4

"Hei, siapa yang mengizinkanmu mengobrol di kelasku?"

Chenle terperanjat. Ia kembali fokus ke pelajaran, tetapi belum ada berapa detik sudah bertanya lagi.

"Kau melihat sesuatu lagi, kan? Lebih baik kau istirahat saja."

"Lele, tolong jangan bicara lagi, nanti—"

"Harus berapa kali aku memperingatkan kalian berdua di belakang?"

Pertanyaan mengancam ini diajukan dengan nada mengantuk dan volume suara normal, tetapi waktu si guru berbalik dan mulai menggeliat, Renjun menggigil hebat. Kepalanya yang terfiksir ke satu arah membuat pandangannya tak bisa lari ke mana pun. Akhirnya, supaya terlihat wajar, pemuda mungil itu mencoba melirik ke bawah. Gagal; ia justru mendapati kaki-kaki sang guru menggeremet menuju bangkunya.

Yang siswa lain lihat sebagai pria tua sipit membosankan dengan sebilah rotan di balik punggung, menurut mata Renjun adalah ulat hijau raksasa. Serangga itu berukuran sebesar sang guru, dengan mulut tak henti berkemut dan badan bergelambir saking gemuknya. Renjun memundurkan kursi, bergumam 'jangan mendekat' berkali-kali, tetapi sang guru kemudian memukulkan rotan ke bangku. Lengan si ulat hanya berupa tonjolan mungil, mengintip sedikit dari balik lipatan ruas tubuhnya.

"Nak, apa begitu caramu menghadapi gurumu? Tatap aku."

"Jangan, Laoshi, lehernya masih—"

"Masa bodoh dengan lehernya. Memang kau menatap orang dengan jakunmu?" Suara sang guru melantang satu level biarpun masih terdengar mengantuk. "Dan, aku tidak minta kau bicara, Keriting. Aku cuma minta teman sebangkumu untuk menghormatiku."

Selagi gurunya teralih oleh sanggahan Chenle, Renjun terus mendorong kursi ke belakang dengan tubuhnya. Ia tidak menyangka sang guru pemalas akan membalikkan kepala secepat kilat padanya. Mulut makhluk itu berkemut-kemut, berliur, dan dia terus menggeremet ....

"TIDAK! JANGAN DEKATI AKU!"

Kursi Renjun terjengkang, menimbulkan gebrakan keras. Pemiliknya berpeluh sebiji jagung; anak matanya mengecil. Berpasang-pasang mata lantas mengadilinya bersama bisikan-bisikan yang terbendakan ke udara. Kalimat merendahkan yang awalnya terbaca lama-lama membaur menjadi kabut, memerahkan langit-langit, dan membuat Renjun malu.

"Dia kenapa, sih? Berisik."

"Mungkin gara-gara kecelakaan kemarin, otaknya jadi ikut rusak. Kasihan."

"Sudah tidak pernah kedengaran suaranya kalau di kelas, tahu-tahu bikin onar!"

"Dia akan jadi samsak Pak Wei sampai bel berbunyi. Lumayan kita jadi tidak belajar, kan?"

Ulat hijau raksasa mencondongkan badan susah payah. Mulutnya berbau amis.

"Sopan santunmu sangat buruk. Kau bisa memperoleh poin pelanggaran karena ini, tak peduli kau baru sakit parah."

Renjun hampir tidak bisa merasakan kepalanya. Bintik-bintik hitam besar bergabung, mengelambu. Ketakutan dan rasa jijik bersekongkol memaksa isi lambungnya naik. Ia ingin lari, tetapi tungkainya membatu.

Apa yang harus kulakukan?

Saat matanya tak lagi mampu menerjemahkan apa pun, indra peraba Renjun menemukan dua pasang tangan menahannya dari kanan dan kiri. Tepat waktu. Ia tidak mau pingsan dan tak sengaja melukai kepala serta lehernya karena itu.

"Laoshi, kami izin membawanya ke ruang kesehatan!"

Yangyang. Kalau begitu, yang satunya pasti Lele.

Kepada kedua orang itu, Renjun memasrahkan dirinya. Ia menyeret kaki mengikuti tuntunan lengan-lengan yang melingkarinya sembari berharap perutnya berhenti jungkir-balik. Beberapa titik peluhnya menetes ke selasar. Mengapa ruang kesehatan harus begini jauh? Ia tidak mampu menahan muntahnya lama-lama.

"Wastafel," rintih Renjun setibanya di ruang kesehatan. "Wastafel ...."

Si sakit diarahkan ke kiri; tangannya disentuhkan pada permukaan yang licin, dingin, dan berharum karbol. Renjun langsung memutar, berpegang pada tepian wastafel, dan memosisikan kepalanya tepat di atas lubang pembuangan. Tumpahlah bergumpal-gumpal cairan asam kuning kecokelatan yang sejak tadi disumbat jalannya. Setiap teringat kemut mulut besar si ulat hijau, perutnya menegang, berusaha mengeluarkan apa pun dari mulut, bahkan jika hanya sekepal ludah yang sepahit empedu. Selama ia muntah, punggungnya dielus oleh satu tangan kecil secara konstan.

Beberapa saat kemudian, perut Renjun benar-benar kosong. Ia menarik napas dalam dan menerima uluran tisu dari Chenle yang sedari tadi menemaninya. Butir-butir apel hitam menyebar di atas lantai ruang kesehatan, sangat banyak hingga terinjak-injak kaki Yangyang dan guru jaga yang barusan dipanggil.

"Xiao Ren, duduklah." Yangyang menggamit lengan Renjun, lalu membimbingnya ke tempat tidur. Guru kesehatan memberikannya segelas air hangat sebelum bertanya tentang apa yang terjadi. Chenle dan Yangyang sejenak saling pandang; haruskah mereka mengungkapkan apa yang terjadi di kelas segamblang-gamblangnya?

Ternyata, keduanya tak perlu bicara untuk Renjun.

"Saya kemarin terbangun malam-malam dan tidak bisa tidur kembali, jadi kena dingin. Pagi ini, saya pun tidak sarapan."

Kebohongan ini dianggap sudah cukup menjelaskan keluhan-keluhan Renjun. Guru kesehatan lantas berceramah macam-macam mengenai sarapan dan menjaga suhu badan, juga meminta siswanya yang malang minum obat mual, padahal Renjun butuh lebih dari itu. Ia diizinkan beristirahat sampai merasa lebih baik, tetapi ia malah meminta Chenle dan Yangyang berjanji untuk menjemputnya pada peralihan jam keenam-ketujuh.

"Kelas Pak Wei selesai saat itu. Aku sebenarnya kuat ikut pelajaran selama bukan dia yang mengajar, jadi aku akan tetap ikut kelas selanjutnya."

"Bagaimana kalau guru lain juga jadi menakutkan?"

Pertanyaan Chenle membuat kening Yangyang berkerut. "Apa maksudnya 'jadi menakutkan'?"

"Lele hanya asal bicara." Renjun mengibaskan tangannya, diam-diam memelototi Chenle untuk memperingatkan bocah itu. "Segeralah kalian ke kelas agar Pak Wei tidak mengira kalian bolos. Kumohon."

Kali ini, Chenle bersikap sesuai mau Renjun. Walau berat hati, ia mengajak Yangyang untuk kembali ke kelas. Dengan berat hati pula, Yangyang membalikkan punggung.

"Kami akan datang di pergantian jam," ujar Chenle. "Jangan tidur!"

"Ya, ya, ribut saja kau. Sana pergi," gusah Renjun. Chenle tertawa kecil saat Yangyang menambahkan 'jangan kangen' dan hampir dilempar bantal. Keduanya lantas menghilang ke balik pintu. Barulah Renjun dapat merebahkan badannya yang kelelahan.

Sampai kapan aku akan terganggu dengan pemandangan-pemandangan janggal ini? Siapa yang tahu kapan dan di mana monster-monster seperti Pak Wei akan muncul? Aku tidak boleh terus kewalahan!

Meraba-raba permukaan selimut, remaja berpenyangga leher itu menemukan sebuah inti apel sewarna arang. Ia jepit tangkai buah tersebut dan mengangkatnya sejajar mata.

Kalau aku terus panik, lama-lama bukan hanya diriku yang akan termakan perasaan negatif ....

***

Seorang pemuda jangkung turun dari bus. Parka hijau militer yang ia kenakan kelihatan mencolok dibanding seragam putih-merah jambu milik gadis-gadis lencir yang melangkah bersamanya. Mereka mungkin seumuran adik lelakinya, tetapi si adik lelaki menempuh pendidikan di sekolah umum, sedangkan para gadis berlatih tari di sekolah putri khusus seni. Tas olahraga yang mereka tenteng pastilah memuat sepatu balet. Atau selendang. Atau kipas. Lihatlah tubuh-tubuh langsing nan lincah itu, dibentuk oleh peregangan di palang melintang, juga koreografi yang menuntut semangat dan keindahan.

Si pemuda dulu pernah dilatih secara personal untuk menari oleh ayahnya. Ia paham gerakan apa yang cocok untuk lagu dengan ketukan yang berbeda-beda, kapan harus lembut dan kapan garang dalam satu lagu, raut apa yang harus dipasang ... dan ia amat mencintai semua itu. Adiknya kadang ikut melompat dan berputar-putar, tetapi karena masih terlalu kecil, gerakannya kacau. Tidak mengapa; setidaknya si adik mengerti apa serunya menari. Sayangnya, bersama dengan kematian sang ayah, terseretlah masa-masa menyenangkan saat menari ke pusara. Raga yang semula lentur kini kaku di depan meja pengepakan, berhadapan dengan berbaris-baris mainan untuk dikemas.

Uap putih terembus dari mulut si pemuda, dengan cepat lenyap bak cita-cita masa kecilnya. Tirai tulle abu-abu yang menutup seluruh tubuhnya menghitam, terayun-ayun mengiringi ketergesaannya. Adiknya di rumah tidak akan menikmati makanan yang ia belikan jika sudah dingin terpapar angin bersalju tipis.

***

Kun baru tiba di rumah pukul delapan malam, ketika Renjun dan Chenle sedang mengerjakan PR. Bukan keriut pintu depan yang mengalihkan kedua bocah dari tugas, melainkan harum elit peperoni dan keju yang jarang singgah di kediaman sempit itu. Tak lama kemudian, suara Sicheng menyusul.

"Xiao Ren, Lele, Kun-ge bawa pizza, nih."

"Wow! Asyik! Mau, mau!"

Terlemparlah alat tulis dan lembar kerja siswa ke udara selagi para pemiliknya melesat ke dapur. Kun sempat kaget dan memperingatkan Renjun untuk tidak berlari, tetapi Renjun ternyata baik-baik saja sampai meraih sepotong pizza dalam kotak. Sang kepala keluarga mendesah lega, lalu menyampirkan jaketnya ke lengan dan berjalan mengitari meja makan. Mencuil potongan pizza yang masih belum terjamah, Kun pun bertanya pada Renjun.

"Bagaimana hari pertama di sekolah?"

"Hiasha hajha," jawab Renjun dengan mulut penuh. Ia menelan suapannya sebelum meneruskan. "Gege, aku sudah lulus taman kanak-kanak, jadi jangan mengkhawatirkanku lagi."

Chenle tidak dapat menerima dusta dan dalih ini. Renjun sudah bercerita mengenai ulat raksasa kepadanya dan Sicheng, tetapi mengapa tidak Kun? Anak ikal itu buru-buru menuding.

"Bohong, Gege! Tadi, di sekolah—aduh!"

Kaki Chenle diinjak di bawah meja. Kun memiringkan kepala, masih tersenyum, tetapi jelas penasaran. Renjun mengumpat dalam hati.

"'Tadi di sekolah', apa yang terjadi, Lele?"

Tuh kan, jadi ditanyai! Kira-kira begitulah makna sorot mata tajam Renjun pada Chenle yang menggembungkan pipi menantang.

"Nanti saja. Mendengarkan hal menjijikkan ketika makan itu tidak bagus. Omong-omong, tumben Gege beli ini?"

Sicheng yang tahu-tahu masuk dapur dan mengudap menyelamatkan Renjun. Ia membelokkan fokus Kun sejenak, memekarkan kuncup ungu di pucuk-pucuk batang berduri yang meliliti si kakak tertua.

"Buat merayakan kembalinya Xiao Ren ke sekolah, dong! Setelah peristiwa yang mengerikan kemarin, dapat belajar kembali adalah tanda bahwa dia benar-benar pulih!" Kun yang begitu riang nyaris membelai kepala mulus Renjun, tetapi Chenle melindungi tempurung otak itu dengan kedua tangan, mengingatnya akan larangan dokter. Akhirnya, ia hanya menutul gemas hidung mancung adiknya.

"Kun-ge!"

"Wah, ternyata kalau ditekan bisa berbunyi!" goda Kun.

Renjun manyun. Diperlakukan seperti anak kecil ketika usiamu sudah empat belas memang menyebalkan, tetapi ia tidak bisa marah karena Kun memang pantas memperlakukannya begitu, sebagaimana lazimnya orang tua. Sejak kecil, pria muda itu sudah punya andil membesarkan Renjun. Senantiasa didampingi dan dibantunya Sicheng jika Renjun mulai sulit makan, sakit, atau menantikan adopsi yang tak kunjung tiba. Walaupun pekerjaan sebagai karyawan retail memakan sebagian besar waktu Kun, hal-hal meluluhkan macam merayakan kesembuhan adiknya tak pernah absen ia lakukan. Bagaimana Renjun marah pada salah satu malaikat penjaganya ini?

"—ma kasih."

Kun mengira ia dipanggil. "Apa?"

"Enak. Kejunya tidak terlalu gurih dan aku suka saus tomatnya." Renjun menggigit pinggiran renyah pizza dengan tampang sok menilai. Dia terlalu jengah mengulang kata-kata keramat seperti 'terima kasih' dan 'maaf' pada orang-orang yang ia gulat atau debat secara rutin.

Mawar di atas kepala Kun kian merekah. Dari dalamnya, muncul beberapa kupu-kupu kecil yang beterbangan ke sekeliling dapur, menebar harum kenangan.

"Enak, ya? Kalau begitu, kapan-kapan kita beli di sana lagi. Kalian tahu kedai pizza dekat halte, kan? Temanku merekomendasikan tempat itu karena murah dan rasanya tidak kalah dengan merek terkenal," kata Kun.

Tirai Sicheng tersingkap. Kain tulle bahan tirai itu berangsur berubah menjadi linen putih polos—mirip selimut yang dulu disediakan di panti dan dicuci setiap minggu. Renjun jadi ingat bagaimana kelakuannya dan saudara-saudaranya jika mendapat tugas mencuci. Menit-menit pertama, Kun akan mengerjakan hampir semua tugas, sementara Sicheng dan adik-adiknya bermain busa sabun sampai kena tegur. Akhirnya, mereka berempat bekerja sama mengucek, menyikat, atau memeras selimut demi selimut. Kadang, air sabun akan memerciki wajah Renjun cilik. Wangi air sabun itulah yang ditaburkan kupu-kupu Kun tadi ke udara.

"Berapa Gege membelinya? Aku akan cocokkan dengan cabangnya yang dekat pabrik," tanya Sicheng dengan mata berbinar antusias.

"Ini 43 yuan seloyang. Di tempat lain lima puluh ke atas. Berlaku juga untuk rasa yang lain, kecuali kalau pinggirannya pakai isian."

"Padahal kan enakan kosong." Chenle terus mengunyah sambil memenuhi rongga pinggiran pizza dengan saus sambal. "Biar bisa diisi sendiri."

"Hati-hati kena—ah! Belum selesai aku bicara!" Refleks Renjun mengambil selembar tisu dan membersihkan celana adiknya yang terciprat saus, kesusahan karena terkekang penyangga leher. "Di tangan juga ada, ceroboh!"

Semua orang di ruang makan itu telah menyisihkan masalah Renjun di sekolah, termasuk Renjun sendiri. Suasana di seputar kardus pizza riuh, tapi akrab dan menyenangkan. Harum daging, roti, dan deterjen yang tipis-tipis mengantarkan Renjun pada saat-saat sarapan di panti asuhan. Sesudah mencuci, mereka akan bersantap pagi dengan bakpao daging, maka tak ayal, wangi kontras deterjen dan daging bercampur. Awalnya tak serasi, tetapi lama-lama mereka terbiasa. Justru bau seperti inilah yang menimbulkan keterikatan antara mereka.

Masa bodoh dengan pertalian darah. Kepada keluarga kecil tenteram yang Kun kepalai inilah, Renjun akan senantiasa pulang. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top