1. Salt N Paper - Bye, Autumn
🎵 Salt N Paper - Bye, Autumn 🎵
_________________________________________
Aku melirik lagi jam tanganku. Mendesah lelah. Memijat tengkukku. Menyeruput hot chocolate yang sialannya tidak lagi hot. Membenarkan kaca mata anti radiasi yang melorot di hidungku yang sama sekali tidak mancung --yah kalian bisa menyebutku pesek, dan aku bolehkan memukul hidungmu?--. Kemudian menatap dinding kaca lebar di sampingku yang menurutku, berfungsi sebagai salah satu penyebab pemanasan global di bumi ini.
Hujan yang sejak satu jam lalu mengguyur kota Seoul masih saja turun dengan derasnya. Membuatku terjebak di dalam kafe yang semakin lama semakin penuh sesak karena banyaknya orang yang berteduh di sini.
Sementara yang ingin kulakukan sejak tadi adalah pulang ke rumah, mengganti pakaian yang adikku --Kim Hyerim-- paksa untuk kukenakan. Sebuah gaun selutut berwarna baby blue tanpa lengan dengan bagian punggung yang terbuka. Serta sepatu heels setinggi 10 cm yang membuatku tidak bisa berjalan dengan leluasa.
Aku tidak tahu bagaimana Hyerim bisa dengan leluasa dan nyamannya berlalu lalang dengan jenis pakaian yang kugunakan saat ini, alih-alih celana jeans, kemeja, jumper, ataupun kaos dan sepatu kets adalah surga bagiku.
Kemudian aku mendengar suara lonceng kembali berbunyi. Menandakan ada orang lain lagi yang memasuki kafe yang semakin penuh sesak sementara satu kursi di depanku masih kosong sejak satu jam yang lalu.
Aku mendengus keras. Merasakan hasrat untuk menggerai rambutku yang selama satu jam sebelumnya telah ditata, membentuk French Bun yang cantik, yang dengan susah payahnya dibuat oleh Hyerim.
Memangnya apa salahnya dengan menggerai rambut? Aku senang merasakan sensasi ujung rambutku yang menyentuh pundak. Atau ketika angin menerbangkannya. Itu alami. Itu karena alam. Dan alam adalah temanku. Yah, setidaknya salah satu dari kami menganggap teman walaupun alam sepertinya tidak menganggapku sebaliknya.
Hujan turun dengan derasnya ketika lima langkah lagi aku sampai di kafe ini. Membuatku tergopoh dengan susah payah karena heels sialan dan tas jinjing yang kuisi dengan laptop --tentunya tanpa sepengatuan Hyerim--. Jika saja bocah satu itu tahu apa yang kubawa dan kukerjakan alih-alih menemui pria bernama William Lee untuk kencan buta, ia pasti akan mendatangiku. Menjambak tatanan rambut cantik hasil karyanya dan menyeretku pulang untuk kemudian ia ceramahi dengan tema pentingnya menyembunyikan sisi geek dalam diriku.
Aku mendecih.
Bukan salahku jika pria bernama William yang kata ibuku merupakan model kenalan Hyerim, yang syukurlah merupakan anak dari teman ibu, yang memiliki kombinasi darah Amerika dan Korea dalam dirinya, tidak juga datang di kencan buta hasil persekongkolan dari kedua ibu kami. Oke, berapa kali kugunakan kata 'yang' dalam satu kalimat di atas?
Tapi sungguh, itu bukan salahnya kan jika memutuskan tidak akan hadir hari ini karena mungkin saja melihat foto yang ibuku sodorkan kepadanya, menyadari setidakmenariknya diriku dan mengabaikan kencan buta slash kencan gagal ini dengan mudahnya.
Aku memutar mataku jengah. Akhirnya melepas sanggul buatan Hyerim, membuat rambutku tergerai. Mengambil kardigan yang aku selipkan dalam tas laptopku dan memakainya, karena aku sudah merasa kedinginan dengan hujan yang tidak mau berhenti.
Aku kembali menghadap laptopku. Meneruskan pekerjaan untuk membuat dongeng anak-anak yang sudah editorku tagih sejak dua hari yang lalu. Kuharap hari ini aku bisa menyelesaikannya sebelum kembali ke pulau Jeju untuk menemani Hyerim melakukan pemotretan.
Oh ya. Kim Hyerim, adikku, adalah model papan atas. Dan aku adalah asisten yang merangkap sebagai managernya. Memiliki hobi membuat cerita dongeng anak-anak yang ternyata menghasilkan pundi-pundi. Uang itu kemudian kugunakan untuk membeli buku lain, untuk menemaniku ketika harus menunggu Hyerim bekerja.
Aku menyukai apa yang kukerjakan, kecuali saat ketika harus menemani Hyerim melakukan pemotretan di hutan ataupun tempat terpencil lainnya. Aku memang menganggap alam adalah temanku, tapi tidak sebaliknya. Jadi aku bolehkan tidak menyukai bagian alam yang lainnya? Sebut saja hutan, gunung, dan daerah minim teknologi lainnya.
Kembali ke Kim Hyerim. Dia adalah adikku, terpaut dua tahun denganku yang memiliki fisik sempurna --membuaku yakin bahwa dewa menciptakannnya dengan senyum lebar-- karena memiliki gen terbaik dari kedua orang tuaku.
Ayahku memiliki darah Korea, sedang ibuku memiliki darah Indonesia. Tahu, kan? Daerah yang terkenal dengan pulau Balinya yang jika saja kau bertanya kepada turis mengenai Indonesia dan dia tidak tahu, kau cukup perlu menyebutkan kata Bali dan dia akan mengangguk paham. Mereka menyebut Indonesia ada di Bali, dan aku hanya tertawa karena jelas Bali lah yang ada di Indonesia.
Oh ayolah, berapa sih nilai pelajaran Geografi kalian?
Kembali lagi ke Kim Hyerim. Dia mendapatkan gen terbaik dari kedua orang tuaku. Memiliki kulit putih bersih, tinggi 175 cm turunan dari ayahku, mata lebar dengan kelopak ganda, tulang selangka yang menonjol, mempunyai aeggyo sal atau yang biasa disebut kantong mata kecil, dan wajah oval dari ibuku.
Sementara aku, oh, cukup bayangkan sebaliknya dari Hyerim.
Kalian tidak mengerti? Haruskah aku jelaskan segala kekuranganku?
Kalian benar-benar jahat, tidakkah kalian menyadarinya?
Oh, aku, Kim Nari. Putri sulung pasangan Kim Daegu dan Dewi Rinjani. Seorang gadis berusia 27 tahun atau 26 tahun barangkali. Orang Korea menghitung umur bahkan ketika mereka masih di dalam kandungan. Yang benar saja. Aku kan baru menikmati udara selama 26 tahun hidupku, jadi bolehkan aku tetap memperkenalkan diri berumur 26 tahun?
Kuanggap jawabannya adalah boleh.
Kemudian, aku akan meneruskan sesi memperkenalkan diri yang memalukan ini.
Tinggiku hanya 155 cm, berkulit putih tapi tidak seputih Kim Hyerim. Wajah bulat dari ayahku yang jelas melarangku melakukan permak wajah --dan ya Tuhan, aku tidak akan melakukannya walaupun ayah akan membiayai semua perawatannya-- dan memiliki mata sipit tanpa kelopak ganda. Membuatku mataku hanya terlihat seperti garis lurus ketika aku tersenyum.
Untungnya aku terlihat imut. Membuatku kerap kali mendapatkan diskon pelajar ketika mendatangi rumah makan tertentu, dan mendapat harga pelajar pula ketika menaikki bus.
Haha.
Aku tidak akan memprotes.
Hanya saja, aku akan kesulitan ketika ponselku berdering. Mengabarkan Hyerim sudah KO ketika berada di bar X, atau Y, atau Z, dan aku harus segera menjemputnya. Kemudian kalian tahu apa yang terjadi. Aku kerap kali tidak diperbolehkan masuk. Harus menunjukkan kartu identitasku. Pun setelah di dalam, beberapa kali aku dikawal karena mereka tetap tidak mempercayaiku dan menemukan Hyerim sudah tergeletak di atas meja bar. Membuatku sekuat tenaga menggotongnya hingga ke apartemen kami.
Aku, tentu saja tidak menyukai bar. Tidak ada yang menarik di sana. Hanya bising, aroma alkohol yang memuakkan, lampu yang membuatku pusing.
Tapi demi Hyerim, aku seringkali ke sana. Catat, hanya untuk mengangkutnya ketika dia hang over.
Aku bersyukur --sangat-sangat bersyukur-- ketika Aaron datang ke dalam hidup Hyerim. Setidaknya, ada yang bisa mengatur tingkah liar Hyerim, dan ada pula yang menjemputnya ketika dia tidak sadar. Membuatku setengah tahun belakangan ini tidak menjejakkan kakiku ke bar manapun.
Jangan salah sangka kepada adikku. Dia memang liar. Tapi dia bisa menjadi sebaik malaikat dan semanis gula-gula.
Dan juga, sejak kecil --entah apa yang kuperbuat kepadanya-- Hyerim selalu menatapku dengan tatapan memuja. Membuatku tidak kuasa membencinya atas ketidakadilan pembagian gen kami.
Yeah, aku menyayangi Hyerim.
Walaupun di beberapa saat, dia benar-benar akan membunuhku jika aku terus menerus hidup selibat dan tidak menghiraukan para pria.
Baginya, cara hidupku mungkin aneh karena dia tidak merasakan apa yang kurasakan, tentu saja. Hyerim cantik. Pandai bergaul. Punya banyak teman. Punya banyak fans baik itu pria ataupun wanita. Pun, memiliki banyak pria yang bersedia menunggu giliran untuk menjadi kekasihnya.
Sementara aku?
Karena statusku sebagai kakak Hyerim, memang sering didekati. Tentu untuk kemudian minta dikenalkan dengan adikku. Para pria yang mendekatiku juga kebanyakan melakukan hal itu. Karena itulah, tahu kan mengapa aku memilih sendiri dan melindungi hatiku?
Hubungan Hyerim dan Aaron adalah hubungan terlama yang pernah Hyerim jalani. Keduanya bermaksud serius. Menginginkan pernikahan pada akhirnya.
Ibuku, tentu saja. Melarang Hyerim menikah selama aku masih sendiri. Hal itu merupakan tradisi di kampung halamannya padahal setelah ibu menikah, ia tinggal di Seoul.
Memutuskan untuk tidak lagi melamun, aku kembali berkutat dengan laptopku dan satu jam setelahnya, aku telah selesai.
Aku meregangkan tubuh. Menutup laptop dan mengernyit ketika chocolate di gelasku habis dan akhirnya memutuskan memesan lagi.
Hujan masih turun dan orang yang seharusnya bertemu denganku belum datang.
Satu gelas hot chocolate lagi tentunya bisa mengobati kegusaranku, bukan?
Aku bersandar, memejamkan mata ketika mendengar musik yang diputar adalah salah satu dari tiga lagu favoritku.
Bye, Autumn dari Salt N Paper.
Soundtrack dari drama favoritku Jealousy Incarnate.
Menghembuskan napas. Aku berharap memiliki sosok Lee Hwa Sin --nama pemeran utama drama itu-- untuk diriku sendiri. Tidak sia-sia karena Pyo Nari sudah terlalu lama mencintai sang Hero karena pada akhirnya mereka bisa bersatu
.
Hei, nama pemeran itu benar sama denganku. Nari. Hmm...
"Nari," sebuah suara berat dan seksi memanggilku.
Aku tersenyum, masih memejamkan mataku dan menganggap suara itu adalah Lee Hwa Sin yang sedang memanggil Pyo Nari.
"Hey, Kim Nari. Kau tidak apa-apa?"
Aku tersentak. Membuka mataku dan melihat sosok William Lee tepat berada di depanku. Wajahnya sangat dekat hingga aku bisa merasakan hangat napasnya yang menerpaku.
Wajahku terasa memanas dalam sekejap. Aku segera membuang muka ke arah lain sementara ia menjauh, menarik kursi yang masih kosong sejak dua jam yang lalu dan duduk di sana.
Ya Tuhan. Aku pernah melihatnya di majalah dan dia memang tampan. Tapi melihatnya secara langsung, dia seribu kali lebih tampan dari gambar yang ada di majalah.
Dia lalu tersenyum. Membuat wajahku terasa memanas lagi dan aku yakin kini sudah semerah pantat bayi yang baru lahir.
"Di mana Hyerim?" Pertanyaan selanjutnya sukses membuat rahangku jatuh ke bumi.
Tidak ada lagi rasa panas yang menjalar karena senyum memikatnya.
Aku mengerang dalam hati karena merasa, kali ini pun aku berhadapan dengan pemuja Hyerim.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top