Hope's Wish

[Asha]

"Jangan!"

Ku terbangun dengan perasaan berkecamuk. Hari ini mimpiku buruk sekali. Membuatku tak bisa menghentikan gemetarku sejak ku membuka mata.

Mimpi itu lagi. Tentang masa lalu itu.

Perasaan bersalah masih saja menghantuiku. Rasanya menyesakkan. Sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang membuatku hanyut hingga ke Iris Tierra.

Ya... Aku bukanlah penduduk asli tempat ini. Aku berasal dari Rain Desert. Sebuah tempat yang cukup gersang karena wilayah gurun. Berpuluh-puluh kilometer dari sini. Di ujung sungai yang mengairi Iris Tierra.

Ku keluar dari kamar, hendak mencari air. Nafasku sesak sekali. Sepertinya penyakitku kambuh. Begitu sampai di dapur, segera kuraih teko berisi air dan menuangkannya ke gelas. Dengan cepat meminumnya bersama obat yang kudapatkan tadi pagi di rumah sakit.

Ngomong-ngomong soal rumah sakit, ku teringat Fine.

Dia baik-baik saja kan? Apa dia bakal mencoba bunuh diri lagi? Apa dia masih akan hidup besok?

Pikiranku mulai dipenuhi akan hal-hal buruk yang akan dilakukan pemuda itu. Pemuda yang sejak lima bulan terakhir terlihat begitu mengkhawatirkan dimataku.

Dari awal kulihat dia memang seolah tak peduli dengan dirinya sendiri. Ku sering mendapatinya sama sekali tak menghindar dari sesuatu, seperti dia tak menghindar ketika ada pot jatuh dari atas mengenai kepalanya, atau sama sekali tak menghindar ketika ada kereta kuda melintas di depannya seperti tadi pagi . Sehingga ku kadang sampai membawa P3K di tasku untuk jaga-jaga kalau ku bertemu dengannya lagi.

Dia juga selalu bilang jangan pedulikan dirinya dan seolah baginya mati tak masalah buatnya. Kupikir dia hanya tak peduli dengan keadaannya. Namun ternyata lebih dari itu.

Semua ketidakpeduliannya akan dirinya sendiri itu tak lebih dan tak kurang karena ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Aku benar-benar baru tahu hari ini.

Tali yang kulihat tadi siang dan kursi jatuh itu membuatku benar-benar khawatir. Apalagi bekas sayat di tangan itu membuatku merasa bersalah. Karena ku merasa gagal sebagai temannya.

"Haahh..."

Aku menghela nafas panjang. Beranjak kembali ke kamar tidur. Menatap jendela kamar yang menampilkan bulan purnama di langit malam.

"Kau masih akan terus hidup kan, Fine?" gumamku menatap bulan, menerawang dengan perasaan khawatir.

Aku harus melakukan sesuatu besok pada pemuda itu. Aku benar-benar tak bisa tenang.

"Asha, kau tak tidur?"

Ku mendengar sebuah suara wanita tua yang rendah di dekat pintu. Reflek ku menoleh ke sumber suara.

"Ah, Nenek" kataku mendekat sembari memasang senyum lemah. "Belum" tambahku menggaruk pipi kikuk.

Nenek Wish sudah seperti nenekku sendiri. Ia hanya tinggal berdua dengan suaminya tanpa anak, apalagi cucu. Sebagai balas budiku karena mereka menyelamatkanku dulu, akupun memutuskan untuk menjadi cucu mereka. Mereka sangat senang dengan itu.

Nenek Wish menatapku khawatir. Mengusap wajahku lembut.

"Kau pucat, Sayang. Sesak lagi?" tanyanya menuntunku kembali ke tempat tidurku.

"Sedikit" akuku jujur.

"Kau tak boleh banyak pikiran, Asha. Bukannya itu kata dokter?" katanya mengusap kepalaku. Aku hanya mengangguk. Menarik selimut, segera berbaring agar nenek tidak khawatir.

"Kau kenapa, Sayang? Cerita sama Nenek" tanyanya menyelimutiku.

"Humm... Bukan apa-apa Nek. Ku hanya sedikit khawatir dengan temanku"

"Pacarmu?" tanya Nenek Wish tersenyum simpul.

"Bu-bukaan" reflek ku menggeleng kepala. Kenyataannya Fine memang bukan pacarku. Walau begitu, tetap saja kata-kata nenek membuatku malu.

"Pemuda rambut merah yang sering kau temui akhir-akhir ini kan?" kekeh Nenek Wish seolah mentertawakanku. Apa aku memasang wajah aneh sehingga dia tertawa?

Ku menutup separuh mukaku dengan selimut. Mengangguk lugu.

Kuputuskan untuk sedikit cerita mengenai Fine. Namun ku tak bisa menceritakan bagian keinginannya untuk mati itu. Aku hanya bilang kalau Fine sepertinya mengalami banyak masalah dan hidup sendiri.

"Kau benar-benar anak yang baik,Asha" kata Nenek Wish kembali mengusap kepalaku.

"Nenek bisa lihat dari wajahnya memang tampak seperti kehilangan sesuatu dan tampak sedikit bingung. Namun Nenek bisa percaya kalau dia anak baik seperti yang kau bilang"

"Hum... Dia baik. Dia sering menolongku. Walau dia tak pernah mau menerima ucapan terima kasihku" gerutuku kembali mengingat tingkah pemuda itu tiap ku berterima kasih ataupun membalas budi. Dia selalu pasang wajah dingin, dan membuang muka tiap ku melakukan hal itu.

"Mungkin dia punya alasan, Sayang. Nenek akan selalu mendukungmu untuk menolong temanmu. Kau bisa minta tolong Nenek kalau ingin sesuatu" kata Nenek mencoba menghiburku.

"Terima kasih, Nenek" kataku dengan senyum lebar.

"Tidurlah. Sudah terlalu malam"

"Umm... Nenek" tiba-tiba ku teringat sesuatu.

"Ya, Sayang?"

"Umm... Apa Fine boleh tinggal disini?" kataku akhirnya.

*******

"Fine! Oii... Fine!"

Dengan suara sedikit keras, aku menggetuk kamar kontrakannya sekaligus sedikit khawatir. Sengaja ku mengetuk pintunya seperti itu untuk memastikan dia masih hidup apa tidak.

Saat pintu kamar itu terbuka, segala kekhawatiranku akan menemukan mayat langsung sirna. Kudapati sosok di depan pintu tampak begitu masam seolah terganggu.

"Pagi Fine. Bagaimana harimu?" tanyaku tanpa pikir panjang mengecek kondisinya.

"Hei...hei... Stop. Apa-apaan kamu" serunya risih. Berusaha menahanku dengan tangan.

Syukurlah tak ada luka baru.

"Ahaha... Maaf. Aku hanya memastikan tak ada bekas tali tambang atau luka sayat baru" kekehku lega.

Dia hanya mendengus.

"Kau datang terlalu cepat. Jadi ku tak sempat minum racun" katanya kalem. Sukses membuatku kaget.

"Yang benar saja" reflek ku masuk ke kamarnya tanpa basa-basi sama sekali.

Sebuah pikiran menakutkan terlintas di benakku sehingga ku nekat masuk kamarnya tanpa izin dari pemuda itu. Mengobrak-abrik isi kamarnya. Berharap tidak menemukan racun yang dia maksud.

Berharap  kata-katanya barusan hanya bercanda.

Dan lagi-lagi Fine tak bergurau soal hal berbahaya itu. Aku menemukan racun serangga di dapur. Bahkan beberapa racun lainnya dibawah kasur.Aku menatap tajam kepada pemuda itu dengan perasaan sedih bercampur dengan marah.

"Kau..."

Fine tampak menghela nafas panjang. Menatapku datar.

"Untungnya kau datang. Bukannya begitu" katanya kalem. Ia pun meraih botol-botol racun yang tengah kupegang. Lalu memasukkannya ke tong sampah.

"Ku sudah menduga kau akan sering datang kesini, jadi ku menahan diri. Lagipula mati dengan meninggalkan luka untuk orang lain itu tak baik" katanya membuang muka.

Jadi kalau aku tak peduli dia akan benar-benarnya melakukannya gitu?

"Fine, kau benar-benar..." sungguh ku ingin sekali menamparnya supaya sadar dengan perbuatannya. Namun kuputuskan untuk menahan diri.

"Kau sudah sarapan?" kataku akhirnya.

"Belum. Kenapa?"

"Makan yuk. Aku sengaja bawa sarapan kesini. Habis ku tak tenang sebelum memastikan kau baik-baik saja" kataku memasang senyum terbaikku. Mulai membuka bekalku berupa roti berisikan daging yang diiris tipis dan membaginya kepada pemuda itu.

Fine hanya menatap bekal pemberianku dengan datar. Namun tatapannya kali ini tampak seolah memikirkan sesuatu.

"Sedang memikirkan apa?" tanyaku memiringkan kepala.

Fine menggeleng. Memutuskan memakan sarapan yang kubawakan. Dia tampak sedikit menikmatinya. Syukurlah, kurasa rasanya tak buruk.

"Ngomong-ngomong Fine, apa kau kerja? Tinggal sendirian disini pasti cukup sulit kan?" tanyaku mulai membuka pembicaraan.

"Tidak juga" katanya menghabiskan bekalku. Dia tampak berpikir, kemudian mengangkat bahu.

"Ku punya kerja, tapi waktunya tak menentu" tambahnya.

"Kerja apa?" tanyaku penasaran.

Semoga saja bukan pekerjaan berbahaya.

"Err... Guide? Semacam itu" katanya tampak sedikit ragu.

Mencurigakan.

"Bukan pekerjaan berbahaya kok" katanya seolah tahu isi pikiranku. "Tapi sekarang ku lumayan nganggur. Iris Tierra lumayan damai, jadi tak ada tugas untukku" katanya sembari menguap.

Aku mengernyitkan dahi tak mengerti dengan pekerjaan yang dimaksud pemuda ini. Kuharap aku bisa memegang katanya kalau pekerjaannya itu bukan pekerjaan yang berbahaya.

Tapi ku masih khawatir. Ku tak begitu tahu akan dunia pemuda ini.

"Ano...Fine"

"Mm?"

"Bagaimana kalau kau kerja di toko kami selama nganggur? Sekalian tinggal denganku di rumah Nenek?" tawarku akhirnya.

Kuharap dia menerima tawaranku. Aku tak bisa tenang sebelum dia benar-benar berhenti untuk mencoba mengakhiri hidupnya. Nenek sudah mengizinkanku akan hal ini.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top