8

Renjun tidak menyangka dirinya bisa berkeringat musim dingin begini, padahal ia sudah menggambar di tempat tersejuk dalam rumahnya, yaitu ruang tamu. Sensasi lengket berminyak dari krayonnya yang telanjang seakan menambah gerah ruangan. Berkali-kali ia mengusap kening, awalnya dengan lengan sweter. Karena panas, sweter akhirnya ditanggalkan, menyisakan kaus lengan panjang putih yang mulai menguning. Ujung lengan baju itu pun jadi warna-warni karena ternoda krayon Renjun.

Namun, ketidaknyamanan Renjun ini terbayar pada pukul sembilan malam, tepat ketika Kun membuka pintu depan.

"Selesai!" Renjun mengangkat bangga gambarnya. Chenle yang mengerjakan PR di sebelahnya sampai kaget, tak sengaja melempar pulpennya hingga mengenai pipi Kun.

"Gege, kau tidak apa-apa?" Chenle lekas menghampiri kakaknya yang memegangi wajah. Ada bekas merah kecil di pipi Kun yang sebenarnya cepat hilang, tetapi Chenle besar-besarkan untuk bercanda. "Renjun, lihat perbuatanmu!"

"Eh?" Di luar dugaan, Renjun malah panik betulan. "Kun-ge, maaf!"

"Aku baik-baik saja. Kalian berlebihan, deh," ucap Kun, lalu mengangsurkan pulpen kepada pemiliknya. "Itu gambar yang kemarin kaujanjikan, Xiao Ren?"

"Benar, Gege!" Rasa bersalah Renjun hilang secepat datangnya. Pemuda itu berlari ke mejanya sampai hampir tersandung, membuat Kun refleks mencondongkan tubuh, hendak menangkap. Beruntung, Renjun tidak terjatuh dan mengambil gambarnya dengan selamat, lalu pamer.

Kun tertegun. Dalam gambar Renjun, mereka semua tampak gembira. Aneh memang—karena kepala Sicheng dikelilingi halo warna senja, Chenle memangku banyak apel jingga sampai berjatuhan, dan Kun sendiri ditumbuhi banyak mawar ungu tanpa duri—tetapi gembira dengan indah. Pemilihan warna, gradasi, serta kelihaian meniru objek nyata dengan mencampurkan khayalan (yang sesungguhnya tak sepenuhnya imajiner) berhasil menjentik sisi lembut Kun dalam beberapa milisekon.

Meskipun setidaknya dua dari empat orang dalam gambar itu—Kun ketahui—menyembunyikan kepiluan, wajah mereka semua digambarkan begitu damai dan cerah oleh Renjun.

"Ini manis sekali. Hebat." Kun meraih gambar Renjun, lalu mengangkatnya dan berputar dengan satu mata tertutup. Rupanya, ia sedang menentukan di mana gambar itu layak dipajang. "Dinding sebelah situ kosong. Besok kita bingkai ini dan pasang di sana, ya."

Pipi Renjun memerah dan matanya berbinar-binar. "Benar-benar akan dipajang?"

"Eh, kukira kau tidak setuju kemarin?" tanya Chenle yang kemudian cengar-cengir. "Jangan malu-malu, lah. Kalau memang ingin gambarmu dipajang, bilang saja pada kami."

"Be-Berisik!"

"Sudah, sudah. Tidak capek apa bertengkar terus?" Kun memencet hidung Renjun dan mengusak rambut Chenle bergantian. "Di mana Sicheng?"

"Gege tidur duluan, katanya agak lemas. Dia tidak demam, sih. Sudah makan dan minum air hangat juga sebelum tidur," jawab Renjun selengkap-lengkapnya. Setangkai mawar tak berduri merekah dan menguarkan wangi deterjen; Renjun tahu laporannya telah melegakan Kun.

"Aku sudah hangatkan sup untukmu, lo, Ge!" Sebutir apel jingga mencelat dari dada Chenle. Si gembil menarik-narik lengan kakak kandungnya ke dapur. "Ayo, kita makan!"

"Hei, kau kan sudah makan tadi. Jangan makan lagi dan kerjakan saja PR-mu!" tegur Renjun yang dibalas leletan lidah oleh si bungsu. Kun menertawakan mereka.

"Xiao Ren benar, Lele. PR-mu lebih penting. Aku bisa makan sendiri."

Chenle cemberut sebelum beringsut kembali ke depan buku tugasnya. "Gege tidak asyik."

Diejek begitu, seperti biasa Kun hanya meringis. Ia menanggalkan jaket dan akan berjalan menuju kamar andai tidak menginjak selembar kertas di lantai. Dipungutnya kertas itu dan diamatinya. Ada sketsa setengah jadi di sana—dan ternyata, di balik kertas itu masih ada kertas bersketsa lagi.

"Oh, Gege, maaf, sketsaku berjatuhan. Aku masih mencoba-coba beberapa konsep untuk lomba menggambar; yang itu masih ragu mau kupakai." Baru duduk, Renjun bangkit lagi untuk mengambil kertas yang Kun pegang. "Gara-gara Lele, nih, jadi jatuh—"

Namun, Renjun urung menyelesaikan kalimatnya. Dari semak mawar tanpa duri yang menjebol dada Kun, mendadak mencuat sebatang mawar berduri panjang-panjang.

"Lomba menggambar?" tanya Kun sembari menyodorkan kertas-kertas kembali kepada adiknya. Tepi kertas yang Kun genggam menjadi kusut seperti habis diremat. Renjun menerima sketsanya kembali dan jadi ciut.

"Ya, Gege. Ada lomba seni antar SMP dan aku ingin ikut. Hadiahnya total lebih dari seribu yuan. Uh, dan—dan hari ini tidak ada PR, hanya kerja kelompok. Makalahnya sudah selesai di sekolah."

"Begitu? Syukurlah. Lombanya sepertinya seru; semoga berhasil." Kun tersenyum tipis. "Lanjutkan saja menggambarnya. Jangan sampai tidur kemalaman, ya."

Renjun mengangguk dan Kun beranjak ke kamar. Bahkan meskipun pembicaraan mereka sudah selesai, Renjun tidak dapat teralih dari semak mawar baru di punggung Kun—yang semua tangkainya berduri.

***

Renjun sudah menciptakan beberapa karya dalam jangka waktu seminggu. Tenggat pengumpulan entri untuk lomba seni SMP masih lama, jadi ia memanfaatkan waktu tersebut untuk berkonsultasi pada Guru Yun, guru kesenian yang ia akrabi saking seringnya mengikuti lomba. Saran dari perempuan sebaya pengasuh panti Renjun itu sering mengantarkan muridnya pada kemenangan. Tentu saja bodoh kalau Renjun berharap memenangkan seribu yuan dari lomba yang sekarang tanpa meminta saran sang guru terlebih dahulu.

"Nak, sebenarnya aku merasa bersalah padamu setiap kali kau berkonsultasi soal karya."

Renjun menatap bingung Guru Yun yang kepalanya akan tampak normal andai tidak ditumpuki puluhan map dan buku, menjulang seperti menara. "Mengapa bersalah, Laoshi?"

"Satu, pekerjaanku di sekolah sepertinya telah mengurangi kemampuanku menilai karya orang. Seakan-akan mataku cuma bisa membaca dengan baik laporan akreditasi, bukan gradasi warna lagi." Guru Yun memijat pangkal hidungnya, lalu mengambil dan mengamati karya Renjun berikutnya. "Dua, aku menyukai gayamu. Komentarku terhadap karya-karyamu mungkin saja bias karena aku menyukai semuanya."

Renjun tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Giliran dia yang merasa bersalah karena tidak sengaja menambah pekerjaan Guru Yun, tetapi juga senang karena dipuji.

"Aku kenal beberapa juri lomba ini."

"Eh? Benarkah, Laoshi?" Mata Renjun berkilat-kilat.

"Ya. Mereka melakukan penjurian dalam beberapa lomba berbeda yang pernah kauikuti. Untuk tema bebas, biasanya mereka lebih condong pada entri realis yang memuat kritik sosial. Karena itu, surealisme yang punya kesempatan," Guru Yun mengacungkan salah satu karya Renjun, "menurutku adalah yang seperti ini."

Gambar yang Guru Yun pilih menunjukkan seorang lelaki yang berpakaian serba putih, tetapi ditudungi tirai tulle kelabu. Wajahnya rata: tanpa mata, hidung, maupun mulut. Dada si lelaki berlubang dan kosong. Ia duduk menghadap si penggambar dalam ruang berdinding marun dengan vinyet hitam di sekitarnya.

Cahaya di mata Renjun kontan meredup. Ia tidak terlalu menyukai gambar satu itu. Selain karena minim improvisasi (menurutnya, itu hanya citra Sicheng dalam penglihatan surealnya yang dipindah ke kertas, tidak lebih), ia juga tak menyukai kemuraman karya tersebut. Sayangnya, karya pilihan Guru Yun ini dibuat berdasarkan pengetahuan Renjun dari lomba-lomba sebelumnya: bahwa entri pemenang umumnya memanfaatkan tone dingin gelap dengan kandungan 'kritik sosial' yang relevan dengan era sekarang.

"Uh ... apakah selain gambar itu, Laoshi punya pilihan lain?"

Guru Yun sejenak tercenung, lalu tertawa. "Sudah kuduga kau akan bilang begitu. Biarpun kelihatannya pemurung, kau sebenarnya anak ceria yang lebih menyukai gambar-gambar bahagia."

Kalau Chenle, kakak-kakaknya, atau Yangyang yang mengatakan ini, Renjun pasti otomatis berteriak 'berisik!'. Berhubung berhadapan dengan orang yang disegani, bocah itu cuma bisa memandangi lantai, menyembunyikan perasaannya.

Terdengar keresak kertas ditarik. Renjun kembali menatap ke depan. Guru Yun mengangkat gambar lain, kali ini menampilkan sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain bola di sebuah lapangan. Sekilas, gambar itu terkesan realis lagi penuh semangat, bergradasi warna hangat-cerah. Namun, jika diamati lebih teliti, ada seorang anak yang tergopoh-gopoh berlari dalam lapangan tersebut, bukan untuk bermain dengan kawan-kawannya, melainkan menyempurnakan tubuh salah satu dari mereka dengan sebatang krayon. Anak itu digambar lebih mirip manusia asli dibanding teman-temannya walau berbeda tipis, menyiratkan bahwa semua anak di lapangan adalah hasil gambarnya.

"Secara keseluruhan, gambar ini memang 'riang', tetapi kau membuatku berpikir dan resah karena anak ini," tunjuk Guru Yun pada anak yang memegang krayon. "Gambar yang multitafsir. Di satu sisi, itu menambah keunikannya dan mungkin bisa meningkatkan peluang menangmu. Di sisi lain, ini detail yang mudah dilewatkan. Dengan banyaknya entri, ada kemungkinan gambarmu cuma akan dinilai sekilas sehingga bagian-bagian kecil tapi penting begini bisa luput. Bisa saja para juri melihatnya semata-mata sebagai 'gambar anak SD yang sedang bermain'. Selesai."

Guru Yun mengangkat lagi gambar laki-laki bertirai kelabu di sebelah gambar anak SD. "Kalau dicermati satu lawan satu begini, kau akan paham maksudku. Dibandingkan gambar anak-anak bermain, dalam sekali lihat gambar ini pasti dapat langsung menyampaikan pesan mengenai kesehatan mental, terutama depresi yang akhir-akhir ini menyerang remaja."

Renjun manggut-manggut. Kesan yang ditimbulkan gambar itu memang lebih kuat dari gambar kedua yang Guru Yun pilih.

"Memang sulit membaca dan mengikuti selera juri dengan mengorbankan preferensi pribadi." Guru Yun menumpuk gambar-gambar Renjun dan menyerahkannya pada sang murid. "Kalau mau, cobalah kumpulkan karya yang paling kausukai tanpa repot menganalisis kemungkinan menangnya."

"Hm," Renjun tersenyum sedih ketika merapikan tumpukan gambarnya sekali lagi di atas paha, "tapi saya ingin sekali mendapatkan uang dari lomba itu. Hitung-hitung mengganti uang kakak-kakak saya yang telah dikeluarkan untuk biaya operasi, juga menambah simpanan keluarga."

"Kau cuma murid SMP, bukan pegawai. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kalau kakak-kakakmu menuntutmu mengisi tabungan keluarga, bilang padaku. Akan kukeluarkan kau dari rumah mereka."

Dinasihati begitu, Renjun cuma meringis. "Kakak-kakak tidak memaksa saya sama sekali, Laoshi. Ini murni keinginan saya membantu mereka." Bahkan, kalau tahu aku menggambar buat cari uang, mereka pasti akan semakin melarang, lanjut Renjun dalam hati sambil berdiri. Selain itu, meski enggan mengaku, Renjun belakangan lebih suka menghabiskan waktu di rumah bersama keluarganya. "Terima kasih banyak, saya akan mempertimbangkan saran-saran Laoshi. Permisi."

"Tunggu, Huang Renjun." Guru Yun menghentikan langkah muridnya. "Aku mengharapkan hasil terbaik untukmu, tetapi seandainya—hanya seandainya—kau tidak memenangkan lomba itu, temui aku lagi. Aku punya rencana lain untukmu."

"Baik. Sekali lagi terima kasih banyak, Laoshi."

Renjun melangkah gontai keluar ruang guru sambil membolak-balik gambar-gambarnya. Sepanjang jalan ke kelas, kepalanya riuh memilih dari dua gambar yang Guru Yun bahas, juga tidak habis pikir mengapa Guru Yun tidak merekomendasikan gambar potret keluarga burungnya. Jujur, awalnya ia ingin menggambar potret keluarganya sendiri dalam pose dan pakaian formal sebagaimana yang dimiliki orang-orang kaya, tetapi ia kurang nyaman mengekspos keluarganya sendiri dalam entri kontes. Keluarga yang digambarnya pun diubahnya menjadi empat ekor merpati antropomorfik: seorang ayah berbadan besar, anak perempuan yang digendong ayahnya di pundak, seorang ibu, dan bayi laki-laki yang disuapi cacing oleh ibunya. Sayap Ayah dan Ibu bertaut, bulu mereka putih bersih, dan pakaian mereka necis bernuansa pastel.

Setelah menyelesaikan gambar keluarga burung, Renjun sadar bahwa dia diam-diam mengharapkan keluarga yang demikian: dipimpin orang tua yang lengkap lagi penyayang, punya banyak uang sampai bisa memakai baju bagus dan dipotret fotografer handal, juga bebas terbang ke mana pun. Gambar itu diisi kegembiraan dan asa yang jernih, tetapi barangkali perasaan seperti itu cuma memicu rasa iri alih-alih apresiasi objektif. Bukankah manusia seringnya tidak senang melihat kebahagiaan makhluk lain sekalipun hanya dua dimensi?

Apa yang kupikirkan, sih? Renjun memukul kepalanya sendiri dengan tumpukan kertas gambar, tidak menyangka dapat berprasangka pada para juri sampai sebegitunya. Malah menyalahkan orang lain. Fokus saja pada pemilihan entrimu!

Kembali Renjun mengamati dua gambar yang Guru Yun sarankan. Setibanya di kelas, ia dengan berat hati memutuskan salah satu gambar sebagai entri.

"Jadi, apa kata Guru Yun?" tanya Yangyang begitu Renjun duduk di bangkunya.

"Dia mengusulkan dua gambar yang paling mungkin menang." Renjun menyisihkan dua karya yang dimaksud sebelum mengangkat gambar laki-laki bertirai. "Kuputuskan, ini yang akan kumasukkan."

"Eh? Aku tidak suka gambar itu. Seram," ujar Chenle terang-terangan, lalu mengambil potret keluarga burung. "Mengapa bukan yang ini saja? Aku yakin peserta lomba jarang pakai gambar hewan."

Alasan yang sederhana tapi masuk akal ini membuat Renjun mengerang keras sambil memegangi kepalanya. "Jangan menggoyahkanku, Lele! Kau tidak punya wewenang artistik untuk mengusulkan entriku!"

"Maksudmu aku tak boleh berpendapat? Pelit!" Chenle menuding gambar laki-laki bertirai. "Padahal, kau sendiri yang bilang kalau ini seperti salin-tempel bayangan Sicheng-ge—hmp!"

Yangyang berpaling dan mengernyit pada kawan ikalnya, sementara Renjun membekap Chenle yang langsung meronta-ronta.

"Jangan katakan itu di depan Yangyang!" desis Renjun.

"Hmp—maaf!"

"Tunggu, hah? Apa yang tidak boleh dikatakan di depanku?" Yangyang menelengkan kepala. "Jangan main rahasia-rahasiaan sama sahabat, Xiao Ren. Ayo, cerita!"

"Berisik!" Renjun menyemburkan kata andalannya sebelum melepaskan Chenle dan kembali duduk. Untuk kesekian kali, diamatinya gambar laki-laki yang seolah menatap penggambarnya memohon pertolongan, padahal tidak punya mata. Ia reka ulang komentar Guru Yun tentang gambar itu—dan ia berangsur menyadari sesuatu.

Guru Yun bilang gambar ini menyampaikan pesan tentang depresi, tetapi ini kan gambar Sicheng-ge? []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top