10
Tengah malam, Renjun terbangun karena ingin kencing, tetapi sehabis kencing, dia malah haus. Ia hampir pergi ke dapur jika tidak menyadari bahwa lampu di sana menyala—dan ada yang sedang mengobrol di dalamnya.
"Kau tidak akan bisa membagi waktumu dengan pekerjaan. Uang yang kautabung lama-lama juga akan habis. Bagaimana Xiao Ren dan Lele akan sekolah?"
Renjun yang berdiri di depan kamar mandi tidak akan terlihat langsung dari dapur, apalagi setelah sebagian besar lampu di rumah dimatikan. Ini menguntungkannya yang tiba-tiba ingin menguping setelah namanya dan Chenle disebut oleh satu suara—Kun. Ia tinggal diam di depan kamar mandi agar bisa menyimak perbincangan di dapur.
"Beasiswa," jawab suara lain—Sicheng. "Aku akan ambil jenis yang membantu mahasiswa dengan kesulitan finansial, bukan jalur prestasi. Persyaratannya cukup mudah, kok. Mengenai tabungan, jangan khawatir. Xiao Ren dan Lele akan mulai butuh biaya pendidikan setelah lulus SMA, kan? Kita sudah membicarakan sekolah mana yang kira-kira cocok untuk mereka, juga mana yang kira-kira mereka ingin masuki. Tabunganku sudah cukup, setidaknya untuk sekolah Xiao Ren."
"Kalau simpananmu tidak sampai 200 ribu yuan, pikirkan lagi, Sicheng. Bukannya berharap yang buruk-buruk, tetapi uang simpananmu bisa terambil untuk pengeluaran tak terduga seperti saat Xiao Ren kecelakaan kemarin. 'Pas' atau 'lebih sedikit' tidak cukup untuk mengatakan tabunganmu aman sampai kau lulus dari Akademi Tari Beijing, seandainya kau jadi bersekolah di sana."
Renjun terenyak. Ia baru ingat bahwa Sicheng suka menari sejak kecil, tetapi setelah keluar dari panti asuhan, pria muda itu terlalu sibuk bekerja untuk kembali menikmati hobinya.
Jadi, Gege ingin masuk Akademi Beijing? Masalahnya, syarat yang Kun-ge ajukan ... berapa tahun lagi Sicheng-ge bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dari kerjanya di pabrik?
Hening dari ruang makan tidak lantas membuat Renjun beranjak, apalagi ketika ia mendengar desahan Sicheng, beriring tawa getir.
"Baiklah, jadi memang tidak mungkin."
"Bukan mustahil," sahut Kun,"hanya sulit. Ada beberapa pekerjaan lepas di luar pabrik yang bisa kauambil. Aku baru saja selesai menjadi asisten penelitian untuk sebuah universitas; mereka tidak butuh persyaratan macam-macam, cocok untuk lulusan SMA. Namun, menyambi pasti akan menghabiskan energi dan waktumu. Kalau kauyakin bisa melakukannya, aku akan membantumu."
"Tidak," tolak Sicheng tegas. "Mengerjakan banyak hal dalam satu waktu adalah kelemahanku, kau kan tahu itu, Ge. Aku akan tetap fokus di pabrik dan menabung untuk Xiao Ren."
Kedua tangan Renjun mencengkeram sisi celananya. Sicheng tidak seharusnya menyerah begitu saja. Apa yang dikatakan Kun tidak sepenuhnya benar; Sicheng berhak memanfaatkan hasil jerih payahnya sendiri untuk kepentingannya, bukan orang lain. Renjun bisa masuk sekolah tinggi seni selulus SMP dan mencari beasiswa, dengan begitu dia tidak perlu bergantung pada penghasilan Sicheng.
Namun, Renjun juga tahu bahwa dana yang keluarganya miliki seakan selalu kurang untuk melaksanakan rencana-rencana itu. Naik-turunnya harga barang pokok, pajak yang harus dibayar, pengeluaran kecil-kecil (yang sesungguhnya tidak kecil) untuk acara sekolah, dan lain sebagainya senantiasa menguras tabungan yang awalnya tampak 'aman'—mengutip kata Kun.
"Sicheng," suara Kun melunak, "kita adalah kakak Xiao Ren dan Lele. Kepentingan mereka jauh lebih utama dari kepentingan kita sendiri—demikianlah seorang kakak harus bersikap. Kau mengerti, kan?"
Tidak terdengar jawaban, tetapi Renjun dapat membayangkan kakaknya mengangguk. Dalam banyak situasi, Kun telah membuktikan dirinya lebih benar ketimbang adik-adiknya, jadi sulit untuk melawan pendapatnya, bahkan bagi Sicheng yang usianya tidak terpaut jauh dengan si sulung.
"Maafkan aku, Sicheng," ujar Kun lirih.
"Untuk apa? Gege toh mengatakan hal yang seharusnya." Dari perubahan bayangan di ruang makan, Renjun tahu Sicheng sedang bergerak, mungkin akan keluar. "Sejak Baba pergi, aku hanya punya Xiao Ren, lalu kau dan Lele datang melengkapi kami. Aku sangat menyayangi kalian, jadi sudah semestinya aku melakukan apa pun untuk kebahagiaan kalian, bukan?"
Sayangnya, kalimat 'sayang' Sicheng itu terdengar murah, kosong. Renjun paham benar betapa menjengahkan ungkapan cinta yang sungguh-sungguh bagi sang kakak, tetapi yang barusan Sicheng ucapkan dengan begitu lancar. Pemuda itu seakan sedang menipu Kun dengan bilang 'sayang'.
Entah bagaimana dengan Kun-ge, tetapi aku tidak akan tertipu.
Bayangan Sicheng berpindah. Lekas-lekas Renjun mengusap air matanya sebelum jatuh dan bersembunyi di balik pintu kamarnya sendiri. Ia sisakan celah pada pintu itu agar bisa melihat Sicheng sebelum pergi tidur. Sesungguhnya, ia berharap lubang di dada kakaknya tidak membesar, tetapi justru karena tahu betapa kecil kemungkinan itu terjadi, Renjun memaksakan diri mengintip. Ia siap dengan segala perubahan sureal pada diri Sicheng.
Di sanalah Renjun keliru. Ia melotot dengan tangan gemetar ketika mendapati sepasang kaki keluar ruang makan. Sepasang kaki itu mengenakan celana jeans belel Sicheng, jadi Renjun bisa mengenali pemiliknya—meski tanpa badan atas sama sekali.
***
Hari pengumuman lomba tiba. Menurut update dari laman resmi lomba, pengumuman akan ditampilkan pukul tiga sore—saat pulang sekolah. Seharusnya Renjun yang antusias, tetapi malah Chenle dan Yangyang yang menyeretnya ke lab komputer sekolah begitu bel pulang berbunyi. Renjun kontan mengerang keras.
"Aku lapar! Kita jajan dulu saja! Lagi pula, apa bedanya mengecek pengumuman itu sebelum dan setelah makan?"
"Ada!" seru Chenle dan Yangyang bersamaan, lalu Chenle menyambung. "Kalau menang, kau traktir kita xiaolongbao. Kalau kau kalah, Yangyang yang mentraktir!"
"Hei, mana ada? Kalau Xiao Ren kalah, kau yang harus traktir kami!" Yangyang yang tidak mengira akan dilibatkan langsung menuding Chenle, sementara Renjun menertawakan mereka. Ia tidak bakal kepikiran soal traktiran kalau bukan karena dua pemuda konyol yang menarik-nariknya. Alasannya tidak buru-buru mengecek pengumuman juga bukan semata karena lapar, melainkan pesimisme.
Sebelumnya, Renjun pasti masih akan menemukan keindahan dalam entrinya sekalipun karya tersebut dibuat atas dasar strategi, bukan kesenangan. Karenanya, ia dapat mengumpulkan karya tersebut dengan percaya diri dan puas; kemenangan hanyalah bonus. Masalahnya, dalam lukisan pria tanpa wajah dengan tirai itu, ia cuma menemukan kebencian dan ketidakberdayaan. Bagaimana bisa karya yang bahkan tak dicintai penciptanya bisa dicintai orang lain?
Tombol komputer lab Renjun tekan dengan semangat yang tak disangkanya. Lucu juga; karena yakin akan kalah, pemuda itu juga yakin dompetnya aman karena tidak akan mentraktir dua makhluk berisik di belakangnya. Itulah yang menimbulkan semangatnya.
Saat situs resmi penyelenggara lomba terbuka, Chenle dan Yangyang yang masih berdiri mencondongkan tubuh mereka ke layar. Renjun sendiri masih bersandar di kursinya, mengeklik laman pengumuman dengan tak acuh. Meskipun pesimis, entah mengapa Renjun masih berdebar-debar saat menggulir tetikus di halaman peserta terpilih.
Selesai menggulir laman, Renjun tersenyum, lalu membuka kedua telapak tangannya ke arah Chenle dan Yangyang.
"Traktiran xiaolongbao, ya. Kalian mau patungan juga tak masalah."
"Tidak mungkin!" seru Chenle; suaranya bergaung di ruang komputer yang hanya diisi mereka bertiga. Ia menggunakan pintasan 'temukan di halaman', lalu mengetikkan nama Renjun dengan tergesa sampai beberapa kali salah karakter dan ditoyor Yangyang ('balik ke SD saja sana!'). Meskipun telah mengetikkan karakter yang benar, sayangnya, hasil yang Chenle peroleh tetap saja: 'pencarian tak ditemukan'.
Renjun menyilangkan lengan di depan dada. "Aku kalah," ucapnya dua kali, mencoba meyakinkan Chenle dan Yangyang. "Sesuai kesepakatan, kalian traktir aku xiaolongbao siang ini!"
"Tapi, kau kan sampai berkonsultasi pada Guru Yun segala!" Yangyang tak terima, padahal bukan ia yang kalah. "Kau membuat beberapa entri dan memilih dengan pertimbangan yang matang, lo! Masa masih kalah?"
"Tidak ada standar dalam seni. Kacamata berbeda akan melihat keindahan dengan cara berbeda pula." Renjun memundurkan kursinya dan bangkit. "Bahkan, selera satu orang dapat berubah dari waktu ke waktu. Guru Yun memberitahuku karya-karya yang biasanya akan dilirik juri, tetapi itu berdasarkan pengamatannya yang lalu, bukan yang terkini. Atau, yah, mungkin aku cuma kurang beruntung."
Awalnya, Renjun mau lanjut bercanda, tetapi beberapa butir apel hitam bergulir dari dada Chenle. Sementara itu, dari kepala Yangyang berjatuhan setumpuk kartu—semuanya joker hitam. Pemandangan ini selaras dengan muka kecewa dua orang itu—dan Renjun menghela napas.
"Kalian sebenci itu mengeluarkan uang untuk mentraktirku?" tanya Renjun cuek.
"Bukan begitu, Xiao Ren. Aku cuma merasa kau harusnya menang dengan mudah di lomba ini seperti biasanya," jawab Chenle. "Sayang sekali, padahal hadiahnya besar."
Hadiah. Wajah Renjun memendung begitu perkara itu disebut. Benar; motivasinya yang cukup besar mengikuti lomba ini adalah karena seribu yuan yang pasti akan sangat membantu ekonomi keluarga, pada gilirannya meringankan beban Sicheng dan Kun. Terlepas dari ketidakpuasan Renjun terhadap entrinya sendiri dan pesimismenya, kemenangan tetap menjadi tujuannya gara-gara uang yang ditawarkan.
Renjun mendengus. "Tidak ada gunanya menyesal. Aku masih kelas dua; kesempatan mengikuti lomba begini masih banyak," katanya sambil berbalik, hendak keluar dari ruang komputer, tetapi sejenak berhenti. "Setelah kupikir-pikir, mungkin mentraktir kalian xiaolongbao akan membuatku lupa sudah kalah."
"Yang benar?" tanya Chenle dan Yangyang riang, nyaris bersamaan. Renjun memutar bola matanya; sejujur apa pun kekecewaan Chenle dan Yangyang atas kekalahannya, makanan pasti akan segera menghapuskan kekecewaan itu. Namun, diam-diam Renjun bersyukur; setelah mendengar percakapan Kun dan Sicheng yang menghilangkan badan atas kakaknya malam itu, Renjun makin tidak suka menjadi sumber kesedihan orang lain.
"Hari ini, dana siswa turun. Aku harus mengambilnya untuk menambal pengeluaranku minggu ini, jadi bisa sekalian menarik uang untuk jajan," ucap Renjun sekeluarnya dari lab komputer.
"Puja Da Ge!" Chenle dengan heboh mengangkat kedua tangannya. Renjun mendesah keras.
"Kalau dibelikan makanan saja menyebutku Da Ge, dasar babi."
Dari sudut mata, Renjun melihat sebutir apel jingga bergulir di sampingnya, menggelinding di selasar.
"Oh, tunggu." Mendadak Yangyang berhenti dan dengan segera merebut perhatian kedua sahabatnya. "Xiao Ren, bukannya Guru Yun waktu itu bilang untuk menemuinya lagi kalau kau tidak menang?"
Alis Renjun terangkat, mulutnya ternganga dramatis, dan ia menepuk jidat. "Kau benar! Astaga!" Renjun berputar-putar di tempatnya, mencari jam. Ia menemukan satu yang menunjukkan pukul setengah empat. "Sudah jam segini! Guru Yun pasti sudah pulang!"
"Jangan menyerah dulu!" Chenle menunjuk ruang guru, dari mana seorang siswi baru saja keluar. "Dia pasti baru dipanggil. Itu artinya, guru-guru belum pulang! Ayo kita periksa!"
Harapan Renjun untuk menemui Guru Yun tumbuh kembali. Ia berjalan tergesa-gesa menuju ruang guru diikuti Chenle dan Yangyang. Namun, tanpa disadari kedua pemuda itu, langkah Renjun melambat. Pandangannya tertuju pada si siswi yang baru keluar, kini hanya tampak punggungnya, menjauhi ruang guru. Bahkan seseorang yang jarang bergaul seperti Renjun tahu siapa gadis itu: teman setingkatnya yang lumayan populer dan mendapat izin khusus dari sekolah untuk bekerja sebagai model remaja. Dalam penglihatan Renjun, gadis itu diliputi bunga-bunga dan awan-awan mirip permen kapas, tetapi kepalanya menyunggi sebuah keranjang bambu yang terus-menerus menumpahkan lumpur.
Saat itu, yang dipikirkan Renjun hanyalah: pasti berat menjalani dua peran sekaligus, apalagi sebagai perempuan yang perasa. Tidak lebih; ia tak cukup bersimpati karena—seperti kebanyakan orang—ia menganggap masalahnya (dan keluarganya) lebih penting.
"Kebetulan!" Suara Guru Yun segera mengalihkan Renjun dari gadis keranjang lumpur. Sang guru sama sekali tidak terdengar kecewa meskipun muridnya baru saja kalah dalam lomba bergengsi. "Kukira kau melupakan proyek kita. Kemarilah cepat; akan kujelaskan secara singkat karena aku mau pulang!"
***
'Proyek' yang disebut Guru Yun itu ternyata lebih besar dari dugaan Renjun, tetapi juga harus dirahasiakan dari Kun dan Sicheng karena ke depannya belum tentu menjanjikan. Jantung Renjun berdebar-debar antusias sekaligus khawatir ketika Guru Yun memberinya sebuah kartu nama.
Kalau ini berhasil, Sicheng-ge mungkin bisa masuk sekolah tari yang ia inginkan. Aku juga bisa membantu menghilangkan semak duri Kun-ge yang lebat itu!
Sebagai teman yang suportif, Chenle dan Yangyang yang kebetulan hadir saat Guru Yun memaparkan rencananya sepakat untuk berangkat bertiga ke alamat di kartu nama. Di luar ruang guru, mereka membahas kemungkinan Kun dan Sicheng yang bakal ribut menanyakan soal proyek itu, jadi Yangyang mengusulkan untuk menjemput Renjun dan Chenle di rumah mereka, beralasan akan 'mengajak mereka main' Minggu ini. Yangyang—yang punya supir dan mobil pribadi—memang sudah sering mengajak kawannya main agak jauh pada hari libur, jadi harusnya para kakak tidak akan mencurigai kedatangannya.
Minggu akhirnya tiba. Renjun bangun dengan kesadaran akan langkah besar yang diambilnya hari ini—dan tersenyum penuh semangat. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh; Yangyang janji akan menjemputnya dan Chenle pukul sembilan. Dari sela-sela pintu kamar, ia mencium aroma masakan Kun yang membuat perut keroncongan.
"Lele!" Renjun mengguncang adiknya kuat-kuat sampai badannya yang mungil ikut terguncang-guncang. "Lele, cepat bangun! Siap-siaplah biar Yangyang tidak menunggu lama!"
Yang dibangunkan hanya mengerang malas. "Lima menit lagi ...."
Renjun berdecak dan berkacak pinggang, tetapi setelah berhitung, ia rasa tak apa Chenle tidur barang sebentar lagi.
Aku akan membangunkannya setelah mandi saja. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top