First Memory
Di tengah hujan aku kebingungan harus membawa gadis ini kemana. Jalanan tampak sepi dan ku mulai merasa kalau mereka sudah bangun sekarang. Sebenarnya aku ingin meninggalkannya, namun tubuhku seolah bergerak sendiri.
Aish... Aku harus membawanya ke tempat yang aman secepatnya. Kepalaku semakin berdenyut. Ku tak ingin pingsan ditengah jalan, apalagi didepan orang. Mana sekarang hujan lagi deras-derasnya. Rasanya terlalu menggenaskan kalau pingsan sekarang.
"A-ano..."
"Apa?" reflek ku menoleh.
"Rumahku diujung sana" kata gadis itu dengan suara kecil. Tampak ngos-ngosan sembari memegang dadanya mulai pucat.
Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk. Tampak seperti sebuah toko. Kupandangi dia cukup lama. Kemudian jongkok membelakanginya. Memposisikan tanganku dibelakang. Berniat menggendongnya
"Eh?"
"Naik. Kau mulai sakit" kataku datar
"Tapi..." kata gadis itu ragu. Aku hanya diam menatapnya menunggu dengan tak sabar. Terlalu lama, akhirnya aku mengangkatnya.
Ah, jangan harap aku akan menggendongnya ala pengantin. Memangnya dia siapaku? Setidaknya aku memperlakukannya cukup baik seperti yang diperintahkan Grey agar selama ku hidup ku harus berbuat baik. Daripada ku menggendongnya ala karung beras?
"Tu-tuan..."
"Ng?"
"Turunkan aku. Kau lebih parah" katanya terdengar seperti merasa bersalah.
Aku hanya menghela nafas panjang. Tetap dengan perbuatan - yang entah kenapa kulakukan- ini. Hingga sampai di pintu toko ku disambut oleh seorang wanita tua.
"Astaga Asha. Kenapa kau hujan-hujan? Kau kan asma" seru wanita itu dengan sigap pergi ke belakang. Kemudian kembali dengan dua handuk ditangannya.
"Terima kasih Nenek. Maaf, tadi Asha diganggu preman. Tadi ditolong sama dia" kata gadis itu turun dari punggungku. Menceritakan apa yang terjadi pada wanita yang merupakan neneknya.
"Ah, terima kasih banyak sudah menolong cucuku, Nak" kata wanita itu kepadaku.
"Sama-sama, Nek" kataku sedikit berpegangan pada dinding toko. Ku perhatikan sekitar. Terlihat berbagai macam roti di balik kotak kaca. Sepertinya ini toko roti.
Sial, bawaannya jadi lapar. Tapi untuk sekarang ku sedang tak punya uang dan situasinya tak memungkinkan untuk mencuri.Lebih baik ku pergi saja. Toh urusanku disini sudah selesai
Sesuatu menutupi kepalaku. Aku tertegun ketika sebuah tangan menahanku bersamaan dengan sesuatu yang rupanya handuk bertengger di kepalaku.
"Sudah mau pergi? Diluar masih hujan. Kalau kau kena hujan terus lukamu bisa radang" katanya terdengar khawatir.
"Ku bisa mengurusnya nanti" kataku dingin. Mencoba menepis tangannya, namun gadis itu malah mempererat genggamannya.
"Setidaknya biarkan aku mengobati kepalamu itu sebelum kau pergi. Anggap saja sebagai balas budi" katanya ngotot menyeretku naik ke lantai dua toko. Aku terpaksa menurutinya sembari memegang kepalaku.
Di lantai atas tampak seperti ruangan sederhana dengan banyak perabotan kayu. Ia pun mendudukkanku di salah satu kursi kayu. Kemudian berlari kecil mencari kotak obat.
Ah sial, sepertinya ku benar-benar akan pingsan disini. Semua yang kulihat mulai berputar.
******
"Kau tak apa-apa? Tenanglah. Para tentara sudah pergi"
Aku bisa mendengar suaraku dan tanganku terulur mencoba merangkul seorang gadis dengan selendang di bahunya. Aku tak begitu bisa melihat raut wajah gadis itu. Wajahnya tampak blur di mataku. Yang bisa kulihat dia adalah seorang gadis dari penampilannya.
Aku mendengar suara isakan tertahan dari gadis itu. Tak tahu kenapa aku merasa sangat kasihan sehingga tanpa sadar mengusap kepalanya lembut.
"Tss...tsss... Semuanya sudah tak apa-apa. Kau sudah aman sekarang"
.
.
.
Kubuka mataku. Rasanya tadi ku bermimpi panjang mengenai sesuatu. Yang kuingat hanyalah tadi ada hubungannya dengan tentara. Dan rasanya seperti nyata.
Ku tak pernah bermimpi sejak kematianku. Ingatan yang ku ingat sekarang biasanya kudapatkan saat ku tengah melamun, dan kebanyakan selalu berkaitan dengan percobaan bunuh diri. Namun baru kali ini ku memimpikan sesuatu yang entah kenapa terasa familiar.
Ku perhatikan sekitarku. Kusadari kalau ku mendapati diriku tengah berada di sebuah kamar. Kurasakan kepalaku sepertinya diperban.
Dan... bajuku sudah diganti?
"Ah sudah bangun"
Aku reflek kaget ketika gadis itu masuk ke kamar dengan nampan berisikan beberapa potong roti dan segelas coklat panas. Kutatap dia dengan tatapan 'kau tak melakukan sesuatu yang aneh kan?'
Namun sayangnya gadis itu tak peka dengan arti tatapanku. Dia malah mendekatiku dan menyerahkan nampan berisikan roti itu dengan senyum yang menurutku terlalu lebar sampai membuatku merasa tak nyaman. Senyum lebarnya untungnya bukan seperti senyum lebar hantu mulut sobek dalam dongeng negeri lain yang pernah kukunjungi sebelumnya, namun lebih seperti senyum anak kecil yang mengharapkan pujian dengan muka berseri-seri yang entah kenapa bikin silau.
"Aku habis manggang roti. Pas sekali ditengah hujan makan sesuatu yang hangat. Bukannya begitu Tuan?" katanya polos.
Baru saja aku ingin menjawab, dia kembali memotong pembicaraan.
"Bagaimana keadaanmu? Tadi ku panik sekali ketika kau tak bangun-bangun. Kupikir kau mati. Untung Nenek Wish bilang Tuan cuma pingsan. Kau beneran gapapa kan, Tuan?"tanyanya masih khawatir.
"Dimana bajuku?" tanyaku cepat sebelum dipotong lagi. Masih menatapnya dengan tatapan yang sama. "Kau tak melakukan hal aneh kan?" tanyaku curiga.
Gadis itu terdiam. Seolah sedang mencerna maksudku. Sesaat kemudian mukanya tampak seperti kepiting rebus. Panik dan malu.
"Awawa... Ku ga melakukan hal aneh. Bajumu lagi kucuci... tapi yang mengganti bajumu itu Kakek West" katanya gugup dengan tangan gerak-gerak lucu berusaha menjelaskan.
"Ya sudah kalau gitu" kataku datar. Menerima roti dan coklat panas pemberiannya
Baiklah aku percaya padanya. Dia sama sekali tidak terlihat menyembunyikan kejahatan. Dia tampak seperti gadis desa yang lugu.
Ngomong-ngomong roti ini enak juga. Panggangannya pas, tidak terlalu kering. Coklat panasnya juga tidak terlalu manis.Cukup untuk membuatku menghabiskan semuanya dengan cepat.
"Ah sepertinya kau benar-benar sudah baikan,Tuan. Gimana hasil pangganganku? Kuharap rasanya tidak buruk" tanyanya tampak penasaran.
"Lumayan" kataku datar. Mencoba untuk bangun. Ku merasa kepalaku masih sedikit pusing. Namun tak masalah.
"Ah syukurlah..." katanya dengan muka sangat bersyukur.
"Syukurlah kakak tidak apa-apa... Semua mengkhawatirkanmu. Kau tau"
Aku terdiam. Sesuatu yang aneh terlintas di benakku. Sesuatu yang familiar dan sedikit mirip dengan mimpi yang baru saja kualami. Itu tadi apa?
"Kau baik-baik saja, Tuan? Kepalamu masih sakit?" tanya gadis itu lagi kembali tampak khawatir. Mungkin karena ku kembali memegangi kepalaku.
Ku tatap dia datar. Menggeleng berusaha melupakan pikiran barusan. Kemudian menghela nafas panjang.
"Fine"
"Eh?"
"Kau memanggilku Tuan terus. Itu tak cocok buatku. Panggil saja Fine" kataku akhirnya. Beranjak menuju jendela. Menatap rintik hujan yang masih deras di luar sana.
Gadis itu memiringkan kepalanya. Sesaat kemudian kulihat dia kembali tersenyum lebar kepadaku yang lagi-lagi membuatku merasa tak enak hati.
"Ah... Aku Asha. Terima kasih banyak sudah menolongku tadi, Kak Fine" katanya sedikit membungkuk.
Dia benar-benar sangat sopan. Membuatku merasa semakin canggung.
"Fine saja. Tanpa embel-embel" kataku dingin. Ku tak begitu suka panggilan berembel-embel seperti itu. Ku bukan siapa-siapa sekarang.
"Tapi sepertinya kau lebih tua dariku" katanya menempelkan telunjuknya di dagu dan kembali memiringkan kepala polos.
Aku hanya mengerutkan dahi tak menjawab.
"Tapi baiklah. Senang berkenalan denganmu, Fine. Sekali lagi terima kasih"
Aku hanya menghela nafas panjang. Baguslah dia cukup peka kali ini.
*******
Sebagai permulaaan, kurang lebih mereka seperti ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top