Chapter 7

Banyak hal yang belum dia tahu tentang ayahnya. Walaupun Hazel sudah tinggal bersama dengannya selama tujuh belas tahun, itu masih kurang untuk mengenal lebih jauh ayahnya. Tapi hal yang Hazel ingat tentang ayahnya dan ciri khas dari ayahnya adalah tidak pernah meninggalkan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Ayahnya telah membuat sebuah pesan lewat Hazel dan dia harus tahu apa isi pesan itu.

Tepat pukul delapan pagi prosedurnya akan dimulai. Mereka semua telah berkumpul diruang empat puluh tujuh. Wajah mereka terlihat tegang. Hazel terus menggigit ibu jarinya dan menunjukkan gigi taring bawahnya yang tajam.

Peralatan mereka sudah siap, hanya tinggal meminta kepastian mereka semua bahwa mereka siap. Semua mengangguk, mereka semuapun berjalan mendekati mesin itu. Duduk dikursi mereka masing-masing secara melingkar. Memakai benda seperti headphone kemudian memakai sebuah gelang. Gelang-gelang itu menyatu satu sama lain.

Setelah semua siap mesin dinyalakan.

"Ayo kita mulai," ujar Hazel yang kemudian memejamkan matanya.

Orang-orang itu kemudian menyalakan mesinnya. Mulanya semua terlihat lancar, hingga Hazel meresa seperti tersetrum. Tubuh Hazel bergetar, anehnya yang lain tidak. Beberapa detik kemudian mereka semua tidak sadarkan diri.

***

Hazel merasakan sengatan yang dasyat. Tubuhnya terasa terjatuh dari sebuah gedung, tapi dia tidak merasakan pusing sama sekali. Badannya terjatuh disebuah jalan. Jalan itu sepi dan terbuat dari besi. Karena itu dia merasa sakit saat jatuh.

Hazel melihat kesekeliling, tidak ada siapa-siapa. Teman-temannya juga tidak ada. Hazel berjalan mengikuti jalan ini. Entah apakah ini jalanan atau apa, karena Hazel tidak menemukan satupun kendaraan yang lewat.

"Carol! Laura! Thania! Rhona!" teriak Hazel. Tapi tidak satu dari mereka yang menjawab. "Dimanapun kalian, jawab aku jika mendengarku!" teriak Hazel lagi. Lagi-lagi tidak ada jawaban.

Di ujung jalan Hazel melihat sebuah rumah. Rumah itu terlihat aneh baginya. Berbentuk seperti gedung dalam versi kecil. Hazel mendekati rumah itu, tiba didepan rumah itu Hazel memutarinya. Dia tidak mendapatkan pintu ataupun jendela.

"Tempat macam apa ini? apakah ini benar tempat yang pernah ayahku kunjungi?" tanya Hazel pada diri sendiri. Karena dia yakin tidak ada satupun manusia disini.

Dia mendekati bagian depan tempat itu, bagian yang menghadap jalan. Sesuatu membuatnya jatuh, tapi tidak ada barang-barang disekitar situ. Hazel berjalan maju untuk menemukan benda apa yang membuatnya jatuh.

"Ini sangat aneh, aku tidak melihat apa-apa disini."

Hazel masih penasaran dengan tempat ini. Jadi dia memutuskan untuk mencari sesuatu disana. Dia meraba dindingnya, ada sesuatu yang sepertinya adalah tombol atau bel. Hazel menekannya, muncul sebuah lubang kecil untuk memasukkan sebuah jari. Dengan ragu-ragu Hazel memasukkannya.

"Aw," Hazel menarik kembali jarinya. Sepertinya benda itu menusuk jarinya. Beberapa detik kemudian sebuah pintu muncul. Hazel membukanya dan masuk kedalam sana. Ruangan itu tidak terlihat seperti luarnya. Dari luar terlihat kecil, sedangkan didalamnya sangat luas.

"Kau! Bagaimana bisa masuk kedalam sini?" seseorang muncul dan berbicara pada Hazel.

"Entahlah, tiba-tiba tanganku terasa tertusuk dan pintunya terbuka," Hazel menjelaskan.

Seorang pria dengan pakaian serba hitam itu mendekatinya. Wajahnya terlihat tua tapi, jika dilihat dengan jelas pria itu tidak memiliki kerutan sama sekali diwajahnya.

"Kau memasukkan tangan mu ke hole?"

"Hole? Maksud mu lubang kecil itu?" tanya Hazel dan langsung menjawabnya, "ya."

"Siapa kau?"

"Aku Hazel Skylar. Ngomong-ngomong aku dimana? Aku belum pernah lihat tempat ini sebelumnya. " Hazel terus berputar-putar mengelilingi ruangan itu.

"Coba ku lihat tanganmu!" perintah pria itu. Hazel mengulurkan kedua tangannya. Pria itu meraih tangannya dan memutar-mutarkannya seperti mencari sesuatu. Hazel menarik tangannya dari pria itu.

"Ada apa?" tanya Hazel penasaran.

"Aku tidak bisa menemukan ID mu!"

"Oh, ID ku mungkin tertinggal dirumah, aku tidak begitu ingat untuk membawanya." Wajah Hazel tampak bingung, tentu saja selama ini dia tidak ingat untuk membawa tanda pengenalnya. Lagipula siapa orang yang akan menanyakan hal semacam itu.

"Tertinggal? Semua ID yang kami berikan akan selalu menempel di pergelangan tangan mu. Bagaimana bisa tertinggal?"

Seketika wajah Hazel berubah menjadi pucat, dia tidak yakin tanda pengenalnya di pakai di pergelangan tangan. Hazel mengerutkan dahinya. Mencoba menjernihkan pikirannya lagi. Untuk beberapa saat pria itu hanya terdiam melihat Hazel. Hazel juga tidak yakin tempat dimana dia sebenarnya berada. Dari awal saat dia berada ditempat ini, dia sama sekali tidak melihat hal-hal yang menurutnya biasa.

"Boleh aku bertanya sesuatu Mr ..." ucapannya terputus sebentar. Hazel tidak tahu harus memanggil orang itu dengan sebutan apa. Karena Hazel belum mengetahui namanya.

"Bane Armor," pria itu tiba-tiba saja menyebutkan namanya.

"Mr. Armor, tahun berapa sekarang?"

Mr. Armor terdiam beberapa saat, mencoba untuk mencerna ucapan Hazel yang tidak masuk akal menurutnya. "Tentu saja tahun 3045. Kau bercanda ya?" Mr. Bane tertawa kepada Hazel, seolah-olah pertanyaan yang Hazel lontarkan hanya lelucon.

"3045?" wajah Hazel berubah pucat seketika, dia tidak tahu bahwa alat yang dibuat ayahnya bisa membawanya ke masa depan. "Apakah kau mengenal ayahku? Namanya Jason Skylar?"

"Tidak, memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa," seketika saja Hazel menjawabnya. Dia tidak begitu mengenal orang ini, jadi lebih baik dia diam tentang masalahnya ini.

"Baiklah, sekarang kau harus pergi kerumah ku. Ikuti aku!" perintah Bane.

Hazel mengikuti Bane, tubuhnya merasakan pegal-pegal sejak tadi. Mungkin ini yang dia butuhkan, tidur untuk beberapa saat, kemudian barulah dia mencari tahu apa yang telah ayahnya tinggalkan.

Mereka berjalan cepat menuju halaman belakang. Yang lebih tepatnya lagi menuju tempat parkir mobil. Lagi-lagi Hazel dibuat tercengang dengan tempat ini. Mobil canggih abad ini, membuatnya terpesona.

Mobil berwarna merah yang ramah lingkungan, dengan tenaga panel surya dapat membuat mobil ini berjalan seperti mobil di zamannya namun peralatannya lebih canggih dizaman ini. Bahkan lamborgini kalah dengan mobil itu. Tentu saja ini masa depan.

"Istri ku ada dirumah, katakan padanya bahwa aku yang menyuruhmu tinggal disana," Bane menyuruh Hazel masuk kedalam mobil itu. "Mobil ini akan membawamu kerumahku dan karena ID mu tidak ada, pakailah ini!" Bane memberikan sebuah gelang besi yang bertuliskan E17.

"Apa ini?" tanya Hazel sambil mengambil gelang itu dan memasangnya di pergelangan tangannya. Gelang itu tidak terasa berat, tapi tidak ringan juga. Seperti jam tangan buatan Swiss Army.

"Ini ID mu untuk sementara, aku akan membuatkannya untuk mu besok. Sekarang pergilah!"

Mobil itupun tertutup sendiri dan mobil itu berjalan menuju tempat tujuan. Sebenarnya Hazel tidak begitu percaya dengan orang itu, tapi dia tidak tahu tempat ini. Yang dia harus lakukan sekarang adalah menunggu.

Lima menit kemudian Hazel telah sampai disuatu rumah, mobilnya masuk sendiri kedalam rumah itu. ketika pintu terbuka Hazel cepat-cepat turun dari sana. Hal pertama yang dia lakukan adalah terdiam ditempatnya, tanpa mengucapkan apa-apa.

Selama perjalanan dia tidak bisa melihat apa-apa karena jendelanya yang tertutup dan tidak tembus pandang. Sekarang yang ia lihat sangatlah hal yang modern.

Pintu dengan pengaman serba canggih, Hazel berpikir bahwa ia telah berada dalam sebuah ruang waktu yang jaraknya ribuan tahun. Jika benar begitu, berarti dialah orang paling tua disini.

Hazel mendekati pintu itu, sebuah sensor menggelangi tangannya. Pintu terbuka begitu saja, mungkin karena gelang yang ia pakai. Katanya, ini adalah ID-nya.

"Siapa kau?" seorang pria, tidak, lebih tepatnya seorang anak laki-laki seumurannya, berdiri tepat dihadapannya. Rambutnya yang coklat terlihat menawan. Hazel sempat terdiam dan kemudian dia baru menyadari bahwa anak itu berbicara dengannya.

"Aku Hazel," jawab Hazel.

"Kenapa kau memakai mobil ayahku?" anak itu menatap Hazel. "Dimana ayahku sekarang?"

"Tunggu! Jika ayahmu bernama Bane Armor, dia menyuruhku untuk tinggal dirumahnya."

Anak laki-laki itu tiba-tiba saja pergi, Hazel masih diam ditempatnya. Beberapa menit kemudian anak itu kembali lagi dengan seorang wanita. Rambutnya yang coklat sama seperti anak laki-laki itu, dan matanya yang lebih mirip seperti mata kucing, hanya saja berwarna biru menatapnya penuh cemas. Hazel yakin wanita itu ibu dari anak laki-laki itu, lebih tepatnya istinya Bane.

"Apakah Bane telah memberikanmu ID?" tanya wanita itu.

"Ya, kenapa semua orang disini selalu bertanya ID sih? Apa penting sekali harus membawa ID kita setiap saat?" tanya Hazel, yang kemudian mengikuti wanita itu dan anak-laki laki itu menuju ruang tamu.

"Tentu saja Hazel, disini ID itu sudah seperti nyawa bagi kami. Jika kau tidak punya ID maka kau akan dimasukkan kepenjara," anak laki-laki itu kemudian duduk di sebuah sofa. "Jika kau tidak punya ID maka kau tidak akan bisa kemana-mana. Bahkan keluar rumah sekalipun."

"Benarkah? Berarti ID itu sangat penting?" Hazel masih berdiri, kemudian wanita itu pergi kedapur.

Sepintas rumah ini terlihat seperti rumah abad milenium, tapi jika kau perhatikan dengan seksama rumah ini terlihat seperti perpaduan antara abad yunani kuno dengan entah abad kapan.

Dengan lukisan yang terpajang didindingnya memberikan kesan elegan dan mewah. Begitu pula dengan lantainya bukan keramik atau kayu, tapi campuran logam dan baja. Hazel bertanya-tanya apakah saat malam lantainya akan terasa dingin.

Tidak lama kemudian wanita itu kembali dengan membawa tiga cangkir minuman. "Jadi bagaimana kau bisa berada disini? Dari mana asal mu?" tanya wanita itu.

Awalnya hazel ingin mengatakan bahwa dia berasal dari tahun dua ribu tujuh belas, tapi dia membatalkan niatnya. Mungkin mereka tidak akan percaya dan mengaggap semua itu hanya lelucon. Apalagi dia belum tahu apa yang ayahnya sembunyikan disini.

"Aku dari Indonesia." Entah apa yang dipikarkan Hazel untuk mengatakan bahwa dia berasal dari Indonesia. Yang dia ingat hanya Thania, lagipula dia tidak tahu sekarang ada dinegara mana. Yang jelas pasti bukan di Indonesia, orang-orang Indonesia memiliki tubuh yang mungil dan kulit kecoklatan.

"Oh ya? Itu Negara Asia, kenapa kau tinggal disana?" tanya anak laki-laki itu.

"Ayahku bekerja disana, tapi sekarang entah dimana dia berada. Aku sedang mencarinya disini, sejak beberapa hari yang lalu dia tidak memberikan kabar. Kemarin dia mengirimkan surat dan bertuliskan cari ayah di ..." kalimatnya sempat terputus sebelum dia menyelesaikannya. Semua yang dia katakan adalah bohong dan dia tidak tahu dia berada dimana sekarang. "Kata terakhirnya tersobek, jadi aku tidak bisa membacanya."

"Oh begitu," wanita itu mengambil cangkirnya dan menyodorkannya ke Hazel. Hazel mengira cangkir itu akan terasa berat dan berisi, tapi nyatanya cangkir itu kosong.

"Silahkan diminum," ujar wanita itu. Hazel sedikit ragu, apakah mereka gila meneguk cangkir kosong, tapi Hazel mengikuti mereka dan meneguknya.

Saat dia meneguknya, sebuah uap menyembur keluar dari sana dan memenuhi mulutnya membuatnya merasakan teh hangatnya. Rasanya begitu enak dan hangat. Bahkan lebih enak dari teh buatannya.

Bagaimana bisa secangkir kosong menciptakan teh yang sangat enak? Tapi Hazel tidak bertanya, dia tahu tahun berapa sekarang, teknologi lebih canggih dari zamannya.

"Namaku Josh, ini ibuku Madelaine. Senang berkenalan dengan mu Hazel." Josh menaruh cangkirnya bersamaan dengan ibunya.

"Waktunya istirahat, Josh akan menunjukkan kamar mu," ujar Madelaine.

Hazel berjalan mengikuti Josh, dia terlihat sangat besar dari belakang. Lorong-lorong rumah ini juga dihiasi dengan lukisan-lukisan. Setelah sampai pada sebauh ruangan, josh berhenti tepat didepan pintunya. "Ini kamarmu. Kau bisa beristirahat."

"Terima kasih." Balas Hazel, yang kemudian masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. Dinding kamar itu terbuat dari bahan yang sama seperti lantainya.

Sepertinya rumah ini berbahan dasar baja dan logam. Dengan tempat tidur yang terlihat biasa namun sangat empuk untuk dia tiduri. Wajahnya berseri-seri ketika menemukan baju-baju yang pas dengan ukurannya didalam lemari. Hazel bertanya-tanya bagaimana bisa semua baju ini pas dengan tubuhnya. Hingga kemudian dia lelah karena menelusuri kamarnya sendiri yang sebenarnya cukup luas. Hazel terkapar dikasurnya dan tertidur lelap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top