Lost ; 1.2
Lost
1.2
[•]
Akina mengernyap menyesuaikan cahaya yang masuk dari celah jendela kamar—oh, bukan celah lagi, tapi memang didominasi kaca. Akina tidak tahu kenapa rumah tersebut didesain sedemikian rupa antara kayu dan kaca. Namun, yang lebih mengherankan bagi Akina adalah ketiadaan sang suami disisinya.
Apa orang yang baru menikah seperti ini?
Walau ini pengalaman pertama, dan Akina berdoa pernikahan ini untuk selamanya, tapi bukan berarti dia tidak paham bahwa sang suami menghindarinya.
"Ya ampun... mikir apa aku ini?" Akina menepuk kepalanya karena terlalu berharap bahwa pernikahannya berjalan seperti pernikahan normal lainnya.
Dan bodohnya lagi, dia terlambat bangun karena rasa lelah yang mendera. Buru-buru dia berdiri dan mengikat rambut dengan asal. Akina bahkan lupa jika pakaian tidurnya adalah dress berbahan tipis dan dia tidak menggunakan bra.
Tergesa-gesa Akina berjalan menuju dapur. "Semoga mas Darma belum berangkat kerja," gumamnya seraya mengikat bagian rambutnya hingga menjadi satu.
Akina bernapas lega karena belum ada tanda-tanda bahwa suaminya sudah berada di meja makan. Dia dengan cekatan menyiapkan bahan-bahan dan menjadikannya hidangan hangat di pagi hari. Bibirnya tersungging senyuman, merasa beruntung karena begitu cekatan sebab sudah terbiasa mengurus adik-adiknya.
Satu piring lagi yang Akina bawa ke meja makan dan menatanya dengan apik. Darma datang tepat ketika Akina menuangkan air ke gelas.
"Mas sudah bangun?" tanya Akina tanpa melihat secara langsung wajah suaminya.
'Uhuk... Uhuk...'
Suara batuk Darma membuat Akina diserang panik. Dia sodorkan segelas air untuk pria itu. Namun, bukannya berhenti batuk, Darma justru semakin salah tingkah dengan menjatuhkan gelas yang Akina berikan.
"Ya ampun, Mas."
Suasana pagi itu menjadi ricuh karena Darma yang diam-diam tidak fokus pada Akina, tetapi pada bagian tubuh perempuan itu yang terlalu tercetak jelas. Darma pria normal, apalagi sudah lama tidak mendapat jatah dari istri pertamanya karena sakit, dan pagi ini Akina berhasil membuatnya hampir mati karena dadanya yang menyembul ketika menuangkan air dan kain dibagian dadanya ikut turun.
"Sialan."
Akina semakin tidak mengerti saat tiba-tiba saja Darma beranjak pergi ketika dirinya sibuk membersihkan sisa pecahan gelas.
Gerakannya terhenti, dia menatap bingung punggung Darma yang meninggalkannya begitu saja.
*
Memberanikan diri Akina mengetuk pintu ruang kerja suaminya. Dia merasa tidak nyaman jika harus dibenci atau dimusuhi orang yang seharusnya dekat dengannya. Jika Darma belum bisa menerima dirinya, akan Akina usahakan apa saja agar bisa diterima.
Akina hendak mengetuk untuk yang kelima kalinya, tapi belum terketuk, pintu sudah terbuka dan menampakan Darma dalam balutan yang lebih formal.
"Kenapa?" tanya Darma.
"Euh... Mas mau ke mana?"
Darma tidak langsung menjawab. Dia amati Akina yang terlihat gugup. "Kamu ngetuk pintu hanya untuk tanya itu?"
Terkesiap, Akina menelan ludah susah payah.
"Bu—bukan..."
Akina kebingungan. Padahal, biasanya dia mudah sekali mengutarakan apa yang ingin disampaikan pada adiknya atau orang terdekatnya. Mungkin karena Darma yang belum begitu dekat dengannya, Akina merasa sangat canggung.
Darma hendak berjalan melewati Akina, tapi lengannya lebih dulu ditahan. Pandangan pria itu turun, melihat begitu eratnya Akina menahan. Lalu, Darma membalas tatapan Akina.
"Mas. Saya mau bicara. Kalau dibiarkan terus, pernikahan kita enggak sehat. Saya mau semuanya jelas, Mas. Kalau memang saya ada salah atau saya tidak bisa menjadi istri yang mas inginkan, tolong katakan dan jelaskan pada saya."
Akhirnya, Kina. Akhirnya....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top