Meaning of Iris
Rasanya akhir-akhir ini ada yang salah. Tapi ku bingung bagaimana menjelaskannya.
Asha terlihat muram dimataku. Walau dia masih memasang senyum sejuta wattnya. Namun dia sedikit lebih diam. Bahkan dia sama sekali tak menyadari kalau hari ini aku sudah melukai tanganku lagi pagi ini karena begitu bosan. Biasanya dia cepat menyadarinya sampai setiap hari tiga kali sehari dia mengecek kamarku yang sekarang disebelah kamarnya untuk memastikan tak ada barang bunuh diri yang kusembunyikan. Tapi tiga hari ini dia tidak melakukannya. Seolah fokusnya pecah ke hal lain.
Tiga hari telah berlalu sejak gadis pendek bernama Inside itu mengunjungi toko ini. Sejak hari itu pula Asha tampak aneh dimataku.
Rasanya...sedikit kesepian? Aneh sekali aku bisa merasakan hal itu.
Aku menguap sembari menjaga toko yang begitu sepi. Hari masih pagi, dan Asha tadi bilang dia keluar sebentar untuk belanja.
Waktu terasa sangat lambat sekarang. Padahal biasanya bagiku waktu serasa berhenti dan pun ku tak begitu memikirkanya. Mungkin efek ku sekarang tinggal di ruko ini. Karena setiap hari ku bisa mendengar ceramah atau ocehan Asha tiga kali sehari.
Kalau begini ku jadi butuh kerja dari Grey sekarang. Setidaknya ku tak memikirkan hal lain selain mati. Disini ku bahkan tak bisa mencoba bunuh diri baru. Ku masih belum menemukan apa yang menyebabkan ku mati.
Aku menguap ketika Nenek Wish datang menghampiriku. Wajahnya tampak tengah mencari.
"Fine, kau lihat Asha?" tanyanya.
"Dia bilang dia mau belanja. Stok bahan kue ada yang habis katanya. Kenapa Nek?"
Nenek Wish tampak heran. "Belanja? Tapi stok bahan masih banyak. Barusan Nenek cek tak ada yang habis"
"Mungkin dia berencana untuk membuat kue baru" kataku santai.
"Tidak, dia selalu izin padaku dulu kalau mau coba bikin kue baru" Nenek Wish kembali menatapku. "Apa Asha menyembunyikan sesuatu? Tapi dia tak pernah berbohong ataupun menyembunyikan sesuatu dariku"
"Fine tahu sesuatu? Akhir-akhir ini Nenek merasa Asha tampak begitu sedih. Sudah lama sekali sejak pertama kali Nenek mengajaknya tinggal bersama" tanyanya mulai khawatir.
Ternyata tak hanya aku yang berpikir begitu.
"Nenek ingin aku mencarinya sekarang?" tanyaku akhirnya.
"Kalau boleh tolong ya Fine. Biar Nenek saja yang jaga toko. Nenek takut Asha kenapa-napa kayak diganggu preman seperti dulu"
Ah, itu saat pertama kali aku bertemu dengan Asha.
"Baiklah. Aku pergi dulu Nek" kataku sedikit membungkukkan badan. Mohon undur diri. Kemudian keluar dari toko.
Ku coba mengingat kebiasaan Asha selama kami berinteraksi. Dia cenderung lebih suka lewat gang karena lebih cepat sampai ke Pasar. Tempat kunjungannya juga tidak jauh-jauh dari pasar dan perternakan yang tak begitu jauh dari pasar. Karena kesehariannya memang tak jauh dari apapun yang berkaitan dengan toko roti karena kedua tempat itu adalah tempat dia biasa menyetok barang.
Namun ketika kutanyai orang-orang yang biasa ia kunjungi di dua tempat itu,semuanya bilang hari ini mereka tidak bertemu dengan Asha.
Kalau begitu dia ada dimana?
Buk
"Ah...aku tak sengaja"
Seorang perempuan jatuh di depanku karena tak sengaja bertabrakan. Aku segera mengulurkan tanganku. Perempuan itu menatapku lama sekali, membuatku seketika merasa canggung.
"Eh, Tak apa" katanya menerima uluran tanganku. Kemudian membersihkan roknya dari debu dengan menepuknya.
Kalau diamati perempuan itu terlihat cukup menyolok dengan warna rambut sewarna anggur. Mukanya bulat kayak anak kecil namun tatapannya membuatku curiga dia jauh lebih tua dari yang kubayangkan. Membuatku seketika teringat akan Inside. Tapi gurat wajahnya tidak mirip orang Iris Tierra ataupun Rain Desert seperti Inside. Mungkin dia turis dari daerah lain.
"Ada yang salah dengan wajahku, Tuan?" tanyanya memiringkan wajahnya kepadaku. Reflek ku menggeleng.
"Ah tidak. Lupakan saja" kataku gelagapan.
Gadis itu menatap kebawah. Tanpa sadar aku pun ikut melihat kearah matanya dan mendapati sebuah bunga terinjak olehku.
"Ah... Iris yang kupungut tadi" katanya jongkok. Membuatku seketika reflek menjauhkan kakiku dari bunga tadi. Dia memungutnya dengan muka sedih.
"Yaah... Rusak. Padahal mau kubawa ke penginapan" katanya tampak kecewa.
"Maafkan aku" kataku kikuk. Suasana ini entah kenapa begitu canggung. Aku harus segera keluar dari sini.
"Kau harus tanggung jawab" tunjuknya kepadaku dengan muka galak.
"Hah?"
Tanggung jawab? Aku tak punya waktu untuk itu.
*****
Gadis berambut ungu anggur itu terus mengekoriku. Memaksaku untuk mengganti bunga Irisnya. Ulahnya sedikit membuatku teringat Asha yang biasa. Namun karena badan kecilnya membuat kesan pertamaku pada gadis itu berubah. Dia ternyata benar-benar anak kecil. Ku salah menduganya dia orang dewasa. Tindakannya sangat kekanak-kanakan.
Dia bilang dia memungut bunga itu di padang Iris yang ada di ujung kota. Itu cukup jauh dari tempat ku sekarang. Tempat itu lebih tepatnya dekat gerbang kota, tempat ku pertama sampai di Iris Tierra. Mau tak mau aku harus mengantarnya kesana secepatnya. Aku masih harus mencari Asha setelah ini.
"Sudah sampai" kataku akhirnya kepada gadis itu yang sekarang tampak senyum-senyum senang.
"Ehe... Makasih Tuan" katanya riang mulai lelarian mencari bunga. Ah, tak masalah kan kutinggalkan saja dia sekarang? Toh dari awal dia juga sendirian.
"Kau boleh meninggalkanku kalau kau mau Tuan" katanya seolah bisa membaca pikiranku. Aku tertegun menatapnya. Tapi kalau dia menyuruhku begitu ya sudahlah.
Aku pergi dari sini.
Niatnya sih begitu. Namun tak jadi karena ku melihat seseorang tengah jongkok diantara rimbunan bunga Iris. Panjang rambut, sosok dari belakang itu tak salah lagi dia orang yang sedang kucari sekarang.
Entah kenapa ku merasa ini sebuah kebetulan yang aneh.
Kembali ku melihat kearah gadis berambut ungu anggur yang kuantar tadi. Aku sama sekali tak menemukan batang hidungnya. Cepat sekali dia hilang.
Sudahlah. Yang penting ku tak perlu mencari lagi. Langsung saja ku menemuinya.
"Disini kau rupanya."
Dia menoleh kepadaku. Ekspresinya membuatku terdiam. Aku seperti pernah melihat ekspresi yang sama sebelumnya. Ah iya, itu ekspresi yang sama saat dia menemukan luka di tanganku untuk pertama kalinya.
Dia menangis. Mukanya basah oleh air mata.
Aku tak pernah suka ekspresinya yang seperti ini entah kenapa.
"...Kau menangis?" tanyaku mendekatinya. Memutuskan untuk jongkok disebelahnya. Menatap bunga-bunga ungu dengan warna kuning di tengahnya itu.
Dia tampak kaget dan buru-buru menghapus air matanya. Percuma saja. Aku sudah melihat semuanya. Rasanya ironis kala menangis sedih diantara bunga yang menyiratkan harapan seperti kata Grey.
Kalau dipikir-pikir aku tak begitu tahu banyak tentangnya. Tak adil juga dia tahu sebagian besar tentang diriku, namun ku tak tahu apa-apa mengenainya.
Kurasa kutanya saja hal ini sekarang.
"Sejak temanmu datang kau selalu muram. Kau sama sekali tidak cocok dengan aura muram"
"Kalau kau mau, maukah kau cerita padaku?" tanyaku akhirnya.
Dia terdiam lama sekali. Memeluk lututnya sembari menatap bunga dengan wajah gundah. Tampak sedikit ragu untuk bercerita.
"Ku tebak ini karena Inside" kataku mencoba memancingnya. Ia pun mengangguk.
"Aku hanya...sedikit merasa bersalah" katanya akhirnya.
"Maksudmu?"
"Aku tak sempat minta maaf sama Kakak. Apa kakak baik-baik saja ketika ku jatuh. Apa dia tak menyakiti dirinya selama ku pergi. Kakak mungkin pergi sebagai pahlawan, tapi apa kakak bahagia? Aku tak bisa tenang sejak Kak Iin memberitahuku tentang kematiannya" katanya menyembunyikan mukanya dengan tangan. Kembali menangis.
Mati sebagai pahlawan ya. Kakaknya sedikit membuatku iri. Ah, bukan saatnya ku berpikir begitu.
Asha sedih karena kakaknya meninggal. Siapapun keluarga yang ditinggalkan yang menyayanginya pasti akan merasa sedih sekali. Apalagi yang ditinggalkan merasa punya kesalahan. Walau ku tak tahu apa konfliknya, Asha pasti sangat menyesal.
"Kakakmu kurasa bahagia. Kalau kau bilang dia mati sebagai pahlawan, pasti dia akan mendapatkan surga sebagai hadiahnya. Setidaknya dia mati terhormat, bukan mati bunuh diri" kataku menatap langit yang tampak begitu bersih diatas sana.
"...Tidak sepertiku" batinku dalam hati.
"Tapi aku masih tak bisa tenang" katanya galau.
"Kalau gitu kau tidak coba mengunjungi makamnya? Ku dengar kabar Rain Desert sudah damai sekarang sejak pergantian kekuasaan" usulku
Dia menatapku lama sekali. Tampak sedikit kaget.
"Kau tau darimana kalau aku orang Rain Desert?" tanyanya heran.
"Minus memberitahuku" kataku kalem.
"Ah, pacar Kak Iin" katanya mengangguk paham.
"Pulang ya... Aku sedikit ragu" katanya memainkan rambutnya.
"Kenapa?"
"Nanti Kakek dan Nenek gimana? Dia pasti khawatir. Mereka benar-benar sudah menganggapku cucunya"
Iya juga sih. Kulihat mereka sangat memanjakan Asha dan mereka selalu membanggakan gadis itu kepada tetangga. Orang-orang yang mengenalnya juga sangat sayang padanya. Rain Desert lumayan jauh dari sini. Walau kubilang sekarang sudah damai tetap saja menimbulkan was-was karena dahulunya adalah daerah konflik. Apalagi Asha penyakitan.
"Mau kutemani?"
Tunggu sebentar. Kenapa aku malah menawarkan hal yang merepotkan seperti ini. Ada apa denganku?
Dia menatapku sedikit heran seolah memikirkan hal yang sama denganku.
"Yaah... Tapi tetap saja kau harus bicara pada mereka kalau kau ingin pulang kampung" kataku menggaruk-garuk kepala kikuk.
"Kalau kau ingin sesuatu kau bisa seret aku seperti biasa. Bukan berarti ku bermaksud ingin menolongmu" kataku membuang muka.
Kulirik Asha dengan ujung mataku dan kudapati matanya membulat dengan mulut membulat. Sedetik kemudian kulihat wajahnya berubah cerah. Ia kembali tertawa setelah beberapa hari ini selalu muram.
"Hum... Akan kubicarakan dengan Nenek" katanya kembali bersemangat. Ia berdiri. Memetik setangkai bunga Iris padaku. Aku menatapnya heran.
"Terima kasih sudah mau menjadi temanku dikala sedih"
Alisku berkerut. "Kau sendiri yang bilang kau temanku kan" kataku menerima bunga itu heran.
Sebenarnya ku tak ingin mengatakan hal semacam itu. Aku sendiri bahkan heran kenapa ku selalu memikirkan hal aneh sedari tadi.
"Ehehe..." dia tertawa. "Tentu. Aku ingin jadi temanmu. Karena teman bisa memberi harapan. Seperti bunga ini. Iris melambangkan sahabat, harapan, dan kehidupan. Aku juga ingin kau juga seperti iris ini"
Iris
Sahabat, harapan, kehidupan.
Aku menatap bunga ungu dengan aksen kuning itu lama sekali. Aku yang tak punya harapan dibuang ke tempat ini dan bertemu dengan seseorang yang terus menyeretku keluar dari zona hitamku. Rasanya bunga Iris ini lebih mirip seseorang daripadaku.
"Bunga ini tak cocok untukku" kataku ikut berdiri. Mengembalikan bunga itu kepadanya. Lebih tepatnya meletakkan bunga itu tepat di sela telinganya.
"Kau lebih cocok dengan bunga ini" kataku mengangguk. Dapat kulihat mukanya seketika memerah seperti tomat. Mukanya tampak sedikit lucu dengan semua itu.
Namun aku tak ingin mengakuinya.
"Saking cocoknya jadi tambah jelek" tambahku sengaja. Memutuskan meninggalkannya. Ku bisa mendengar suara protesnya yang mengejarku.
Rasanya ada yang salah denganku hari ini. Entah kenapa ku cukup menikmati suasana yang kuciptakan hari ini.
Padahal seharusnya ku tak boleh seperti ini.
Tapi ya sudahlah.
******
Ditengah padang Iris, sepasang mata tengah mengawasi sepasang anak muda yang meninggalkan tempat itu dengan sebuah senyum kecil. Sudah cukup lama ia tak melihat orang itu melakukan hal seperti itu. Walau senyum orang itu belum kembali ia sudah bisa melihat hati orang itu mulai kembali perlahan.
"Cukup lama juga sampai makan lima tahun...ya"
Sebuah suara mengagetkannya. Wajahnya seketika memucat ketika mendapati sosok di belakangnya tengah tersenyum tipis kepadanya.
"Tenang saja, aku akan tutup mata soal yang satu ini" kata sosok perempuan berambut ungu yang mengagetkannya barusan perlahan pergi mendahuluinya. Tertawa kecil karena rahasianya sekarang menjadi 'hiburan kecil' untuk perempuan itu.
*****
Fine tsundere wkwkwkwk...
Part ini berantakan seperti biasa. Tapi ya sudahlah.
Btw part ini based komik yang kubuat dulu tentang mereka. Walau ceritanya jadi agak beda.yang di komik lebih romantis, Uhuk...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top