5
"Roti keju toko Nyonya You sekarang isinya krim keju, bukan parutan. Krimnya manis dan gurih, jempol pokoknya. Pulang sekolah ke sana, yuk!" ajak Yangyang pada dua bersaudara yang mengekorinya. Mereka tengah menuju kantin, jadi untuk membangun nafsu makan, mereka biasanya mengobrol tentang tempat-tempat jajan di luar sekolah yang akan didatangi hari ini. Chenle membulatkan bibir, pasti akan mengutarakan kegirangannya jika Renjun tak menyela dengan cerdas.
"Harganya naik, tidak?"
Ringisan Yangyang cukup menjelaskan banyak hal. Renjun mendesah keras, sedangkan raut Chenle jadi masam. Ia menoleh pada kakaknya yang mengeluarkan kantong uang bertali dari saku celana. Kun memang memasrahkan uang jajan keduanya kepada Renjun karena kalau Chenle yang menyimpan, jelas gampang tekornya.
"Berapa harganya?" tanya Renjun.
"Entahlah, mungkin sekitar enam yuan?"
Jawaban Yangyang soal harga agak meragukan. Bocah berbadan kartu truf itu memang berasal dari keluarga berada, jadi kalau mau beli sesuatu, buat apa menengok harga? Toh uang jajannya selalu berlebih. Renjun dan Chenle kan lain. Begitu tali serut kantong dilonggarkan, hanya terdapat segulung yuan, lalu ketika gulungan itu dibuka, Renjun balik kanan.
"Oke, aku ke koperasi dulu."
"Ikut!"
"Aiya, aku ditinggalkan. Hei, kita makan siang dulu saja!" susul Yangyang.
"Cuma sebentar. Koperasi sepi; uangku juga pasti akan lekas diserahkan. Kalian, tuh, yang cepat cari tempat biar tidak makan sambil berdiri di kantin," kemudian Renjun memandang Chenle. "Kamu ikut Yangyang saja, carikan kursi."
"Dia bisa melakukannya sendiri! Aku ikut kau saja!"
"Teganya kalian padaku! Ayolah, seorang saja temani aku!" rengek Yangyang, memancing desis Renjun.
"Apa kalian anak perempuan yang mau ke mana-mana harus bersama satu kampung?!" bentaknya. "Yangyang, kau jaga kursi buat bertiga. Aku akan ambil uang di koperasi biar kita bisa langsung ke toko Nyonya You pulang sekolah. Lele, kalau mau ikut, ikutlah."
Chenle terkekeh menang dan Yangyang mengerang. "Baiklah, tapi kalau sudah, cepat ke kantin! Keburu digusur komplotannya Fan Chengcheng!"
Renjun yang sudah memunggungi Yangyang membentuk lingkaran dari ibu jari dan telunjuk. Chenle meniru ditambah lengkingan 'oke!' yang lumayan menyerang liang telinga. Yangyang melangkah lesu ke arah berlawanan, malas kalau disuruh 'pesan tempat' sebab segagah apa pun dia, kalau kurang beruntung, Fan Chengcheng akan langsung melontarnya ke langit sampai home run.
"Tumben kau mau diajak beli makanan mahal," ujar Chenle. Ia menyelidiki dengan saksama tiap lekuk wajah Renjun, mencari tanda ketakutan samar yang menyiratkan adanya makhluk seram dalam penglihatan sang kakak.
"Yah, tidak apa-apa, kan, kalau cuma sesekali? Aku juga mau mencicipi roti itu," kelit Renjun. Sebenarnya, ia ingin mengungkapkan terima kasih pada Chenle dengan membelikannya roti krim. Belakangan, Chenle melindungi Renjun dari tumbukan fisik atau psikis—yang tanpanya, Renjun mungkin sudah pecah berantakan. Saat merenungkan ini, sang seniman belia jadi melihat gradasi kalem di awang-awang—beige, gading, peach—terangkai membentuk doanya bagi Chenle dan kedua kakaknya.
Berterima kasih langsung terlalu blak-blakan menurut gaya Renjun. Roti toko You bolehlah dijadikan perantara.
"Percaya, sih, yang punya tabungan sendiri," seloroh Chenle.
"Makanya, kejar sepuluh besar biar punya tabungan juga sepertiku."
Meskipun bebas iuran bulanan, sekolah Renjun masih menghargai siswa-siswa berprestasi dengan memberikan masing-masing mereka 120 yuan setiap bulan. Biaya itu akan dimasukkan dalam tabungan para siswa dan boleh digunakan untuk apa saja. Bisa dibilang, Renjun punya cukup pemasukan sendiri untuk membayar pengeluaran ekstra, misalnya membeli buku atau iuran persiapan pentas seni. Jika dibutuhkan, uang itu dapat diambil dari tabungan sekolah sewaktu-waktu di koperasi.
"Kau menyindir? Buku bagiku seperti obat tidur. Mana sempat mempelajari isinya dengan telaten sampai sepintar kau? Aku, sih, belajar biar lulus saja." Chenle mengedikkan bahu.
"Sama. Kalau bukan untuk uang tabungan, aku juga bakal belajar cuma untuk naik kelas."
"Jangan bilang begitu."
"Mengapa?"
"Aneh rasanya mendengarmu merendah."
Sebenarnya, saat menanyai Chenle, telapak Renjun sudah memegang gagang pintu ruang bendahara koperasi. Gara-gara diejek lagi, tangan itu jadi melayang mencubiti pinggang Chenle. Mereka yang ribut tanpa tahu tempat akhirnya malu sendiri. Usai meminta maaf pada para petugas, keduanya masuk tanpa suara.
Guru bendahara dinilai terlalu rapat menutup buku tabungan, tetapi bagi Renjun yang jarang mengambil uang dalam jumlah besar, guru bendahara tidak seketat itu mengawasi aliran dana hadiah. Dua belas yuan dikurangkan begitu saja dari saldo tanpa mengingatkan sang penarik untuk meminta nota atau—yang lebih buruk—menginterogasi si siswa untuk memastikan uang sekolah tidak disalahgunakan. Renjun dan Chenle tersenyum lebar begitu keluar dari ruang bendahara; sekarang, ada enam belas yuan dan beberapa keping mao dalam pundi-pundi! Dua bungkus roti keju toko You saja tidak bakal serta-merta menguras kantong mereka.
"Hai, si miskin botak yang baru ambil sumbangan."
Baru sebentar aku senang-senang, batin Renjun, melesakkan kantong uangnya ke saku lebih dalam. Dari arah kantin, seorang siswa berkepala buntalan benang wol kusut sengaja mengeraskan sapaannya begitu bersinggungan dengan Renjun di jalan. Tidak perlu melihat wajah asli si benang kusut untuk tahu siapa dia; murid-murid di kelasnya yang lemah, jelek, atau hidup di bawah standar akan hapal nada mengejek ini.
Kuping Renjun memerah, tetapi ia tidak sepenuhnya marah. Justru ia sedikit geli saat sadar wajah rupawan yang si tukang cemooh banggakan ternyata hanya segulung benang kusut menurut penglihatan surealnya.
"Wah, si botak ternyata tuli juga?"
Apel-apel hitam dengan bara api menggelinding ke koridor. Chenle mengepalkan tangan di sisi paha dan mengatupkan rahang. Renjun menepuk bahu si ikal buat menenangkannya, kemudian membalas dengan sama lantang.
"Lele, kau dengar gonggongan? Kupikir di sekolah kita dilarang membawa binatang peliharaan."
Benang Kusut memasang tampang geram, tetapi kakak-beradik yang enggan berpaling itu tidak melihatnya. Demi merebut perhatian keduanya yang asyik cekikikan sendiri, si kepala buntalan mengangkat topi Renjun, mengekspos permukaan tak berambut yang berbekas jahitan. Renjun kontan menutupi kepalanya, sementara satu tangan yang lain mencoba merebut kembali topi dari Benang Kusut. Sayangnya, orang ini tinggi dan berbadan besar; satu telapaknya saja cukup untuk menahan kepala Renjun.
"Fan Chengcheng!"
Sejak dipercaya Sicheng sebagai pelindung Renjun, kepekaan Chenle terhadap siapa pun yang menyentuh kepala atau leher Renjun meningkat. Karenanya, ia sampai hati membentak Fan Chengcheng, si Benang Kusut, walaupun sebenarnya benci harus memperingatkan orang lain sambil marah-marah.
"Apa, Cebol?" Chengcheng maju, menantang tubuh Chenle yang menghadangnya. "Renjun mestinya malu dilindungi bocah yang lebih pendek darinya!"
Apel-apel dari dada Chenle terlontar dengan kecepatan tinggi ke segala arah, seperti dilontarkan dari mesin pitcher. Masalahnya, selain kecepatan lontar dan arah semburat, apel-apel itu berkobar—dan Renjun tak bisa tak ketakutan. Ia urung mendekati Chenle, secara otomatis menyilangkan lengan ke depan wajah, menghindari percikan panas.
Chengcheng didorong dengan keras hingga terjerembap. Topi Renjun berhasil Chenle rebut kembali, tetapi di mata Renjun, kedua orang itu telah dilingkupi lingkaran api.
Badan mungil Chenle terguling ke lantai. Chengcheng menjejakkan kaki beratnya pada tubuh itu berulang-ulang, baru berhenti setelah Chenle berhasil menghindar. Pelupuk mata si ikal tergenang karena kesakitan, tetapi ia menolak mundur. Olok-olok Chengcheng baginya adalah penindasan. Renjun biasanya beraksi sendiri untuk melindungi mereka, tetapi berhubung sedang sakit, Chenle-lah yang harus pasang badan.
"Cengeng! Sebentar lagi, kau pasti akan merengek mencari kakakmu!" hina Chengcheng. "Tidak mungkin dia datang. Kakakmu kan sibuk kerja di supermarket yang mau bangkrut itu!"
Apel-apel dari dada Chenle tanggal apinya, menyisakan inti-inti kering menghitam, melingkari bagian tengah selasar. Kerumunan penonton mulai terbentuk di sekeliling mereka, bukannya melerai malah memperbesar nyala arena merah-jingga. Masih menghalau jilatan api maya dengan lengan bawahnya, Renjun mendekat sedikit-sedikit sembari berseru memohon pada adiknya.
"Hentikan! Lele, jangan bodoh!"
"Renjun, menjauhlah!" Chenle yang setengah-setengah menangkap suara Renjun sekarang menduduki Chengcheng, merenggut kerah seragam putih berkilau yang membuat kemejanya tampak kuning itu. "Minta maaf pada Renjun, dasar sampah!"
"Sampah teriak sampah." Chengcheng meludah. "Begitulah otak yang diberi makan sampah setiap hari!"
"Lele, sudah!"
Maksud hati menghentikan sang adik, Renjun tercegat nyala api yang membesar begitu mendekat. Segera ia memejam rapat dengan tangan masih terangkat di depan wajah. Sugesti berulang bahwa panas yang menghadangnya hanya khayalan tidak mampu menumpulkan indra. Selain itu, gradasi warna Chenle miring curam. Kuning dan persik yang ceria lagi lembut kini digantikan halo merah darah bersemburat cokelat kehitaman.
"Tahu apa kau soal perjuangan kakak-kakakku? Lancang! Orang tuamu yang penipu itu juga sampah!"
"Ribut-ribut apa ini?! Kalian anak kelas dua, bukan?"
Renjun mengerang. Selalu saja datang di saat yang tidak tepat. Aku kagum pada semua guru di sekolah ini.
Kepalan Chenle mengambang, sedangkan Chengcheng sok mengaduh begitu guru hadir dan sadar ia berada di posisi kurang menguntungkan.
"Laoshi, Chenle baru saja memukulku," ucapnya setengah berkemu agar aktingnya realistis. "Sakit sekali. Aku akan susah belajar jika kesakitan begini."
Arena api mengabu seketika. Geragapan Chenle menarik diri dari Chengcheng; ia pucat dengan napas tersendat. Renjun menginjak beberapa inti apel sebelum menumpukan kedua telapaknya ke bahu kanan-kiri sang adik.
"Fan Chengcheng mulai duluan, Laoshi," kata Renjun. "Ia mengejek saya anak miskin yang baru ambil sumbangan, botak, dan tuli."
"Dia berbohong, Laoshi! Chenle-lah yang membuat masalah!"
Guru yang kepalanya tersusun dari angka-angka memijat pangkal hidung. "Berhenti saling menuding. Kalian bertiga ke ruang konseling sekarang."
Chengcheng berdecak diam-diam di balik punggung guru, sedangkan Chenle mulai berprasangka macam-macam. Puluhan pita film memburai dari kepalanya, menampakkan banyak sekali ekspresi kecewa Kun. Paham Chenle tengah ketakutan hebat, Renjun menggenggam mantap tangan sang adik menuju ruang konseling.
"Kamu tidak salah. Aku akan membelamu."
"Tapi, aku memukul Fan Chengcheng," ucap Chenle lirih.
"Dia memang pantas dipukul."
"Tetap saja itu dilarang."
"Kalau Laoshi menghukummu, kita akan menanggungnya bersama." Renjun tersenyum. "Ayo."
Chenle menggenggam balik tangan Renjun.
***
Terlibat banyak masalah dengan banyak siswa, Chengcheng merupakan pengunjung setia ruang konseling dan barangkali menikmati kunjungannya ke sana. Ia mendahului Renjun memberikan kesaksian, menyalahkan Chenle seraya terus memuntahkan buntalan-buntalan benang kusut, dan memerankan seorang korban dengan sempurna. Di lain pihak, Chenle—yang hidupnya sejauh ini lurus-lurus saja—menjadi sekaku pakaian yang kelamaan dijemur. Ia duduk menunduk, tangannya terkepal di atas lutut, dan selalu memberatkan diri sendiri ketika menjawab pertanyaan terkait kejadian tadi. Renjun maklum. Sebandel-bandelnya Chenle, ia masih begitu jujur dan benci permusuhan.
"Chenle juga mengejek orang tua saya! Dia bilang orang tua saya penipu!" serang Chengcheng.
"Itu karena kau bilang kakak-kakak kami memberi makan kami sampah!" sanggah Renjun. "Upah kakak-kakak kami memang kecil, tetapi mereka tidak menelantarkan kami!"
"Aku tidak akan memanggil orang tua kalian jika kalian menyelesaikan permasalahan ini baik-baik," putus guru konseling. "Minta maaflah pada satu sama lain dan kuanggap ini tuntas."
Renjun yang geram dan ingin lebih lanjut membalas Chengcheng tak berkutik tatkala Chenle menarik bagian belakang seragamnya. Sorot cemas dalam mata itu seakan mengatakan untuk menyudahi saja semuanya ketimbang mendahulukan ego. Chenle benar, maka Renjun mendesah dan mundur. Sebaliknya, adiknya maju.
"Chengcheng," tangan kecil yang gemetar itu diulurkan, "maafkan a—"
"Minta maaf? Kaupikir bisa begitu saja mendapat maafku setelah memukulku?"
Telah mengantisipasi hal ini, Renjun hanya bisa mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Akan makin kacau kalau ia menapak dalam masalah ini dengan emosinya yang meluap-luap.
"Kau sudah melukaiku dan mengejek orang tuaku. Harusnya kau dihukum lebih berat untuk itu!" Chengcheng menepis kasar telapak Chenle, lantas beralih pada guru konseling. "Laoshi, ibuku dan kakak Chenle harus tahu ini. Lebih baik mereka dipanggil saja!"
"Jangan!" pinta Chenle putus asa, membuat Chengcheng berada di atas angin. Daripada takut dengan orang tua Chengcheng, ia lebih tidak siap menghadapi kesedihan Kun. "A-Aku benar-benar menyesal .... Tidak akan kuulangi lagi! Kumohon, maafkan aku!"
"Jika Mama menyuruhku minta maaf, aku akan minta maaf." Chengcheng bersilang lengan. Benang dari buntalan di kepalanya terjulur, melilit Chenle yang masih meminta Kun tidak dipanggil ke sekolah. Renjun menyeret Chenle mundur sekalian melepaskannya dari jeratan benang itu, lalu menatap sengit Chengcheng.
"Dasar manja. Segala hal jadi urusan ibumu," gumam Renjun di bawah napasnya.
"Apa katamu?!"
"Tidak." Namun, alis Renjun terangkat meremehkan, samar saja agar tak ketahuan guru konseling. Chengcheng yang berang justru beroleh teguran dari sang guru.
"Diamlah. Aku sedang menghubungi wali kalian."
Kembali duduk di sofa ruang bimbingan, Chenle tak lagi bisa berkata-kata. Apel hitam dan inti apel gosong berhenti terlontar dari dadanya. Ia menyembunyikan wajah dalam-dalam; dari pelupuk matanya menetes kalimat-kalimat negatif alih-alih air mata. Aku memang lancang, harusnya tadi aku diam saja, kalau Kun-ge dimarahi juga bagaimana?, dan lain sebagainya. Renjun tak melewatkan sekalimat pun.
"Lele," bisik Renjun, "terima kasih sudah melindungiku tanpa takut tadi. Suatu saat, si Benang Kusut itu akan dapat ganjarannya dan kita akan menang."
Chenle tidak menjawab, tetapi isaknya teredam. []
Mao: satuan keuangan di Cina, bernilai sepersepuluh dari yuan, bentuknya koin atau uang kertas
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top