Land of Hope

Sudah lima tahun berlalu sejak ku divonis sudah mati. Sekaligus sudah lima bulan ku tinggal di Iris Tierra. Kota kecil yang seperti namanya dipenuhi dengan bunga Iris.

Juga sudah lima bulan berlalu sejak bertemu Asha pertama kali.

"Waktu kita pertama kali bertemu juga hujan ya"

Aku reflek menoleh. Asha ternyata masih disini. Kupikir dia sudah pergi karena ku tak mengacuhkannya. Aku lupa Asha itu muka badak.

Ya sudahlah. Daripada canggung begini mending kuikuti maunya kali ini. Toh aku juga sedang bosan.

"Ya, itu hari pertamaku di kota ini" kataku datar.

Asha tersenyum.

"Waktu itu makasih ya..." katanya dengan riang.

"Kau sudah sering mengatakannya"

"Tapi aku ingin mengatakannya lagi" katanya dengan senyum lembutnya "Dan akan terus ku katakan agar kau tahu hidupmu masih berarti buat seseorang"

Dasar. Padahal yang kulakukan bukanlah hal yang besar. Dia suka sekali melebih-lebihkan sesuatu. Aku hanya bisa menghela nafas malas.

"Dasar bodoh"

Hanya itu yang bisa kukatakan dengan membuang muka. Percuma saja dia berterima kasih. Karena ku tak merasakan apapun yang istimewa untuk hidupku dari hal itu.

Hidup berarti ya...

Makhluk yang tak lagi mengharapkan kehidupan sepertiku berarti darimananya? Setahuku hanya akan dianggap sampah masyarakat. Dimasa lalu ku pasti dianggap seperti itu.

******
5 bulan yang lalu...

"Sudah berkali-kali kubilang berhenti datang kesini dengan cara bunuh diri,Fine. Kau kan punya tanda kontrak untuk datang langsung ketempatku kalau kau ingin " sungut pria serba kelabu itu lelah. Memijit kepalanya yang pusing dengan klien khususnya ini.

"Ku hanya eksperimen" kataku mengangkat bahu tak peduli.

"Eksperimen dengkulmu. Aissh"

Aku hanya menatap sekitar tak peduli. Aku mengunjunginya lagi untuk kesekian kalinya setelah iseng memakan jamur warna merah cantik yang rupanya beracun.

Kupandangi sekitarku. Ruangan Sang Penjaga Batas Hidup dan Mati masih tak banyak berubah. Semuanya masih kelabu seperti penampilannya. Entah kenapa pria itu sepertinya terobsesi dengan warna itu.

"Cih sudahlah. Kau pergi dari sini" katanya siap-siap melemparku kembali ke dunia nyata.

"Hei, tak bisakah ku istirahat sebentar saja? Pahit jamur yang kumakan tadi masih nempel" sungutku menjulurkan lidah.

Kulihat muka Grey tampak kesal. Tanpa punya kemampuan membaca pikiran pun ku bisa menebak kalau dia ingin menampolku. Namun sepertinya dia sedang tak ingin melakukannya. Sebaliknya dia malah menyuguhkanku teh.

"Habiskan tehmu, lalu kau balik"

"Iya iya"

Aku memilih untuk menurut. Menyeruput teh dalam diam hingga mataku tertuju pada sesuatu yang tak berwarna kelabu yang berada diatas meja kerjanya. Sebuah pot dengan bunga berwarna ungu dengan tengahnya sedikit kuning menghiasi meja kerjanya. Terlihat menonjol dibalik warna kelabu yang ada disini.

"Itu Iris" kata Grey seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Dalam bahasa bunga artinya harapan, atau kehidupan. Bagus kan?" tambahnya ikutan menyeruput tehnya kalem.

"Hoo" kataku datar. Bukan urusanku.

Ia menatapku. Kemudian beranjak ke meja kerjanya tampak mencari sesuatu. Sesaat kemudian terlihat dia tersenyum seolah menemukan sesuatu.

"Ah kurasa kali ini ku melemparmu kesana saja" katanya kemudian kembali kearahku. Lalu menyeretku ke tempat dimana biasanya ku akan dikembalikan. Sebuah jembatan dimana dibawahnya terlihat jurang yang seolah tampak tak berujung.

"Kesana?"

Belum sempat ku mendapatkan jawaban, dia sudah mendorongku jatuh dari ketinggian. Membuatku kembali terlempar ke dunia nyata.

Dan ku terbangun di sebuah padang yang dipenuhi bunga ungu yang mirip dengan bunga yang ada di tempat Grey. Tak lagi di hutan jamur dimana ku berakhir tewas dengan muka ungu karena jamur beracun.

Dimana ini?

Ku putuskan untuk melanjutkan perjalananku. Mencari kota sekaligus tempatku menginap untuk hari ini. Sepanjang perjalanan ku terus menemukan bunga ungu itu dimana-mana. Hingga ku akhirnya berhenti di depan gerbang kota.

Selamat datang di Iris Tierra

Iris Tierra. Tanah Iris. Pantas saja sepanjang perjalanan kesini ku menemukan bunga berwarna ungu itu.

Tes....tes....

Ku menengadah ke langit yang mulai menggelap. Percikan air dari langit mulai mengenaiku. Sepertinya bukan waktunya ku memikirkan bunga. Ku harus segera mencari tempat berteduh sebelum berakhir basah kuyup.

Namun kecepatan lariku ternyata tak sebanding dengan hujan yang perlahan mulai berbondong-bondong turun ke bumi. Pakaianku mulai basah. Tapi ku tetap berlari mencari tempat berteduh.

Ah di depan sana ada gang yang cukup bisa dijadikan tempat berteduh.

Dengan terngopoh-ngopoh ku segera kesana. Kupikir awalnya ku takkan menemukan siapa-siapa di gang ini. Namun ternyata cukup ramai dengan situasi yang menurutku cukup tak bagus.

Dari sini aku bisa melihat seorang gadis berambut hitam panjang tengah ditahan tubuhnya oleh seorang pemuda ke tembok dan beberapa pemuda lain mengelilinginya yang sepertinya adalah para preman yang suka mabuk. Di bawah mereka tampak keranjang berisi bahan makanan yang jatuh berantakan yang sepertinya milik gadis itu dan beberapa botol bir kosong yang jelas milik para preman. Tampak gadis itu tengah berusaha untuk memberontak dengan muka panik dan ketakutan. Sementara para preman itu tampak menikmati penderitaannya. Ketara sekali mereka menginginkan hal yang 'kalian tahulah apa maksudku'.

Lepas...aku tak mau. Tolong"

"Hayolah Manis. Takkan ada siapapun yang mendengarkanmu" ku bisa mendengar suara mereka berat dan penuh nafsu. Dan perlahan mulai mencoba berbuat liar dengan menarik baju gadis itu.

Dasar. Merusak nyanyian hujan saja.

"Aku dengar lho" kataku tak tahan lagi memutuskan untuk mendekati mereka.

Semua mata seketika tertuju kepadaku dengan mata-mata garang tak terima aku merusak kesenangan mereka dan sepasang mata yang tampak begitu berharap padaku.

"Tolong... Tolong selamatkan aku" teriak gadis itu parau menatapku lurus teramat berharap.

"Siapa kau ha? Beraninya kau merusak kesenangan kami" teriak para preman itu kepadaku. Beberapa dari mereka mulai menghadangku. Sementara satu orang dari mereka masih menahan gadis itu.

Aku mengangkat bahu. "Siapa aku tak penting. Kalian merusak suasana" kataku dingin.

"Apa!!"

"Biarkan gadis itu pulang. Kalian menakutinya"

Mereka saling pandang. Sesaat kemudian suara tawa pecah diantara mereka seolah meremehkan.

"Ah kau mencoba jadi pahlawan ya disini heh" kata mereka mulai siap siaga untuk menghajarku.

Senyum sinis kulemparkan ke mereka.

"Aku lebih tertarik untuk jadi algojo kalian daripada pahlawan, Tuan" kataku pun mulai siaga. Boleh kutebak setelah ini pasti kami bakal baku hantam.

"Hajar dia!!" tuh kan.

Kami pun memulai perkelahian. Satu banding delapan. Mereka menggunakan tongkat untuk menghajarku. Namun itu bukan masalah besar untukku. Dengan mudahnya aku menghindari serangan mereka dan menghajar balik mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah terkapar di tanah. Menyisakan seorang lagi yang masih memegangi gadis itu.

"Jangan mendekat atau gadis ini takkan selamat" teriak pria itu menjambak gadis itu.

Aku kembali menghela nafas dan hanya melempar tongkat yang dipegang salah satu dari mereka tepat ke mukanya. Reflek pria itu mengaduh sembari memegang mukanya. Melepaskan pegangannya dari gadis itu dan tentunya tidak dia sia-siakan dengan berlari kearahku dan tiba-tiba saja memelukku dengan tubuh bergetar.

"Ka-Kau sialan!" teriak orang yang kulempari tongkat itu mencoba bangun. Meraih sebuah botol bir dan menerjangku. Reflek ku mendorong gadis yang masih mendekapku ke belakang dan tak sempat menghindar ketika botol itu menghajar kepalaku hingga pecah dan membuat kepalaku berdarah-darah.

Gadis itu berteriak kaget. Aku kembali menghajar perut preman yang memukulku hingga dia tersungkur pingsan di tanah. Aku pun terduduk karena mulai merasa kepalaku agak berputar.

"Kau baik-baik saja? Kepalamu..." tanya gadis itu menghampiriku dengan panik.

"Gapapa" kataku datar. Ini tak seberapa dibandingkan sensasi yang kurasakan ketika jatuh dari ketinggian yang pernah kulakukan dulu.

"Apanya yang tak apa-apa. Kepalamu berdarah" kata gadis itu dengan cepat mengikat kepalaku dengan selendang yang ia bawa bersamanya tadi yang tergeletak tak jauh dari tempat dia dikerumuni para preman tadi.

Ku tatap wajahnya yang tampak sangat khawatir itu. Sepasang mata bundar berwarna coklat gelap itu terasa sedikit membuatku tak nyaman entah kenapa.

"Te-terima kasih sudah menolongku" katanya dengan suara parau. Matanya berkaca-kaca.

Lupakan perasaan tak nyaman karena matanya. Ada yang membuatku lebih tak nyaman lagi dan harus kuberitahukan kepadanya.

"Perbaiki dulu bajumu" tunjukku menutup mataku dengan tangan.Walau ku ini orangnya madesu alias masa depan suram, aku bukanlah orang mesum. Meskipun aku sudah melihatnya sedaritadi.

"Ah..." reflek dia memperbaiki bajunya yang berantakan malu berat. Mukanya tampak merah hingga ketelinga.

"Te-terima kasih sekali lagi" katanya membungkukkan badan.

"Hmm....sama-sama" kataku menggaruk pipiku canggung.

"Sebaiknya kita pergi dari sini sebelum mereka bangun lagi" kataku mencoba untuk bangun. Cih, kepalaku agak pusing.

"Ta-tapi kepalamu? Dan didepan hujan" tanyanya ragu.

"Itu lebih baik daripada hal buruk yang akan terjadi kalau kita tetap disini" kataku meraih tangan gadis itu. Terpaksa menempuh hujan yang masih deras. Itu lebih baik daripada gadis itu kenapa-napa. Entah kenapa aku jadi memikirkan hal itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top