Tears from Past
[Asha]
Aku benar-benar tak menyangka kalau hari ini aku akan bertemu seseorang dari masa lalu yang kutinggalkan. Masa lalu yang sesungguhnya tak ingin kutinggalkan. Masa lalu yang selalu kurindukan sekaligus memberikan penyesalan disaat yang sama
Kak Iin sudah seperti kakak bagiku, meskipun tak memiliki ikatan darah sama sekali. Dahulu aku hanyalah seorang anak jalanan yang ditinggalkan orang tua. Kak Iin adalah salah satu orang yang mengulurkan tangan kepadaku. Menjadi bagian dari sebuah kelompok kecil yang mengharapkan kebebasan dan harapan di tanah Rain Desert.
Kak Iin masih tidak banyak berubah. Dia masih berbadan kecil seperti lima tahun yang lalu. Masih galak kepada semua orang yang meremehkannya, namun sangat sayang kepada adik-adiknya.Serta sepertinya dia masih tak kalah dalam hal kekuatan dibandingkan laki-laki. Dia dulu sangat kuat, bahkan laki-laki dikelompok kami sering menyamakannya dengan gorila dan berakhir dihajar olehnya. Kak Iin memang sangat tomboy.
"Tak kusangka kau benar-benar masih hidup, Asha. Kami benar-benar kehilanganmu selama ini, kau tahu" Kak Iin membalas pelukanku dengan mata berkaca-kaca. "Ini benar-benar keajaiban setelah apa yang kau alami"
"Ya, aku benar-benar beruntung" kataku menghapus air mataku sembari tertawa. "Duduk disana yuk Kak" kataku menyeretnya ke kursi di dekat jendela. Kak Iin sejenak menyuruh teman lelakinya untuk memilih rotinya sendiri dan mengikutiku berbicara empat mata.
"Dia pacarmu ya Kak" kataku begitu duduk. Mencoba mencairkan suasana dengan menggodanya.
Dia tampak gelagapan. Baru pertama kalinya kulihat Kak Iin mukanya memerah. Tampak cukup lucu dimataku.
"Jelas banget ya..." katanya malu.
"Iya" kataku polos.
"Aissh..." katanya memelarkan pipiku gemes. "Abaikan dia. Aku penasaran kabarmu gimana. Kulihat kau tambah bulet dan imut. Dulu kan sama kucelnya denganku"
"Ah, aku baik-baik saja sekarang. Aku sekarang mengurus toko ini bareng kakek nenek yang sudah menyelamatkanku"
Akupun menceritakan apa yang terjadi dari saat ku jatuh dari tebing dengan tebasan pedang di dadaku dan hanyut di sungai hingga sampai di Iris Tierra dan diselamatkan oleh Kakek West dan Nenek Wish. Kulihat Kak Iin tampak begitu khawatir karena mendengar ceritaku.
"Kau bilang kau ditebas? Kau gapapa?" kata Kak Iin tak menyangka dengan cerita yang ia dengar.
Aku mengangguk "Ya, sekarang ku baik-baik saja. Walau sejak saat itu kadang ku suka sesak nafas sih. Tapi selebihnya ku sehat. Disini banyak orang baik" kataku memasang senyum terbaikku agar Kak Iin tidak khawatir.
"Begitu ya..." katanya mengusap kepalaku."Syukurlah. Andai dia masih hidup, dia pasti akan senang sekali bertemu denganmu lagi" tambahnya melepaskan tangannya.
"Dia?" tanyaku sedikit was-was. Sesungguhnya banyak sekali orang di kelompok yang ingin kutanyakan pada Kak Iin. Salah satunya orang itu.
Semoga bukan orang itu yang dimaksud Kak Iin.
"Ya... Peace. Kepala kelompok kita semua. Kau tentu masih ingat kan?" kata Kak Iin dengan mata sendu.
Aku terdiam. Ternyata memang orang itu.
Satu orang dari sekian anggota kelompok kami yang paling bercahaya dari kami semua. Ketua kami yang bagaikan kakak bagi kami semua meskipun umurnya jauh lebih muda dari kebanyakan keluarga kami. Satu orang yang paling ku khawatirkan ketika ku meninggalkan tanah Rain Desert...
Andaikan dia masih hidup, berarti....
"Kak Peace...sudah meninggal?" tanyaku dengan suara tertahan. Tak bisa menahan seluruh perasaan yang kupendam selama lima tahun terakhir ini. Apalagi ketika aku melihat Kak Iin mengangguk pelan sembari tersenyum kecut
******
Dia mati sebagai pahlawan. Berkat kematiannya akhirnya apa yang kita harapkan di tanah kita terwujud...walau harga yang harus dibayar memang mahal...
Sejak pembicaraan hari itu ku sama sekali tak bisa tenang dalam hal apapun. Terus teringat akan apa yang kutinggalkan. Rasanya separuh hidupku hilang ketika mendengar berita itu.
Dikata aku menanggapinya berlebihan mungkin sedikit benar. Namun semua itu akan menjadi sangat logis jika dia tidak hanya sekedar 'Damai' dimatamu. Namun juga orang yang paling kau cintai dari lubuk hati yang paling dalam.
Kak Peace bagiku adalah matahari. Begitu pula bagi orang-orang yang juga berjuang bersamanya. Senyum dan tawanya selalu jadi penghibur hati yang sedih dan kebaikannya selalu membekas di hati setiap orang yang ia tolong. Baginya kebahagiaan orang lain adalah prioritas hingga terkadang sampai lupa memikirkan kebahagiaannya sendiri.Sifatnya inilah yang membangun diriku yang sekarang. Sifatnya yang sangat baik hati dan selalu berusaha berbagi kebahagiaan kepada orang lain.
Namun disisi lain, ia juga sering menangisi rekan-rekan kami yang pergi karena perang. Tentu saja diam-diam. Dia menyimpan air matanya sendiri dalam-dalam. Hanya membagi senyumnya saja kepada yang lain agar api perjuangan mereka tidak padam.
Sisi yang selalu ia sembunyikan inilah yang membuatku terus dihantui perasaan bersalah selama lima tahun terakhir ini.
Karena saat aku jatuh dari ketinggian dan hanyut hingga sampai ke Iris Tierra itu karena aku mencoba melindunginya.
******
"Beneran tak apa kalau Kakak menemaniku untuk membeli stok? Bukannya Kakak sedang dibutuhkan untuk membahas strategi melawan tentara nanti?" tanyaku gugup.
Saat ini aku hendak bersiap untuk pergi membeli stok makanan dan obat untuk para anggota kelompok pemberontakan kami. Dari dulu itu memang sudah tugas yang dipercayakan padaku. Biasanya aku pergi berdua bersama Kak Iin karena dia yang paling hafal tempat rahasia, namun karena Kak Iin sedang ada misi mau tak mau aku pergi sendiri.
Dia dengan senyum lebarnya hanya tertawa kecil.
"Bukannya bagus kalau aku temani. Kau tak perlu mengangkat stok makan kita sendirian. Sayang Iin sedang bertugas memata-matai, jadi tak bisa kuajak serta"
"Err... Tapi bukannya Kakak bisa mengutus yang lain untuk membantuku?" tanyaku mencoba menolak. "Kalau Kakak sendirian bersamaku, Kakak bisa dalam bahaya karena Kakak ketua kami. Jelas kepala Kakak paling dicari tentara" tambahku khawatir.
"Gini-gini aku kuat kau tahu. Kalau tidak aku takkan menjadi ketua" katanya menunjukkan otot lengannya. Kemudian mengusap kepalaku lembut yang sukses membuatku gelagapan.
"Lagipula aku ingin bicara berdua saja denganmu" katanya menatap langit dengan mata sayu. "Rasanya hanya denganmu aku bisa sedikit lebih jujur"
Sedikit lebih jujur... Ah soal itu ya. Soal malam itu. Malam rahasia yang hanya aku dan Kakak yang tahu. Aku menatapnya khawatir
"... Tangan Kakak masih sakit?" tanyaku ragu-ragu. Menatap kearah pergelangan tangan orang itu dengan perasaan sedih.
Dia lagi-lagi tersenyum tipis. Senyum yang dimataku kali ini terasa menyedihkan.
"Sedikit. Namun rasa sakitnya cukup mengobati takutku sekarang" katanya kalem. "Lagipula kau mengobatinya dengan cukup baik. Itu cukup membuatku tenang. Terima kasih, Asha" katanya tertawa kecil. Ketara sekali tengah berusaha untuk tampak baik-baik saja.
Aku hanya bisa tersenyum lega dan sedikit bersyukur karena hari ini Kakak tampak baik-baik saja. Padahal tadi malam dia tampak begitu kalut karena kalah melawan tentara beberapa hari yang lalu. Sehingga lumayan banyak dari kami yang tertangkap ataupun mati terbunuh.
Saking kalutnya aku tak sengaja menemukannya menyakiti dirinya sendiri dengan menyayat lengannya. Waktu ku mendapatinya malam itu matanya tersirat rasa bersalah yang teramat besar. Selain itu rupanya itu bukan perbuatan pertamanya. Banyak sekali luka lama di lengannya yang ia sembunyikan dengan baik dibalik perban dan sarung tangannya. Kukira perban sebelum sarung tangan yang selalu ia lakukan hanya untuk memperkuat kepalannya saja. Ternyata lebih dari itu.
Dia menyuruhku merahasiakan hal itu agar tak ada yang khawatir. Mau tak mau aku hanya bisa mengikuti maunya. Karena disaat seperti ini memang semua orang sangat rentan dengan putus asa. Jika pemimpinnya saja sudah putus asa, siapa lagi yang akan memberi harapan?
"Baguslah kalau Kakak baik-baik saja. Aku benar-benar khawatir soal tadi malam" akuku jujur.
Ia hanya tersenyum tipis. Sesaat kemudian ia menyipit. Reflek menarik lenganku, bersembunyi ke dalam gang sembari memelukku. Membuat mukaku seketika memerah dan jantungku berdebar tak karuan.
Dipeluk orang yang disukai seperti ini siapa yang tidak akan berdebar. Namun perasaan itu segera kutepis jauh-jauh karena bukan saatnya untuk itu.
"A-ada apa kak?" tanyaku bingung.
"Barusan aku melihat tentara sedang patroli di pasar ini. Kurasa dia sedang mencari jaringan kita" katanya dengan ekspresi berubah serius.
Aku berusaha mengintip dibalik tembok. Sayup-sayup aku mendengar pembicaraan tentara.
"Katanya ketua pemberontak Wing of Hope sedang berkeliaran disini. Sendirian.
"Kita harus menangkapnya, hidup atau mati. Perintah raja adalah mutlak"
"Informasi yang baru kita dapat itu benar kan?"
Kulihat raut wajah Kak Peace seketika memucat. Mendapati kenyataan yang cukup menakutkan. Informasi yang bocor itu, bagaimana bisa sampai ke mereka. Apa ada pengkhianat di kelompok kita?
"Kak Peace..."
Aku mulai merasa takut. Ku tatap wajahnya agar bisa tenang. Namun kurasa tak hanya aku. Kak Peace pun sedang kesulitan untuk mengatur ketenangannya. Sebelah tangannya yang tengah memelukku tampak kesulitan menyembunyikan gemetarnya.
"Semuanya baik-baik saja. Ayo kita selesaikan tugas ini, Asha" bisiknya akhirnya kembali mendapatkan ketenangannya. Kembali menggenggam tanganku. Berjalan mengendap-ngendap sembari menyembunyikan diri dari pandangan tentara yang berusaha mencari kami.
Kami hampir sampai ke tujuan kami tanpa masalah, sampai akhirnya kami tak sengaja ditemukan satu orang tentara yang dalam sekejap memanggil temannya untuk memburu kami.
"Ah sial!"
Kak Peace dengan cepat menarik tanganku. Membawaku lari berlawanan arah dari tujuan kami. Perioritas kami sekarang berganti menjadi harus bisa meloloskan diri dari mereka. Atau kami akan ditangkap, atau lebih parahnya dipenggal hidup-hidup.
Mereka keras kepala dan seolah-olah ada dimana-mana. Disaat seperti ini ku sedikit kesal dengan diriku sendiri. Aku hanyalah perempuan lemah di dalam kelompok. Tugasku hanya di bagian logistik dan obat. Itupun saat mengobati teman yang lain lebih banyak dibantu Kak Iin. Andai aku sekuat Kak Iin, aku bisa melawan mereka bersama Kak Peace. Namun karena aku lemah, dia hanya bisa mengajakku kabur.
Namun sepertinya hari ini hari sial kami. Kami terpojok hingga di tepi jurang yang dibawahnya mengalir sungai yang menjadi penghubung kami ke negeri luar dari jalur air.
"Kalian sudah tak bisa kabur kemana-mana lagi. Kalian yang menantang Raja harus berakhir hari ini juga"
Kak Peace masih memegang tanganku erat. Melirik kearah bawah yang tentunya begitu tinggi. Ia tampak sedang berpikir bagaimana caranya untuk kabur. Aku merinding. Apa ini akhir kami.
"Matilah"
Ah tidak. Mungkin ini akhirku, namun takkan kubiarkan ini menjadi akhir untuk Kakak.
"Awas Kak"
Sepertinya Kakak sedikit lengah karena terfokus kepadaku sehingga refleknya sedikit terlambat ketika salah satu tentara mengayunkan pedang hendak menebasnya. Aku yang sempat melihatnya dengan cepat pasang badan melindunginya. Membiarkan bilah pedang menyayat tubuhku secara diagonal.
Segalanya berubah merah dimataku. Itu disebabkan oleh darah yang mulai membanjiri diriku sendiri. Rasanya sakit sekali. Membuatku merasa energiku seketika terhisap seluruhnya.
"A-ASHA..." Kakak segera menyambut tubuhku yang oleng.
"Kenapa kau..."
"WAAA!!!!"
Kata-kata Kak Peace seketika terputus karena tanah yang menjadi pijakan kami tiba-tiba runtuh. Lagi-lagi kesialan menghampiri kami. Kami jatuh dari ketinggian.
Aku sama sekali tak sempat bertindak karena tubuhku sendiri rasanya seperti mati rasa. Namun Kak Peace sempat berpegangan pada sepotong kayu yang mencuat dari tebing itu. Sekaligus menangkap tanganku dengan tangannya yang lain.
"K-Kak.."
"Ssstt... Bertahanlah" desisnya melihat keatas.
Sayup-sayup aku bisa mendengar suara berisik dari atas. Sepertinya mereka bergembira karena berhasil menyelesaikan misi, sehingga tak sadar kalau sebenarnya kami belum jatuh. Itu mungkin karena perpohonan di dinding tebing tampak cukup rimbun meskipun diatas kami tanahnya begitu gersang.
Kami terus bergantung diatas batang kayu sampai suara dari atas tak terdengar lagi. Ku merasa pandanganku mulai berkunang-kunang.
"Bertahanlah. Kita harus keatas bersama...uh..."katanya berusaha menarikku. Baru kali ini aku melihatnya benar-benar panik. Biasanya dia selalu berusaha tampak tenang.
Kutatap Kakak dari atas berusaha bertahan. Ku merasakan sesuatu menetes ke mukaku.Tetesan darah dari tangan Kak Peace mengenai mukaku. Sepertinya luka ditangannya terbuka lagi.
"Sedikit... lagi..."
Kalau begini kami berdua bisa jatuh. Aku tak bisa membiarkan hal itu. Tapi kalau kulakukan...
Tapi aku juga tak bisa membiarkan Kakak mati. Kalau Kakak mati, siapa lagi yang akan memberikan harapan untuk tanah ini.
"Lepaskan...aku Kak" kataku mulai melemaskan tanganku.
"Tidak! Pegang tanganku, Asha. Takkan kubiarkan ada yang mati karenaku lagi"
Dia terus memegangku, namun kurasa batang itu takkan bertahan lama kalau kami berdua harus terus gelayutan.
"Kakaklah yang harus selamat. Kumohon lepas Kak" ku mencoba melonggarkan tanganku. Sebelah tanganku yang lain mencoba untuk melepas tangannya.
"Tidak Asha, jangan lakukan!!" teriaknya panik berusaha menahanku.
Aku hanya tersenyum dengan air mata mengalir. Sungguh aku takut untuk mati. Namun jika kematianku bisa membuat Kakak hidup, kurasa kematian ini tak akan kusesali.
"Terima kasih...sudah memberiku alasan untuk hidup, Kak... Kakak harus selamat disini..."
....'Aku mencintaimu'
Aku hanya tersenyum, tak mengucapkan kata terakhir itu. Biarlah ungkapan perasaan itu kusimpan sendiri saja. Aku tak ingin kata itu menjadi luka untuknya. Aku memejamkan mataku, melepaskan pegangannya yang juga semakin melemah. Jatuh mengikuti arus gravitasi.
"Tidak!!Asha!!"
Sebelum aku disambut oleh deburan air sungai aku masih bisa mendengar teriakannya yang memanggilku.
Teriakan putus asa yang benar-benar tak cocok untuknya.
*******
"Disini kau rupanya."
Aku kaget seketika reflek menolek kebelakang. Mendapati sosok berambut merah dengan netra bagai ruby tengah menatapku dengan datar. Dia sepertinya mencariku hingga ke padang Iris di tepi kota ini karena raut wajahnya tampak begitu capek.
Fine menatapku lama sekali. Kemudian mendekatiku dengan tatapan yang tak seperti biasanya, lalu ikut jongkok bersamaku menatap bunga ungu itu.
"...Kau menangis?" tanyanya membuatku kembali kaget. Baru menyadari kalau sedari tadi mataku sudah dibanjiri air mata karena mengingat masa lalu. Dengan terburu-buru aku menghapusnya. Fine masih menatapku dengan tatapan datar.
"Sejak temanmu datang kau selalu muram. Kau sama sekali tidak cocok dengan aura muram"
"Kalau kau mau, maukah kau cerita padaku?" tanyanya akhirnya.
*****
Tumben ku sampai 2K. Setelah sekian lama, wkwkwkwk....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top