9
Depresi adalah sebuah keadaan mental yang ditandai dengan turunnya mood dan penghindaran aktivitas. Gejala utama dari depresi disebut anhedonia, merujuk pada hilangnya ketertarikan atau rasa senang dalam kegiatan-kegiatan yang biasanya menyenangkan. Mood depresif merupakan gejala dari gangguan mood seperti gangguan depresif mayor dan distimia, tetapi bisa juga merupakan reaksi normal dari kejadian-kejadian besar dalam hidup.
Dalam penanganan depresi, obat antidepresan hanya diberikan kepada pasien-pasien dengan gejala berat atau diiringi gejala lain. Namun, penggunaan antidepresan bukan jaminan gangguan depresi tidak akan kambuh. Alternatif untuk penanganan depresi adalah psikoterapi, olahraga rutin, dan mengenang masa-masa menyenangkan dalam hidup.
Renjun membuang napas panjang di depan dandang, malam itu saat memasak. Hasil pencariannya di komputer sekolah tentang depresi justru membuatnya merasa makin tiada harapan. Bagaimana tidak? Pertama, ia menyimpulkan bahwa Sicheng depresi semata dari bayang-bayang yang tertangkap matanya dan komentar Guru Yun pada lukisannya. Benar atau tidaknya hanya psikiater atau psikolog yang tahu, tetapi jika dia saja menolak dibawa ke poli kejiwaan untuk gangguan 'penglihatan' yang sudah jelas, apalagi Sicheng yang sejauh ini mengaku baik-baik saja?
Selanjutnya, jika memang tidak ada tempat bagi Sicheng berobat ke dokter (atau jika uang mereka tidak cukup untuk itu), apa yang bisa Renjun lakukan untuk menutup lubang dalam penglihatannya? Selama ini, ia tidak pernah benar-benar 'mempelajari' apa yang Sicheng suka atau tidak suka. Sicheng makan apa saja, menerima gaji tanpa gembira berlebihan, dan tidak punya selera khusus dalam berpakaian.
Oh, tapi pada waktu-waktu tertentu, Gege kelihatan betul gembiranya.
'Waktu Sicheng kelihatan gembira' itu, dalam kepala Renjun, adalah kenangan di rumah sakit. Tirai kelabu yang melebur menjadi halo senja, yang kemudian melebur lagi menjadi payet-payet ungu, memperindah senyum Sicheng saat menerima maaf Renjun. Kenangan berikutnya adalah ketika Sicheng memuji Renjun karena menghabiskan makanan rumah sakit. Renjun juga mengenang betapa cerah muka Sicheng ketika menjadikannya 'umpan diskon' di toko roti, juga ketika Renjun mengungkapkan ingin menggambar keluarga kecil mereka.
Ikan di dandang seharusnya sudah matang. Renjun mematikan kompor dan membuka tutupnya.
Benarkah apa yang menyenangkan Sicheng-ge selalu berkaitan denganku? Tapi, jika itu benar, mengapa lubang itu kembali muncul sekeluarnya aku dari rumah sakit? Mengapa diriku yang sekarang belum cukup untuk menutup lubang itu?
"Ah, panas!"
Gara-gara bekerja sambil melamun, Renjun lupa melindungi tangannya dengan kain saat akan mengangkat piring dari dandang. Uap panas yang menyapa jemarinya segera menyadarkannya akan bahaya. Renjun menyambar sarung tangan kain, lalu mengenakannya tepat ketika Chenle masuk dapur dengan terburu-buru.
"Xiao Ren, kau baik-baik saja? Ada apa? Ada yang luka, tidak?" tanya Chenle heboh. "Aku bantu, ya?"
"Tidak perlu." Renjun memutar bola matanya, lalu membuang air rebusan ikan dan potongan jahe yang diselipkannya ke daging ikan. Ia memang sengaja mengusir Chenle sebelum bekerja karena tahu dapur akan meledak jika bocah ikal itu ikut-ikut. Namun, melihat apa yang Renjun masak, Chenle justru melangkah masuk.
"Oh, ikan rebus Kun-ge!" seru Chenle sambil mendekati Renjun yang sedang mengecapi ikan. "Yang ini kelihatannya bisa dimakan!"
"Sialan," umpat Renjun—dan Chenle hanya cengir-cengir. Sekilas melirik jam, Renjun sadar waktu yang dimilikinya tidak banyak, maka terpaksa dia minta tolong sang adik. "Tuangkan minyak ke panci kecil itu, dong."
"Tadi katanya tidak mau dibantu."
"Ya sudah, sana keluar!"
"Bercanda, bercanda. Jangan marah begitu," tawa Chenle tanpa rasa bersalah, lalu melaksanakan perintah Renjun dan menunjukkan isi panci. "Segini?"
"Tambah lagi agak banyak," maka Chenle menuangkan minyak sesuai komando. "Berhenti. Sekarang panaskan, pakai api besar saja tidak apa-apa."
"Siap. Wah, memasak denganmu rasanya beda, ya. Kalau bersama Kun-ge, aku pasti cuma disuruh menyiapkan mangkok nasi," padahal niat Renjun awalnya juga begitu. "Kalau sama Sicheng-ge—"
"Bencana." Renjun mendengus geli. "Siapa pun yang meletakkan kalian berdua bersamaan di dapur harus dihukum."
Sekali lagi, alih-alih tersinggung, Chenle malah tertawa terbahak-bahak, cempreng. Beberapa butir apel jingga mencuat dari kepala dan dadanya. Fenomena ini kadang mengherankan Renjun; mengapa Chenle justru lebih gembira ketika dia ejek?
Andai menemukan kegembiraan Sicheng-ge sama gampangnya ....
***
Sicheng pulang tepat waktu. Saat ia menginjakkan kaki di ruang tamu, Renjun sedang menghidangkan ikan rebus di atas meja, sedangkan Chenle baru selesai meletakkan mangkok-mangkok nasi untuk digunakan. Segera saja Sicheng berjalan ke dapur, hendak makan, tetapi Renjun mengusirnya, menyuruhnya mandi dulu. Yang ditegur cuma meringis malu, memohon ampun dalam diam, tetapi di balik wajah lucu itu, Renjun tahu kakaknya masih menyembunyikan sesuatu.
Lubang di dada Sicheng belum menutup, hanya menyempit, bahkan setelah menghabiskan seporsi ikan rebus dengan wajah riang. Atau diriang-riangkan, entahlah.
"Gege, ikannya tidak enak, ya?"
"Kau bercanda? Kalau Kun-ge sudah pulang, aku bakal mengira ini buatannya," jawab Sicheng. Di keluarga ini, mengatakan sebuah masakan terasa mirip buatan Kun berarti pujian. "Ada apa? Jangan bilang kau lihat lubang di dadaku lagi."
"Hah?" Renjun tidak menyangka tanggapan seperti itu yang diperolehnya. Ia juga tidak mengerti mengapa tanggapan yang otomatis dilemparnya adalah penyangkalan.
"Aku tidak apa-apa, Xiao Ren, kalau itu yang kaukhawatirkan." Sicheng melanjutkan makan dengan tenang, benar-benar tampak normal andai lubang di dadanya hilang. "Jangan terlalu dipikirkan. Apa yang kaulihat tidak selalu menggambarkan keadaan aslinya."
Padahal kalau mataku tidak begini, kata-katamu itu akan berlawanan artinya, batin Renjun. Mana yang mengelabuinya sekarang: ekspresi Sicheng atau penglihatan surealnya? Mencari tahu tentang itu sekarang sepertinya akan sia-sia, maka Renjun meneruskan makan dalam diam dengan berbagai pertanyaan masih berputar di kepalanya.
Selesai makan, tersisa seporsi ikan jatah Kun yang belum pulang. Giliran Sicheng yang mengusir adik-adiknya, menyuruh mereka belajar selagi dia sendiri mencuci semua perangkat makan dan masak. Katanya, sih, upah karena mereka sudah menyiapkan makanan yang lezat. Renjun protes, bilang bahwa kalau mereka benar-benar memasak berdua, tentu ikannya akan gosong. Chenle cemberut, mengancam bahwa di kali lain, ia akan benar-benar menggosongkan ikan Renjun, tetapi Renjun tahu itu cuma ancaman kosong karena apel jingga yang berlompatan dari kepalanya banyak sekali.
"Xiao Ren." Sesaat sebelum Renjun berjalan keluar, Sicheng memanggil. Renjun segera memutar tubuh. Ia menemukan perpaduan aneh halo lembayung senja dari kepala Sicheng, menguar ke seluruh penjuru dapur, sebagiannya menembus lubang yang membandel di dada pemuda itu.
"Terima kasih."
"Untuk apa?" Renjun mengerjap bingung.
"Untuk perhatianmu. Aku baik-baik saja, Adik."
Kau tidak. Namun, pemuda berpenyangga leher hanya tersenyum tipis sebelum beranjak.
Saat Renjun akan masuk kamar, pintu rumah berderit membuka. Kun pasti sudah pulang. Iseng, Renjun melongok ke ruang tamu—dan mendelik horor. Orang—makhluk?—yang baru saja masuk rumah berbentuk janggal: sebuah semak berduri seukuran pria dewasa yang memiliki sepasang kaki. Secara naluriah, Renjun mundur, lalu melirik ke kanan-kiri. Dapat; sikat lantai di depan kamar mandi bergagang panjang pasti bisa melindunginya.
Baru mau meraih 'senjata', makhluk semak yang masuk rumah sudah menyapanya lebih dulu.
"Xiao Ren, mengapa pucat?"
Itu suara Kun. Itu Kun. Entah Renjun harus lega atau tidak. Satu sisi, makhluk seram itu ternyata hanya kakak sulungnya, tetapi dari sudut pandang lain, kakak sulungnya telah ditumbuhi duri sebanyak itu, berarti ada sesuatu yang tidak beres.
Namun, karena terlalu takut, Renjun tidak memberikan reaksi yang seharusnya.
"Aku tidak apa-apa, Ge, haha. Makanlah, aku sudah masak ikan. Oh, dan jangan masuk kamarku dulu, ya. Aku mau belajar buat ujian, jangan diganggu."
***
Setelah berhasil menghindari Kun, Renjun mengerjakan PR dan mengebut mengerjakan soal-soal dalam buku paket. Ia sampai mempelajari materi yang belum diajarkan di kelas. Biasanya bolak-balik ke dapur di sela belajar untuk minum, kali ini Renjun terpaksa meneguk ludah sendiri buat menangkal dahaga. Pergi ke dapur terlalu menakutkan; Kun—yang kini berwujud semak duri berkaki—mungkin masih makan. Selesai makan pun, Kun pasti masih ada di ruang tengah yang harus dilewati untuk menuju dapur.
Menekuri buku paket selama satu jam akhirnya membuat Renjun jemu. Ia mulai menggambar dengan pensil di margin bukunya untuk mengusir bosan.
Duri di badan Kun-ge membuktikan perasaan buruknya. Kalau ia sampai berubah jadi pohon duri, berarti masalah yang dihadapinya sangat besar, bukan? renung Renjun seraya menebalkan semak duri di gambarnya. Aku ingin menolongnya, tapi mendekati Kun-ge yang sekarang tidak mungkin ....
Renjun mendesah keras, putus asa, sebelum menambahkan sepasang kaki pada semak duri yang ia gambar.
Andai mengetahui masalah Kun-ge pun, apakah aku bisa membantunya?
Kebimbangan ini menyadarkan Renjun akan makna Kun dalam keluarga kecil mereka. Kun mengetahui banyak hal, cerdas, bijak, dan penyabar. Sifat-sifat ini membuatnya selalu bisa diandalkan adik-adiknya. Namun, sehebat-hebat Kun, ia hanya manusia biasa yang pasti punya kekhawatiran sendiri. Tentu ada masanya manusia kehilangan arah, masalahnya sejauh ingatan Renjun, si sulung tidak pernah meminta bantuan kepada siapa pun di rumah. Ia juga ragu di luar, Kun pernah minta tolong kepada seseorang.
"Wow, lucu sekali: pohon berkaki! Tapi daunnya kenapa cuma garis-garis pendek?"
Renjun berjengit. Chenle tahu-tahu berdiri di belakangnya dan mengomentari gambarnya.
"Ini bukan daun, tapi duri."
"Eh, begitu rupanya." Chenle cengar-cengir, tetapi mendengar 'duri', ia langsung terkaget. Sebagai pendengar setia curhat Renjun, ia bisa menebak apa yang sebenarnya tergambar di margin buku paket kakaknya. "Kau menggambar Kun-ge? Kau melihatnya seperti ini tadi?"
Renjun mengangguk pelan dan Chenle ternganga. "Pantaslah kau tidak keluar sama sekali dari kamar. Pasti menakutkan melihat Kun-ge seperti itu."
"Ya, tapi ada hal lain yang lebih kutakutkan," kata Renjun. Ia pun berbagi kekhawatirannya dengan sang adik soal Kun yang menyimpan segalanya sendiri, juga soal dirinya yang tak tahu bagaimana cara menolong Kun. Chenle yang sepertinya mau keluar kamar sampai mengurungkan niat, kini bersila di lantai untuk mendengarkan Renjun. Semakin lama menyimak, Chenle kian gelisah, tampak dari sikapnya berkali-kali mengubah posisi duduk, mengerjap-ngerjap cepat, atau menghela napas dalam.
"Nah, bagaimana menurutmu kita bisa menolong Kun-ge?" pungkas Renjun. Chenle mencebik dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Entah .... Bahkan kalau kau tidak cerita begini, aku tidak tahu kalau Kun-ge mungkin butuh bantuan."
"Oh, ayolah. Kau adik kandungnya, sudah lebih lama bersamanya ketimbang aku."
"Hei, aku baru bisa mengingat sesuatu begitu tinggal di panti, lo. Aku yakin ingatan yang kita punya tentang Kun-ge sama banyak. Kun-ge kan memperlakukan kita sama, adik kandung atau bukan." Chenle lantas menggelosor ke lantai. "Aku baru sadar selama ini, Kun-ge pasti mengalami banyak kesulitan, tapi yang bisa kita lakukan hanya menunggunya menyelesaikan itu semua sendiri. Maksudku, dia bahkan tahu harus ke mana setelah Ibu tidak ada dan meninggalkannya dengan seorang bayi—maksudku, aku—pada usia delapan tahun! Dia sehebat itu, Xiao Ren."
"Aku mengerti, makanya aku tanya padamu, siapa tahu dapat solusi." Renjun memutar di kursinya, kembali mengerjakan soal. "Ternyata percuma, ya."
"Enak saja! Aku tahu apa yang harus kulakukan!" Chenle langsung berdiri, tak terima. "Daripada kita bingung begini, mending langsung tanya ke orangnya, kan?"
Renjun mendesah panjang, meremehkan. Berdasarkan pengalaman, hal itu tidak akan membuahkan apa-apa. Sayang, sebelum sempat dicegah, Chenle sudah keluar duluan.
"Gege!"
***
Sesuai dugaan Renjun, di hadapan Chenle, Kun menyangkal bahwa dirinya sedih. Ia justru penasaran mengapa tiba-tiba Chenle bertanya. Chenle pun menyeret Renjun—yang memberontak karena ketakutan—ke ruang tengah untuk menjelaskan alasannya. Beruntung, Kun tampak lebih normal dengan beberapa mawar berduri saja mencuat dari dadanya—dan mawar-mawar itu wangi. Renjun akhirnya cuma menjawab standar: bahwa Kun tampak lebih kuyu dari biasanya.
"Jangan kaget, Ge. Akhir-akhir ini, Xiao Ren memang jadi sangat perhatian. Dia juga menanyakan hal yang sama padaku beberapa kali," kata Sicheng santai. "Dia adik yang manis, kan?"
"Ge." Meski sudah mencoba galak pada Sicheng yang nyengir sambil makan camilan, Renjun tidak sanggup. Tidak dengan lubang sebesar itu yang ia lihat di dada Sicheng.
"Kamu mungkin bersikap begini karena penglihatanmu, ya?" tebak Kun. Renjun ragu-ragu mengangguk, jadi Kun tersenyum. "Tapi apa yang terlihat bisa menipu, kan? Jangan khawatir, kami tidak menyembunyikan apa-apa, kok. Kalau kami kesulitan, kalian akan jadi orang pertama yang tahu."
Bohong. Sicheng-ge juga bilang begitu, berarti dia juga bohong.
Namun, demi menjaga atmosfer menyenangkan di rumah, Renjun hanya berterima kasih dan kembali ke kamarnya, masih dengan beragam pertanyaan yang tak terjawab.
***
Tengah malam, Renjun terbangun karena ingin kencing, tetapi sehabis kencing, dia malah haus. Ia hampir pergi ke dapur jika tidak menyadari bahwa lampu di sana menyala—dan ada yang sedang mengobrol di dalamnya.
"Kau tidak akan bisa membagi waktumu dengan pekerjaan. Uang yang kautabung lama-lama juga akan habis. Bagaimana Xiao Ren dan Lele akan sekolah?" []
guys, no idea's original. aku baru2 ini nemu manga horor judulnya homunculus. itu protanya juga kayak renjun di sini, padahal aku ga pernah baca sebelumnya! jadi dia bisa ngeliat org2 jadi sureal gitu berdasarkan kecemasan atau sifat org2 di sekitarnya. ada live actionnya juga lo. (dan yah sebenernya aku nemunya fanscan sih huhu klo kalian nemu yg versi cetak kusaranin beli aja buat support mangakanya)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top