. Memilih bercinta? Risikonya adalah lelah. Tak bercintapun sama saja. Namun, semua yang dilakukan berdua akan tetap manis rasanya selama tiga bulan terakhir ini.
"Aku nggak cocok pake dasi ini, Boo."
"Hah?" Marina menyahut, meski begitu tangan dan otaknya sudah sibuk mencari padanan dasi yang sekiranya mampu untuk menyelesaikan masalah mereka pagi ini. "Yang ini cocok?" tanya perempuan itu sembari mendekati Tamran yang masih melihat penampilannya dicermin seluruh badan.
"Hm... coba pakein, dong, Boo." Kata Tamran menaikkan kerah kemejanya dan bersiap dilayani oleh sang istri.
Marina tidak memprotes atau berteriak-teriak selayaknya pasangan sebelah. Tetangga mereka memang suka sekali berisik. Tak hanya malam hari, bahkan pagi, siang, sore, semuanya dibuat berisik. Inilah yang membuat Tamran ingin sekali pindah dari rumah yang begitu berdempetan dinding dengan tetangga. Meski faktor utamanya adalah karena intensitas kegiatan ranjang Tamran dan istri terganggu. Kadang terpikir untuk lebih berisik, tetapi Marina yang dasarnya suka sekali berbuat baik mengingatkannya untuk tak memancing keributan. Walau dengan sengaja mendesah keras-keras. Tutur Marina juga, perempuan itu tak suka dengan desahan yang dibuat-buat, katanya itu bukan bentuk dari rasa nikmat yang mereka dapat. Justru malah terdengar norak.
"Kita pindah, ya, Boo?"
Marina menatap mata suaminya sekilas, pekerjaannya membentuk dasi yang indah sudah selesai. "Udah, nih. Rapi. Makin ganteng."
Tamran berdecak. "Aku serius, Marina Sukma."
"Mas... cicilan kita masih banyak. Pindah rumah nggak segampang itu. Lagian, mas juga masih berjuang buat naik jabatan. Nanti kalo mas sudah benar-benar jadi MD, aku setuju banget buat pindah. Jangan buru-buru, ya?" Lalu Marina memberikan kecupan singkat pada bibir suaminya sebagai penenang.
Tamran selalu suka dengan gaya perhatian yang diberikan sang istri padanya. Terlalu manis. Bahkan Tamran sampai malu sendiri terkadang, sebab cara Marina memanjakannya begitu alami sekaligus intim.
"Kalo nanti aku udah beneran jadi MD alias atasan di kantor, kita pindah ke rumah, ya. Kamu pengen rumah yang kayak gimana?"
Marina tersenyum. Antusiasme suaminya memang membuat Marina bahagia. "Kamu sukses di kantor aja aku bahagia, Mas. Aku nggak perlu rumah mewah dan segala macamnya, asal aku bisa sama kamu terus. Asal kamu mencintai aku terus, itu udah lebih dari cukup."
"Kalo kayak gini, hawanya aku pengin kekepin kamu di ranjang aja. Aku males ketemu dokumen numpuk di meja kantor, aku suka numpuk di atas kamu, Boo." Kata Tamran mengunci bibir dileher Marina hingga perempuan itu merasa geli tapi tak ingin mendorong wajah sang suami dengan kata lain dia ketagihan.
"Mas... ini nanti... kamu nggak berangkat... nanti telat-aaww!" Marina mengaduh karena suaminya sengaja menggigit lehernya hingga meninggalkan bekas. Perempuan itupun langsung menilik kearah cermin yang dia belakangi. "Massss! Suka banget, sih iseng begini!" rajuk Marina.
Tamran hanya terkekeh dan mengecup pipi istrinya. "Aku berangkat dulu, ya, Boo. Doakan kerjaan suamimu ini lancar! Bye!"
Akhirnya Marina tetap mengiyakan dan mengantar hingga depan. Melihat suaminya pergi menggunakan mobil baru yang masih mereka cicil sendiri. Walau setelah itu Marina harus segera masuk ke dalam rumah agar tak ada tetangga yang melihat bekas kecupan Tamran dileher bagian depannya.
"Ck! Mas Tamran ada-ada aja, sih!"
*
Menghadapi situasi kantor yang selalu berhasil menekannya habis-habisan tidak membuat semangat Tamran luntur mencari pundi-pundi agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi. Setiap membayangkan bagaimana istrinya menyambut dengan senyum sumringah, Tamran selalu sukses terhipnotis hingga lupa dengan keluhan sebelumnya. Bagaimanapun semua yang dilakukannya demi membahagiakan sang istri juga.
"Hoi! Tamran Widi Sastro... apa kabar? Senin pagi gini semangat banget. Habis pelepasan stres, ya semalem?"
Tamran sejujurnya tak suka dengan rata-rata pekerja di kantornya. Apalagi Gatra yang notabenenya adalah saingan untuk menuju kursi Managing Director yang akan mereka perebutkan.
"Baik. Semangat nggak harus soal pelepasan aja, Tra. Lo bisa cari hal lain yang bikin lo lebih semangat pas kerja."
"Wow! Sejak kapan, sih, lo bijak begini, Tam? Gue kayak baru kenal sama lo." Lalu Gatra tertawa dengan santainya, padahal banyak karyawan yang suntuk mengantri lift dibelakang mereka.
Tamran tak menanggapi lebih dengan ucapan Gatra barusan. Begitu lift terbuka, Tamran ingin buru-buru saja masuk ke dalamnya. Namun, Gatra mengunci langkahnya dengan berbisik, "Gue tahu lo diem-diem nikah, Tam. Hati-hati aja, rahasia lo ketahuan sama dewan direksi. Jangan berharap jabatan lo naik, karena sebelum itu terjadi... mungkin lo udah ditendang dari kantor."
Tamran membeku. Dia memang nekat menikahi Marina, bukan karena perempuan itu sudah hamil lebih dulu. Menikahi Marina karena satu alasan yang tak bisa Tamran jelaskan pada siapapun, kecuali teman-teman satu lingkarannya semasa kuliah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top