Chapter 5

Perjalanan dari Amerika ke Indonesia sangatlah jauh, jadi Hazel menyibukkan dirinya dengan membaca majalah. Sesekali dia melirik ke arah Spencer yang duduk bersebelahan dengan Laura. Mungkin Hazel merasa sedikit cemburu.

Matanya sekarang tertuju pada langit diluar, andai dia bisa membuka jendelanya pasti dia akan mencoba untuk merasakan awannya. Selama hidupnya dia tidak pernah merasakan memiliki pacar, bahkan tidak ada anak laki-laki yang ingin mendekatinya. Apalagi setelah tahu bahwa dia bisa bela diri.

Kisah cintanya juga tidak bagus untuk diceritakan. Hanya kisah-kisah patah hati dan cinta yang tidak pernah tersampaikan. Bahkan hingga terkena friendzone, tapi dia tidak pernah menjadikan hal itu sesuatu yang penting untuk dipikirkan.

Suara tawa Laura membuatnya sadar dari lamunannya. Kini Laura sedang duduk tepat disamping Spencer dan mereka tertawa bersama. Mereka terlihat cocok, Spencer yang gagah dengan Laura yang dewasa. Lagipula umur Laura dan Spencer hanya berbeda tiga tahun, sedangkan dengan Hazel enam tahun. Mungkin dia juga akan merelakannya, seperti kisah cintanya yang sebelumnya.

Pukul dua siang saat mereka sampai di Indonesia. Bandara disana sangatlah padat, orang berjalan kesana-sini meembawa koper. Hazel melirik jam tangannya, kemudian menyamakannya dengan waktu setempat. Spencer berjalan dibelakang Hazel, membawa ransel di punggungnya. Spencer tidak memakai baju serba hitam-hitam lagi, dia memakai T-Shirt berwana abu-abu dengan jeans dan sneakers. Sedangkan Laura sangat cantik dengan bluss birunya.

Laura tidak terlihat seperti kembarannya, dia lebih terlihat seperti kakaknya. Ditempat pemeriksaan Hazel membuka topinya dan memperihatkan rambut merahnya. Alih-alih agar Spencer memperhatikannya, tapi hasilnya Spencer sedang membantu Laura yang kesusahan dengan sepatunya.

Mungkin ini akan menjadi perjalanan buruk bagi Hazel, tapi dia akan menunjukkan bahwa dia hebat. Untuk hal yang tidak Laura bisa.

Mereka berjalan bersama, Spencer membantu Laura membawa barang-barangnya. Hazel beruntung dia hanya membawa tas ranselnya dan setidaknya dia tidak memakai hills disepatunya. Mobil mereka sudah siap untuk berangkat, tapi Hazel pergi sebentar untuk buang air kecil.

"Jet lag membuatku pusing. Dan aku butuh kekamar kecil sekarang." Hazelpun pergi menjauhi mereka. Berusaha mengingat jalan untuk kembali.

Sepuluh menit kemudian Hazel kembali, mereka pun berangkat. "Aku punya kenalan disini yang telah menyediakan kebutuhan kita selama disini. Dan dia juga telah menyiapkan rumah untuk kita selama disini," ujar Spencer pada Hazel dan Laura.

Perjalanan menuju rumah mereka cukup jauh, tapi Hazel tidak ingin tertidur lagi. Dia sudah banyak menggunakan waktunya untuk tidur. Mungkin melihat pemandangan disekitar sini membuatnya lebih mengenal tempat ini. Entah untuk beberapa hari dia akan ada disini.

"Hazel," suara Spencer memanggil Hazel.

"Ya," Hazel tidak mengalihkan pandangannya dari luar.

"Kau harus berhati-hati disini, mungkin saja mereka juga ada disini."

***

"Bu, boleh aku izin kekamar kecil?" tanya gadis itu sambil mengacungkan tangannya.

"Silahkan Thania," ujar sang guru. Thania pun pergi keluar kelas, kamar kecil cukup jauh dari kelasnya. Udara sejuk berhembus diluar, cuacanya sedang panas sekarang. Tapi anginnya masih menghembuskan sejuknya udara.

Thania adalah anak berumur empat belas tahun yang tidak tahu caranya berkelahi. Dia memiliki rambut hitam legam yang mirip dengan rambut ibunya. Dia salah satu anak yang harus dicari Hazel untuk tugas ini.

Pelajaran berlangsung baik hingga seorang pria tidak dikenal datang. Pintu kelasnya terbuka, seorang pria yang tidak dia kenal masuk. Semua murid termasuk gurunya tertuju padanya.

"Maaf pak, tapi kami sedang belajar disini. Jika anda membutuhkan sesuatu anda bisa menemui bagian penerima tamu," ujar guru itu dengan bahasa yang tidak pria itu mengerti.

Pria itu melihat sekeliling, kemudian mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah foto, kemudian matanya mencari-cari dan mendekati Thania. Tanpa berkata-kata lagi pria itu menarik lengan Thania. Gurunya berusaha memanggil keamanan. Thania ditarik hingga keluar kelas, seorang petugas keamanan meneriakinya. Tapi pria itu memiliki senjata.

Keadaan semakin kacau saat Hazel datang. Dia menodongkan pistolnya ke Hazel, tapi bukan itu yang harus dia lakukan. Dia tidak boleh membunuh Hazel dia kunci dari semua ini, maupun kembarannya.

Spencer muncul dan menodongkan pistol itu ke pria itu. Baku tembakpun terjadi antara Spencer dan pria asing itu. Laura hanya berdiri dibelakang Spencer dan Hazel tidak tahan dengan keadaan ini, dia berlari mendekati pria itu, tapi pria itu menembak Hazel tepat didadanya. Hazel terjatuh, Laura berteriak, dan Spencer berbicara dengan seseorang untuk meminta bantuan.

"Hazel! Hazel!" teriak Spencer yang terlihat panik.

Hazel terjatuh tepat disamping pria asing itu, Thania berdiri dibelakang pria asing itu. wajahnya terlihat sedikit kaget karena dia juga melihat wajahnya yang sedang terjatuh. Untungnya Hazel telah dipersiapkan dengan memakai baju anti peluru dibalik baju yang ia pakai. Hazel membuka matanya dan menarik kaki pria itu. Pria itu terjatuh, Spencerpun berhenti menembak. Kemudian Hazel menikamnya hingga pria itu benar-benar pingsang.

"Hazel," sambil mengulurkan tangannya kepada Thania.

"Thania dan bisakah kau jelaskan semua ini? semua mulai dari," Thania menunjukkan wajahnya dan Hazel mengerti maksudnya.

"Oke, dan ini Laura dan Spencer. Teman yang akan membantu kita menemukan empat yang lainnya," ujar Hazel. Kemudian Laura mengulurkan tangannya begitu juga dengan Spencer.

"Berapa umurmu Thania?" tanya Spencer sambil menaruh kembali pistolnya.

"Empat belas, kenapa?"

"Tujuh belas, dua puluh, dan empat belas. Berapa lagi umur yang lain. Aku hanya berharap tidak ada yang masih bayi, itu akan sangat susah."

"Tunggu! Aku ingin kau menjelaskan semua ini!" ujar Thania yang mengikuti mereka dari belakang.

"Penjelasan nanti, kita perlu mencari keempat yang lain. Aku sudah mengatakan kepada Aaron keadaan semakin memburuk dan aku meminta orang-orangnya membantu untuk pencarian. Itu akan membuat pencarian lebih mudah," jelas Spencer.

"Tunggu! Jadi masih ada orang yang mirip dengan kami lagi?" tanya Thania. Rambutnya sedikit berantakan dan dia berusaha merapikannya.

"Tentu, ada tujuh. Dan kami baru menemukan kalian."

"Apakah kalian tidak berpikir?" tanya Thania lagi.

"Apa?" wajah Hazel tampak binggung.

"Kita kembar kan? Walaupun kita tidak sepenuhnya, hanya karena fisik kita terlihat sama, tapi bisa dibilang kembar."

"Tentu, dan?" kali ini Laura yang bertanya.

"Kalian bisa lihat kan? Setiap orang yang kembar pasti memiliki suatu hubungan satu sama lain. Seperti sebuah ikatan. Mungkin saja itu bekerja pada kita."

"Bagaimana caranya?"

"Coba kau pikirkan sesuatu! Lalu kau coba pikiran itu kau berikan kepadaku!"

Hazel memejamkan matanya, berusaha berpikir. "Rumah mu!" ujar Thania pada Hazel.

"Tepat. Jadi seperti telepati kan?" wajah Hazel terlihat bersemangat. Dia tidak pernah sesemangat ini setelah bertemu Laura.

Spencer berdiri disamping Laura, memperhatikan apa yang Hazel dan Thania lakukan. Mereka terlihat seperti pasangan sekarang. Tapi Hazel bahkan tidak memperhatikan mereka, dia terlalu sibuk dengan Thania untuk menemukan kembaran mereka.

Beberapa menit kemudian Hazel selesai melakukan semua itu. Dia berharap kembarannya mendengar pikirannya. Atau mungkin di harus melakukannya berkali-kali agar mereka datang. Hazel memikirkan Versatile menyuruh mereka untuk datang kesana. Dia juga tidak lupa memberikan alamatnya, walaupun itu tempat rahasia dia juga memberitahu mereka itu tempat rahasia dan mereka harus datang sendiri.

"Ayo, kita sudah selesai. Aku lapar sekarang!" ujar Hazel.

"Ah. Aku tahu tempat yang bagus untuk makan," sambung Thania.

"Di mana?" tanya Spencer.

"Rumahku!" Thania menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.

Perjalanan menuju rumah Thania tidak begitu jauh. Hanya saja karena jalanannya yang tidak bebas gangguan. Sama seperti di New York, ini ibu kota dan sangatlah sibuk.

"Kita sampai. Selamat datang dirumah ku." Wajahnya terlihat sangat bangga.

Rumah sederhana dengan dua tingkat. Tapi apa yang diluar tidak terlihat seperti yang didalam, didalam sangatlah luas. Ada kolam renang yang cukup besar dan halaman belakang yang luas.

"Ayah ibuku sedang tidak ada. Mereka bekerja, tapi tenang ada pembantuku yang sangat bisa memasak." Mereka semua berjalan menuju ruang makan. Sudah tersedia berbagai jenis makanan dan itu sangat banyak.

"Apa ini Thania?" tanya Spencer.

"Itu namanya rendang. Terbuat dari daging sapi dan pedas. Kau akan suka."

"Tapi kita tidak memakan daging sebelum thanks giving," sahut Laura

"Di negaraku tidak ada thanks giving, kami tidak merayakan hal semacam itu. Jadi, sebaiknya kalian makan sebelum perut kalian berteriak kelaparan. Aku janji setelah ini pasti kalian akan kekenyangan."

Thania duduk dikursinya, Hazel mengikutinya disusul Spencer dan Laura. Merekapun makan denganlahap, tapi tidak dengan Laura.

"Laura, kau sedang diet? Ayolah ini enak sekali!" ujar Hazel sambil menunjukkan sendoknya yang berisi penuh nasi dan lauknya.

Sesi makan-makanpun selesai. Hazel dan yang lainnya telah kenyang. Sekarang Waktunya pulang. Tapi Hazel tidak ingin pulang, dia ingin tetap berada disini bersama Thania.

"Besok kita berangkat lagi ke Amerika? Aku benci jet lag!" keluh Hazel.

"Ayo kita harus kembali kerumah kita. Thania besok kita akan menjemputmu disini."

"Oke, tapi bagaimana dengan sekolahku?" Thania menggaruk tengkuknya.

"Kami akan mengurusnya, kau tenang saja. Semuanya akan kami urus."

Spencer dan Laurapun berjalan menuju pintu.Hazel masih tetap berdiri ditempatnya, tidak bergerak sedikitpun. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi terlihat dari wajahnya dia punya ide bagus.

"Aku akan menginap disini!" ujar Hazel. Spencer berbalik dan menatap Hazel. Mata birunya membuat Hazel terpaku. Tapi kemudian dia mengalihkan pandangannya.

"Tidak, kau harus ikut kami!"

"Itu ide bagus. Kita akan bercerita hingga malam. Aku sangat ingin punya kakak perempuan. Sayangnya aku punya kakak laki-laki yang menyebalkan."

"Ya, itu ide bagus Hazel. Aku akan bisa berdua saja dengan Spencer." Ucapan itu membuat semua beralih pandangan pada Laura.

Semuanya terdiam sejenak, kemudian Spencer memulai pembicaraan lagi.

"Baiklah. Ingat besok kami akan menjemput mu, pukul tujuh pagi."

"Yes, Sir!" ujar Hazel dan Thania bersamaan. Kemudian mereka tertawa bersama.

Hazel tidak pernah sebahagia ini, dia seperti menemukan seorang teman yang sangat mengasyikkan. Walaupun dia sedikit kasar tapi dia juga butuh teman untuk diajak bicara.

***

Malam itu dirumah Thania, Hazel tidak bisa tidur setelah perbincangan mereka yang cukup lama. Hazel juga sudah bertemu dengan ayah dan ibunya Thania serta kakak laki-lakinya, Akmal. Mereka berbeda satu tahun, Akmal lebih muda tentunya. Dan Hazel tidak tertarik dengan laki-laki yang umurnya lebih muda darinya.

Hazel membuka jendela kamarnya, keadaan disini tidak sama dengan di negaranya. Sekarang pukul enam pagi dan semua orang sudah ramai untuk memulai kegiatannya. Di negaranya paling tidak anak-anak berangkat sekolah pukul delapan pagi, tapi disini pukul lima pagi mereka harus sudah bersiap-siap.

"Hazel kau harus mandi. Sebentar lagi Spencer datang," ujar Thania yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Apakah dingin?"

"Segar tentunya, disini kami mandi setidaknya dua kali sehari. Dan kau harus mandi untuk bisa sarapan. Ibuku tidak suka ada yang belum mandi dimeja makan."

"Baiklah." Hazelpun masuk kekamar mandi, dia membersihkan tubuhnya. Dan Thania benar itu benar-benar segar. Setelah selesai dia memakai handuknya dan dia ingat dia tidak punya baju lagi. Saat keluar kamar, mini dress berwarna hitam. dan jeans yang tidak ketat tentunya.

"Itu punya ku. ibuku yang membelikannya, tapi aku tidak pernah memakainya. Terlalu kebesaraan. Maaf jika warnanya tidak bagus. Aku suka hitam, jadi ibuku membelikannya, tapi nyatanya kebesaran untukku."

Hazel mengikat rambutnya. "Tidak, tidak. Hitam aku sangat suka. Warna kesukaan ku juga."

"Benarkah? Bagus. Dan jika kau ingin memakai jeans kau bisa pakai itu. Itu punya ibuku yang tentu sudah tidak muat lagi untuknya dan kebesaran untukku."

Hazel mengambil bajunya dan memakainya. Tubuhnya sangat ramping, tapi tidak seramping Laura. Hazel sedikit berisi. Dia berdiri didepan cermin, dia sangat cocok dengan baju itu. tapi menurutnya dia terlihat menggoda, jadi dia memakai jeansnya juga. Dan memakai jaket yang dia bawa.

"Terima kasih Thania. Baju ini sangat bagus." Hazel tersenyum pada Thania.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top