Bagian 1.4 ; Si 'Manja'
Si 'Manja'
1.4
[•]
Pembantu rumah tangga memang tidak terlalu diperlukan bagi Erga, dia terbiasa mandiri sejak kecil. Masalah memasak, mengurus rumah, Erga sudah terbiasa mengaturnya sejak kuliah di luar negeri sendiri. Meski laki-laki, tapi Erga tetap tipikal yang tidak suka kotor. Tempat tinggalnya harus bersih dan membuatnya nyaman ketika lelah setelah pulang beraktivitas di luar.
Jadi, ketika Ocha bukanlah material wifes yang dia inginkan... sudah tidak ada jaminan lain. Jaminan dimana dia bisa diurus dan mendapati rumah terjamin keadaannya tanpa harus pembantu yang mengurus semuanya. Seharusnya ada istri idaman Erga yang datang menyambut dan memahami segala kebutuhan Erga tanpa harus diceramahi panjang kali lebar sama dengan luas.
Erga tidak tega menginjak harga diri Ocha sebagai perempuan dengan menyiksanya luar dalam. Yang mengartikan, Erga adalah suami yang kejam. Itu bukan gaya seorang Erga Pratama sama sekali. Suka tidak suka, mau tidak mau, niat tidak niat, dia memang harus bersikap selayaknya suami yang menyayangi istrinya.
Oh, istri bocahnya.
"Aduh, maaf, ya, Kak. Aku belum bisa masak yang cepet. Bekal buat kakak dibikinin sama mbak Tarsih." Ocha memandang suaminya dengan perasaan bersalah.
Erga tersenyum, mengelus rambut Ocha. Seperti biasa, dikecupnya pucuk kepala Ocha dengan khidmat.
"Sana, mendingan kamu siap-siap berangkat ke kampus. Saya tunggu 15 menit lagi."
Ocha sebegitu semangatnya ditunggui Erga. Tidak sia-sia usaha Erga membimbing Ocha agar mau kuliah. Entah ke depannya perempuan itu bisa bertahan lanjut atau tidak, karena Erga sudah ada rencana menceraikan Ocha ketika semuanya sudah matang.
"Oke!" sahut Ocha dengan semangat.
Erga mendengus. Ternyata sifat naif Ocha begitu melekat dalam diri perempuan itu. Tidak dapat Erga bayangkan, apa saja pendidikan karakter yang keluarga perempuan itu ajarkan pada Ocha, hingga sepolos dan senaif itu.
Setelah Ocha memilih membersihkan diri, Erga beranjak untuk membuat sarapannya sendiri. Dia diam-diam membuang masakan buatan Ocha dan menyuruh salah satu pembantu membuangnya ke tong sampah depan komplek agar Ocha tidak tahu.
Erga lebih memilih sarapan dengan selembar roti dengan selai ketimbang memakan masakan Ocha yang tidak jelas juntrungannya-menurut Erga.
Tidak ada sepuluh menit, Erga sudah merasa kenyang dengan sarapan simpel buatannya sendiri. Berpura-pura menyelesaikan makannya saat langkah kaki Ocha terdengar.
"Udah selesai sarapannya, Kak?" tanya Ocha, riang.
"Sudah. Kenapa?"
Ocha tersenyum lebar, kakinya digerak-gerakkan mengalihkan rasa senangnya yang teramat.
"Padahal aku belum sarapan, tapi makanannya udah kak Erga habisin-"
"Beneran? Kenapa nggak bilang?" sahut Erga, panik.
Tangan Ocha menahan Erga agar tidak beranjak membuatkannya makanan sebagai ganti. "Nggak apa-apa, Kak! Aku udah minta dibikinin sama mbak Tarsih, kok. Nanti aku juga bawa bekal, jadi nggak bakalan kelaperan. Hehe...."
Erga ikut memberikan senyumannya. Mengelus rambut Ocha lagi. Padahal, dalam hatinya Erga senang karena Ocha tidak berpikiran macam-macam dengan makanan yang langsung habis padahal porsinya cukup untuk dua orang.
"Yaudah. Ayo, berangkat." Erga berjalan lebih dulu.
"Kak Erga duluan ke mobil aja. Aku mau ambil bekalnya dulu."
Ocha melangkah riang layaknya anak kecil menuju dapur kotor di mana mbak Tarsih membuatkan makanan. Di belakang Ocha yang terlalu riang, Erga hanya memandangi punggung kecil Ocha.
"Sampai kapan kamu akan sebahagia ini, Oceana? Sedangkan kamu nggak pernah tau, ada orang yang tersiksa di bawah kebahagiaan kamu."
◽◾◽◾◽
Gimana menurut kalean? Kasih kesan kalean, dong sejauh ini😪
IG : fya.books
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top