In the Grave
[Asha]
"Tak kusangka kau benar-benar masih hidup, Kak Asha"
Aku hanya terkekeh kecut mendengar kata gadis berambut coklat gelap lebat di depanku. Jangankan Rest, aku saja sampai sekarang masih tak habis pikir kenapa aku masih hidup setelah kejadian itu.
Aku benar-benar tak menyangka bisa bertemu dengan Rest lagi. Rest adalah adiknya Kak Peace. Lebih tepatnya adik tiri beda ayah yang sempat terpisah lama, namun akhirnya mereka bertemu lagi. Rest pembawaannya tipikal sangat tuan putri. Itu bisa dimaklumi karena ayahnya dulu adalah raja di tanah ini. Raja yang ingin kami turunkan dulu.
Meskipun ayahnya adalah raja yang notabene berada dipihak yang berlawanan dengan kami, namun Rest tetap baik kepada kelompok kami. Itu dikarenakan ibunya Rest tak pernah mau menjadi istri raja dan kabur dari kerajaan dengan membawa serta Rest. Namun kala itu hanya gadis itu saja yang selamat.
"Yaah aku sendiri juga tak menyangka bisa begini" kataku akhirnya. "Ah ngomong-ngomong apa kau yang menjadi Ratu sekarang?"
Rest tertawa. "Tentu saja tidak" katanya begitu santai.
"Eh? Kenapa? Kau kan masih bisa dibilang tuan putri"
Rest menggeleng. "Aku lebih suka menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Seperti di kelompok kita dulu. Ah, kau tak perlu khawatir, Raja yang sekarang cukup baik hati dan salah satu dari kelompok kita.... Yah, walau tak ada yang sebaik kakak dalam menenangkan hati orang-orang" katanya memainkan jarinya.
"Iya juga ya..." kataku setuju dengannya.
Kami berbicara banyak. Mengenai perjalananku, kehidupanku selama lima tahun terakhir. Begitu pula tentang situasi negeri ini dan tentang kabar kelompok kami. Rest bilang dia memutuskan ikut berkelana seperti yang dilakukan Kak Inside. Berkelana sembari membantu pekerjaan temannya yang ikut dengan kami. Kulihat temannya sedikit aneh. Wajah dan tubuhnya dipenuhi perban. Mungkin ada semacam pengalaman pahit yang pernah temannya itu alami sehingga berakhir seperti sekarang. Sekarang temannya itu entah pergi kemana.
"Ah kakak datang sendiri?" tanya Rest mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ah, aku bersama temanku"
Aku baru ingat kalau aku bersama Fine. Reflek ku mencarinya, dia tak ada. Kemana perginya anak itu.
"Mencariku?"
Ku menoleh kaget ke belakang. Dia akhirnya kembali entah darimana. Wajahnya lempem seperti biasa. Dengan wajah cemberut ku menatapnya protes. Kupikir dia akan hilang dan kumat lagi.
"Jangan menatapku gitu. Ku dari tadi cuma menatap bunga di sekitarmu" katanya mengangkat bahu. "Aku tak ingin merusak reuni kau tahu"
Iya juga sih.
"Ah, ini dia temanku" kataku menarik pemuda itu. "Namanya Fine. Fine, ini sahabat baiku, Rest" kataku memperkenalkan mereka.
Rest menatap pemuda itu lama sekali dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Sesaat kemudian ia tersenyum lebar.
"Salam kenal, Kak Fine" katanya riang. "Jujur kukira tadinya ku lihat penampakan" kekehnya kikuk.
"Penampakan?" tanya Fine heran begitu pula denganku.
Rest hanya tertawa kikuk. Tak menjawab sama sekali.
******
"Kak Asha tadi nanya makamnya Kak Peace kan? Mau kuantar kesana?" tawar Rest.
"Ah boleh banget" tentu saja aku menyetujuinya. Lebih baik bersama orang yang mengetahui tempat daripada mencari sendiri. Itu lebih menghemat waktu.
"Baiklah, tapi sebentar ya Kak" katanya kemudian meninggalkan kami. Menuju tempat pemuda yang dipenuhi perban yang katanya merupakan teman seperjalanannya.
Aku kembali menoleh kepada Fine yang saat itu tengah menyipit menatap Rest dari kejauhan.
"Ada apa?" tanyaku padanya.
"Ah" ia tersentak kaget. Kembali menatapku dengan tatapan yang entah kenapa sedikit linglung.
"Bukan apa-apa" katanya sembari menyembunyikan tangannya ke dalam saku jaketnya. Membuang muka.
"Yakin?" tanyaku memastikan. "Kau agak aneh daritadi"
Fine melirikku dengan tatapan malas. "Perasaan ku aneh selalu" sungutnya.
"Ah kau sadar diri" kekehku. Dia hanya menghela nafas panjang.
Aku kembali menatapnya dengan perasaan aneh. Aku masih yakin kalau dia ada apa-apanya. Tingkahnya seolah tengah menyembunyikan sesuatu.
Dia kembali melirikku dengan tatapan menyipit. Kemudian menyentil kepalaku.
"Aww..."
"Berhenti menatapku seperti itu. Kepalaku bisa tambah sakit" sungutnya.
"Sakit?" tanyaku khawatir.
Ia tertegun. Seolah menyiratkan kalau ia telah keceplosan mengatakan hal itu. Kemudian kembali membuang muka.
"Cepat selesaikan acara reunimu ini. Biar bisa balik ke penginapan" katanya.
"Maaf menunggu Kak Asha"
Pembicaraan kami terpaksa terhenti ketika Rest kembali kepada kami. Padahal aku masih menyimpan pertanyaan tentang Fine.
"Patchy bilang dia tak masalah ditinggal asal ku balik lagi kesini nantinya. Ayo Kak" katanya menarikku. Sepertinya Patchy yang dia sebut adalah teman laki-laki seperjalanannya tadi. Nama yang menurutku cukup imut dibandingkan penampilannya yang sedikit kucel.
Aku hanya tersenyum mengikutinya.Fine mengikutiku dari belakang. Ku kembali melihatnya dengan sudut mataku. Lagi-lagi kudapati Fine tengah menyipit menatap kami. Seolah tengah memikirkan sesuatu.
******
Hai Kak Peace...
Akhirnya kita bertemu lagi...
Meskipun bukan seperti ini yang kuharapkan...
Ku tatap sebuah gundukan tanah yang dilengkapi nisan yang dilingkari syal rajut berwarna hijau lumut bergaris dengan perasaan campur aduk. Aku ingat itu adalah syal kesayangan Kakak semasa hidupnya. Katanya syal itu adalah peninggalan ayahnya.
Aku menangkupkan kedua tanganku berdoa. Sulit menahan air mata ini untuk tidak jatuh. Seharusnya akulah yang mendahuluinya. Benar-benar tak kusangka justru malah sebaliknya dan ku tak tahu itu selama bertahun-tahun.
Aku merasa jahat sekali.
Walaupun tak ada yang bisa disalahkan disini, namun aku tetap ingin menyalahkan diriku sendiri yang tak ada disebelah kakak. Aku yakin setelah kejadian waktu itu, kakak menyembunyikan banyak luka di balik perban tangannya.
Baik Rest ataupun Kak Iin mengatakan kalau Kakak cukup terpukul setelah aku jatuh. Walau mereka tak begitu menceritakan detilnya seperti apa. Aku ingin sekali bertanya lebih, tapi aku tak berani menanyakannya. Aku hanya bisa berharap Kakak tidak kembali melukai dirinya sendiri seperti dulu.
Kakak, apa kau baik-baik saja selama aku tak ada? Apa kau merelakanku pergi dan tidak menyakiti dirimu lagi? Aku sangat penasaran akan hal itu, namun ku tak bisa menanyakannya pada siapapun...
Kakak...apa kematian itu sakit?
Apa kau mati saat itu dengan senyum?
"Kau tau... Sekarang impianmu telah terwujud. Bunga tujuh tahun kembali dengan tanah ini telah damai.Sayang sekali kau tak bisa melihatnya" gumamku tersenyum miris.
"Kuharap Kakak mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian di alam saja. Kakak adalah orang baik, pasti akan mendapatkan yang terbaik" doaku sungguh-sungguh.
Aku meletakkan setengkai bunga merah jambu yang sempat kuambil di padang tadi diatas makamnya. Sedikit berharap dia bisa melihat bunga ini di alam sana.
"Ah terima kasih sudah mengantarku, Rest" kataku menghapus air mataku malu.
"Ah sama-sama Kak Asha. Tentu saja aku akan mengantarmu. Karena kita keluarga ya kan?"kekeh Rest santai.
"Ah aku harus pergi sekarang Kak. Sudah mau matahari terbenam. Patchy akan memarahiku" katanya terburu-buru mulai meninggalkan kami.
Aku hanya tertawa kecil melihat punggungnya yang tampak terngopoh-ngopoh meninggalkan kami.
"Ah... Kita juga harus balik ke penginapan, Fine." kataku menghampiri pemuda itu. "Maaf sudah membuatmu menung..."
"Fine?"
Ku terkejut karena mendapati pemuda itu kini tengah mematung dengan nafas terengah-engah. Sembari memegangi lehernya. Dia tampak berkeringat dingin. Apa yang terjadi?
"Kau kenapa? Tanyaku memeganginya khawatir.
"Ah..." Ia tampak tersentak. Kemudian menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. Nafasnya masih tampak tak beraturan. Ia memejamkan matanya mencoba menenangkan diri. Beberapa saat kemudian ia menghela nafas panjang. Hanya menggeleng dengan ekspresi kembali seperti semula. Datar.
"Ah tidak. Sepertinya ku sedikit dehidrasi" kilahnya. "Sudah selesai ya? Ayo balik" katanya.
Aku mengangguk. Namun masih menatapnya dengan khawatir.
"Ada apa lagi?"
"Kau beneran tak apa kan? Kau tak mau cerita padaku? Kau agak aneh daritadi?" tanyaku cemas.
Ia mendengus. "Sudah kubilang tak apa. Dan tak ada yang perlu diceritakan" katanya membuang muka.
"Kalau masih diam, kau kutinggal" katanya membelakangiku dan mulai beranjak meninggalkanku.
"Ah tunggu" kataku mengejarnya.
********
Dear Peace
Aku kembali kesini
Butuh waktu lama, hingga lima tahun untuk sampai ketempat ini
Akhirnya aku bisa menemuinya kembali...
Menemui makamku sendiri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top