Chapter 2

Suara rel kereta yang berisik membangunkan Hazel dari tidurnya, cepat-cepat dia bercermin di kaca untuk melihat pantulan dirinya. Entah sudah pemberhentian ke berapa yang sudah dia lewati, hingga dia putuskan untuk turun pada pemberhentian berikutnya.

Sambil menggandeng sepedanya, dia berjalan keluar subway yang hampir penuh sesak. Jika Hazel simpulkan, itu berarti tengah sore hari, karena subway biasanya akan ramai saat pagi dan sore di mana jam sibuk kantor pulang dan pergi.

Sekarang perutnya mulai terasa lapar, sejak pagi tadi dia hanya memakan sebuah roti panggang, bahkan tanpa susu. Diliriknya jam tangan berwarna hitam yang menghiasi perhelangan tangannya. Sekarang hampir pukul lima sore dan dia telah melewatkan jam makan siangnya.

Dirogohnya kantung celana dan pakaian, kali-kali dia bisa menemukan uang sisa di sakunya, yang malah mendapati jepitan kertas dan buntalan kertas rusak yang telah tercuci. Tidak mau menyerah, kali ini dia mengacak-acak isi tasnya, alhasil sama saja dia tidak menemukan sepeser pun uang.

Jadi Hazel hanya tertunduk keluar subway dengan menahan perut yang lapar. Saat dia tiba di tangga teratas, jalannya terhalangi oleh seseorang. Yang dia lihat dari bawah adalah sepatu hitamnya yang mulus. Dan dia tahu siapa itu. Itu pasti orang-orang tadi yang mengejarnya.

"Oh tuhan, bagaimana kalian bisa tahu aku disini?" Tanya Hazel dan beberapa detik kemudian dia baru sadar. Disikunya telah tertempel sebuah benda kecil yang berkedip-kedip. Itu alat pelacak, tentu saja mereka bisa mengetahui keberadaannya.

"Oke, kalian menang. Aku akan ikut bersama kalian. Dengan satu syarat." Hazel menggigit bawah bibirnya, tanda dia sedang berpikir. "Aku ingin kalian membelikanku sebuah burger ukuran besar dengan ekstra keju!"

"Baiklah, tapi kau harus menepati janji mu!" ujar salah satu dari mereka. Dia pria yang ditinju Hazel tadi, samar-samar Hazel bisa melihat sedikit memar diwajahnya. Diantara yang lainnya pria itulah yang terlihat paling muda.

"Tenang saja, aku tidak pernah melanggar janji."

Kemudian salah satu dari mereka pergi untuk membelikan pesanan Hazel. Tapi belum sampai pria itu menyebrang jalan, Hazel memanggilnya.

"Hey! Minumnya jangan lupa. Ekstra besar ya!"

Hazel benar-benar memanfaatkan mereka. Tapi dia juga tidak akan melanggar janjinya. Lagipula itu pilihan terakhirnya, dia tidak punya uang sepeserpun. Bahkan sekarang ponselnya sudah mulai low bat.

Hazel menunggu pesanannya didalam mobil. Dan orang-orang yang menurutnya aneh ―orang-orang dengan pakaian serba hitam, seperti agen mata-mata atau pembunuh bayaran― hanya menunggunya diluar. Mereka terlihat kaku dengan hanya berdiri diluar dan menunggu. Lagipula Hazel juga tidak suka keadaan seperti ini, menurutnya dia merasa butuh seseorang untuk diajak bicara.

"Hey, kau!" ujarnya pada salah satu pria yang berdiri dekat pintu. "Ya Kau!" perintahnya sambil memutar mata.

"Ada apa?" tanyanya. Nadanya terdengar sangat kaku. Hazel bisa merasakan itu.

"Tidak, aku hanya ingin bertanya siapa namamu?"

"Apakah penting nama ku saat ini?" tanya pria itu balik. Hazel tidak suka saat dia bertanya justru orang itu bertanya balik padanya. Walaupun orang itu lebih tua darinya.

"Oke, apakah penting sekarang aku duduk disini dan hanya diam?" tanyanya balik dengan sinis. Pertanyaan itu tentu membuat Hazel menang telak. Pria itu juga tidak ingin Hazel kabur lagi. Karena itu hanya menyusahkan dirinya.

"Spencer Ford. Kau puas?" kemudian dia menutup pintu mobilnya.

"Aku hanya bertanya, memangnya salah? Orang-orang ini benar-benar menyebalkan. Kalau saja aku tidak lapar, aku tidak akan ikut dengan mereka."

Hazel memainkan rambutnya. Dia kesal, tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Biasanya jika kesal dia akan meninju orang itu. Tapi tidak kali ini, orang-orang itu tentu lebih hebat darinya. Mereka telah terlatih secara fisik. Sedangkan Hazel hanya menguasai beberapa gerakan berkelahi.

Sekarang pertengahan agustus, tapi cuacanya tidak terlalu panas. Dari luar dia bisa melihat orang yang tadi pergi untuk memesan makanannya. Dia membawa sebuah kantung ditangan kanannya dan segelas minuman dingin. Inilah yang dia tunggu. Sekarang perutnya sudah mulai berteriak. Pria itu membuka pintu mobil dan memberikannya ke Hazel. Matanya seolah mengejek, tapi dia tidak perduli. Sekarang dia siap untuk melahap semuanya.

Belum sampai dia menghabiskan makanannya, sesuatu yang ia gigit membuatnya berhenti memakannya. Itu acar, Hazel alergi acar.

"Apa ini?" sambil membuka pintu mobil dan memuntahkan sisa makanan dimulutnya.

"Itu pesanan yang tadi kau minta!" ujar Spencer dengan nada kasar. Dia sedikit marah karena tadi, tapi dia tidak bermaksud untuk memarahinya.

"Bukan! Yang ada didalamnya? Apa kau menaruh acar didalamnya?" Tanya Hazel sambil menatap kearah pria yang tadi membelikan makanannya.

"Ya, memang pakai acar. Kenapa? Kau tidak suka?" Tanya pria itu.

"Aku, a‐a‐a... alergi acar!" kata-katanya mulai terbata-bata. Sekarang kulitnya terasa terbakar. Itulah yang dia rasakan saat memakan acar.

"Oh tidak! Lihat wajahnya pucat! Cepat bawa dia ke rumah sakit!" ujar pria yang satu lagi.

"Tidak! Ini sudah terlalu lama! Waktu kita hampir habis, kita harus membawanya ke versatile!" wajah Spencer sekarang semakin serius.

"Ya, kita juga punya dokter disana. Mungkin mereka bisa mengobati!"

"Baikalah! Cepat kita berangkat!" perintah Spencer.

Hazel hanya terdiam kaku dikursinya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Spencer disampingnya, tapi dia masih terlihat dingin. Bahkan disaat Hazel sedang sekarat. Hazel pernah mengalami ini sekitar lima bulan yang lalu dan dari situ juga dia baru tahu bahwa dia alergi pada acar.

Saat itu dia sedang makan malam bersama keluarganya. Tentu saja dalam pesanannya itu terdapat acar. Hazel memakannya saat itu, awalnya dia mulai terasa mual. Kemudian kulitnya mulai terasa terbakar dan akhirnya dia merasa pusing. Saat itu juga ayah dan ibunya sangat panik. Dan mereka langsung membawa Hazel kerumah sakit.

Awalnya ibunya mengira dia keracunan, tapi saat diperiksa tidak ada kandungan beracun dari makanan itu. Dokter mengatakan, Hazel alergi pada acar yang dia makan. Dan itu sudah berada ditinggat tinggi, jika tidak segera diobati bisa mencapai kematian.

Hazel masih terdiam, sekarang dia mulai berkeringat. Detak jantungnya mulai tidak beraturan, dia juga harus berusaha keras untuk menarik nafas dari paru-parunya. Spencer mulai cemas dengan keadaan Hazel, kemudian dia mengambil ponselnya dari saku. Hazel hanya bisa mendengar beberapa percakapan, tapi intinya seseorang dalam telepon itu harus menyiapkan obat-obatan untuknya.

Sepuluh menit kemudian mereka sampai disebuah gedung. Hazel memejamkan matanya saat orang-orang berusaha membatunya keluar dari mobil. Dia masih bisa berjalan, tapi dia tidak bisa merasakan tanah yang dia pijak. Seseorang dengan pakaian serba putih menghampirinya. Kelihatannya seperti dokter, tapi ini bukan rumah sakit. Kemudian disusul beberapa orang lagi dengan pakaian yang sama dari belakangnya.

Lagi-lagi Hazel memejamkan matanya. Disaat-saat seperti ini dirinya sedang memikirkan ajal yang mungkin saja datang hari ini padanya. Hazel masih memejamkan matanya, sebuah suara di telinganya membuatnya terjaga.

"Hey! Bertahanlah! Tetaplah terjaga! Buka mata mu!" suara Spencer terdengar lembut ditelinganya. Suaranya tidak seperti suara yang tadi dia dengar, suaranya terdengar sangat lembut.

Hazel membuka matanya. Spencer berada tepat disampingnya. Senyumnya begitu sempurna. Gadis mana yang tidak terpikat olehnya. Tapi Hazel tidak mementingkan itu, dia sedang sekarat sekarang. Mungkin ini hari terakhirnya untuk melihat senyuman sesempurna itu.

Suara orang berkeliaran disekelilingnya membuat dia terus terjaga. Dia juga tidak ingin semua ini berakhir. Dia lupa ibunya masih menunggunya dirumah. Bahkan tadi pagi dia belum sempat mengucapkan kata perpisahan. Jadi hal termasuk akal yang dia pikirkan saat ini adalah tetap bernafas.

Seorang wanita menghampirinya. Membawa jarum suntik dan menyuntikkannya lewat lengannya. Hazel mulai merasa mual yang tadi mulai hilang, kini menghampirinya kembali. Dan pusing dikepalnya kian menjadi-jadi. Kulitnya sudah tidak terasa terbakar, tapi dia mulai merasa kantuk menghampirinya. Dan dia tertidur untuk beberapa saat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top