Lost ; 1.3

Lost

1.3

[•]

Akina menyisir rambutnya dengan gerakan super pelan. Dalam kepala cantiknya, Akina membentuk kembali reka adegan pembicaraannya dengan sang suami. Dia tidak tahu apakah harus bersikap histeris dan meluapkan kekecewaannya dengan cara anarkis atau... seperti ini saja sudah cukup?

Kalau diingat lagi, memang aneh rasanya jika almarhum ayahnya membuat wasiat dengan menjodohkan putrinya tanpa alasan kuat, dan Akina harusnya sadar kalau alasan kuat itu memang ada serta mendasari pernikahannya dengan Darma.

"Saya harus bilang ini sama kamu, Akina. Bahwa pernikahan ini tidak didasari dengan rasa apapun. Saya membantu ayahmu untuk mempertahankan kebutuhan keluarga kamu. Selama ini, ayahmu memiliki hutang yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Saya membantu perusahaan yang beliau miliki hingga bertahan sampai sekarang. Sebagai salah satu cara ayahmu membayar... adalah kamu."

Terdiam kaku, Akina mengeratkan kedua tangannya hingga mengepal. Emosi yang dia rasakan memang tidak pernah bisa tersampaikan dengan baik. Akina terlalu suka memendam apapun sendiri. Bahkan jika rasa sakit menyerang tubuhnya, Akina akan bersikap seakan baik-baik saja hingga rasa sakit itu hilang sendiri karena Akina lebih senang mengurus orang lain ketimbang dirinya sendiri.

Namun, sekarang apa waktu yang tepat membiarkan dirinya sendiri merasakan sakit?

Alasan yang terlalu jujur dari Darma malah membuatnya merasakan sakit hingga begitu dalam.

"Lalu... kenapa mas Darma setuju menikahi saya?"

Suara bergetar Akina menyentak Darma, sekilas. Sebab Darma tidak ingin berlarut-larut mengasihani gurat sedih Akina. Ini adalah kenyataan yang harus perempuan itu terima.

"Saya punya tujuan lain menikahi kamu. Itu pasti. Dan saya tidak bisa membagi alasan itu dengan kamu." Darma menghela napas. "Tidak sekarang," tambahnya.

Akina tanpa sadar menitikan airmata. Pernikahan yang dia jalani tidak ubahnya seperti teater yang sudah dirancang sutradara. Mungkin, ayahnya adalah dalang dari semua ini. Namun, Akina tidak bisa menyalahkan almarhum ayahnya begitu saja. Bagaimanapun, pernikahan ini tidak akan terjadi jika Darma juga tidak menyetujui.

"Nyonya Akina."

Dihapusnya segera airmata yang hampir saja merusak penampilannya malam ini. Bagaimanapun, malam ini adalah malam dirinya diperkenalkan sebagai istri dari Darmawangsa Ardayakta.

Akina turun dengan gaun berwarna merahnya. Dandanan yang sebenarnya lebih sederhana dibandingkan dengan perempuan glamor diluaran sana.


"Mas?" Akina melambaikan telapak tangannya di depan wajah Darma. "Mas Darma?" kali ini dengan menyentak bahu pria tersebut agak keras karena Darma seperti orang bodoh yang memandangi wajah Akina.

"Mas Darma!"

"Euh... eh, iya?"

"Mas kenapa? Sakit?"

Darma menggeleng, kepalanya sakit karena melihat kecantikan Akina. Selain wajah yang cantik, tubuh yang indah, sikap lemah lembut, Darma seperti dipermainkan dengan rencananya sendiri. Jika seperti ini terus menerus, Darma bisa saja kecanduan untuk selalu melihat Akina.

"Ayo berangkat."

Akina berdiam diri di tempat, tidak mengikuti langkah Darma. Dia berpikir, jika tidak bisa menekan rasa sakitnya karena Darma memiliki tujuan sendiri dalam pernikahan ini maka Akina juga ingin mendapatkan bagian untuk dilibatkan dalam tujuan tersebut.

"Akina... ayo!" seru Darma.

Menyusul suaminya, sebelum masuk ke mobil, Akina sengaja menggenggam tangan pria itu. Dia akan berusaha mendekat meski berulang kali ditolak oleh Darma. Tidak peduli apapun tujuan pria itu menjadikannya istri.

"Aku istri kamu, 'kan, Mas? Jadi, aku nggak mau jauh-jauh dari kamu selama menuju pesta dan saat berlangsungnya pesta." Akina dengan berani menatap mata Darma. "Aku istrimu, Mas."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top