[IND] My annoying Neighbor
Kinan tak henti-hentinya membuang rasa pandir yang dirasakannya ketika berinteraksi dengan tetangganya itu. Bukan tetangga baru, tapi memang keluarga Badru merupakan golongan borjuis yang terkenal sombong dan sama sekali jarang berinteraksi dengan warga kampung. Sialannya, Kinan malah jatuh hati dengan Badru dan berani berteman dengannya.
Waktu berjalan cepat, Kinan berhasil berteman dekat dengan Badru. Tapi, mereka terpaksa berpisah karena Badru harus melanjutkan kuliah di kota Jakarta.
Lima tahun berpisah akhirnya mereka kembali dipertemukan. Namun semuanya berubah, saat Kinan tahu apa arti sebuah kekecewaan.
"Berengsek! Aku pikir orang seperti kamu akan sadar, bagaimana menghargai perasaan orang proletar sepertiku saat kamu banting semua harapanku dengan seenaknya! Dasar borjuis gak tahu diri!"
Tetangga Menyebalkan - 1
"Kamu jangan terlalu deket sama anaknya Pak Danu. Mereka itu orang berada, Nan. Gak sama kayak kita. Tetangga aja udah pada tahu gimana sifat sombong mereka."
Pukul setengah tujuh pagi. Dan aku masih harus mendengarkan omelan Ibu tentang keluarga tetangga sebelah, Keluarga Pak Danu. Orang kaya yang tidak tahu warga, tetangga, dan tata krama. Semua profesi anak-anaknya terpandang hebat. Kecuali anak bungsunya, Badru. Kebetulan dia seangkatan dan satu sekolah denganku.
"Nan? Didengerin gak apa kata Ibu barusan?"
Aku menghela napas, tersenyum kemudian mencium tangan Ibu. "Aku berangkat ya, Bu."
Kurasakan tangan Ibu mengusap rambutku, "Belajar yang benar. Jangan mau kalah sama anaknya Pak Danu. Walaupun kita orang miskin, tapi otak kita jangan ikutan miskin ilmu."
Aku tertawa, memberi salam berlalu meninggalkan rumah. Hari yang cerah, tapi tidak secerah hatiku dan isi dompetku saat ini. Ah, sialan.
Sudah beberapa meter aku berjalan meninggalkan rumah, melewati gang-gang sempit, sampai akhirnya tiba di jalan tempat dimana angkot berlalu lalang. Bukan jalan raya, tapi semacam jalan penghubung antara jalan raya dengan kampung.
"Tumben lama."
Aku terkejut, menoleh ke arah Badru, anak bungsu Pak Danu yang kini berjalan mendekatiku. "Ngapain kamu nunggu angkot di sini? Bukannya Bapak kamu punya mobil? Kenapa gak dianterin? Atau naik motor gitu?"
"Pengen aja sih naik angkot. Biar merakyat."
Aku menelan ludah. Sombongnya, dasar orang kaya. Mereka bisa saja melakukan apa yang mereka mau sesuka mereka. Termasuk merendahkan orang secara tidak langsung.
Tidak lama kemudian angkot jurusan sekolah kami menepi. Tanpa banyak bicara aku langsung memasuki angkot, duduk di dekat pak supir agar bisa cepat turun dari angkot. Sesaat aku melihat Badru, dengan seenaknya dia menghalau anak SMP di sampingku, dan memilih duduk di sampingku. Sialan. Ada apa dengan manusia ini?
Aku menggeser posisi duduk menjauh, malas sekali jika harus berdekatan dengannya. Tapi anehnya, aku penasaran sekali dengan sikapnya yang tiba-tiba "merakyat" seperti ini.
"Jangan diliatin. Bukannya percaya diri, tapi jangan sampai matanya fokus sama wajah orang. Bikin ilfeel tahu, gak."
Aku tersadar! Ya Tuhan, kenapa aku sampai tidak sadar memperhatikannya sedekat ini. Di depan umum pula. Aku mendelik sebal, mengacuhkan aktivitasnya yang kini tengah memainkan ponsel pintar masa kininya itu. Yang aku tahu, ponsel itu barusaja launching di iklan-iklan televisi. Dasar orang kaya, kalau mau "merakyat" pakailah ponsel berantena, tidak berwarna, dengan tombol besar-besar.
Sesampainya di depan gapura, kami harus berjalan sekitar empat ratus meter melewati satu kampung sebelum tiba di depan gerbang sekolah. Memang lumayan menguras tenaga, hitung-hitung olahraga. Jika sudah terbiasa, pasti rasa lelah akan tidak terasa.
Aku melirik Badru, dia ikut berjalan di sampingku tanpa menyewa ojek yang berjejer saat kami turun dari angkot. Aneh, orang kaya seperti dia mau jalan kaki?
"Biasa aja kali liatnya."
Aku mengerjapkan mata. Kutepuk jidatku gemas, kenapa pula aku selalu tidak sadar memperhatikannya terlalu lama. Sudah tahu dia sering besar kepala. Aku mendelik sebal, berjalan lebih cepat meninggalkannya menuju gerbang sekolah. Penasaran, aku menoleh ke belakang, melihat Badru berjalan santai menggunakan headset di telinga. Sialan. Kupikir dia akan memintaku berhenti, ternyata tidak.
Ya Tuhan, kenapa aku jadi penasaran seperti ini?
Tetangga Menyebalkan - 2
Jika kalian pikir setelah pulang sekolah aku akan berleha-leha, atau memainkan ponsel sambil tiduran, itu salah besar. Setelah pulang sekolah, aku langsung mengikat rambutku dan berganti pakaian untuk membantu Ibu berjualan jajanan seperti seblak, lumpia basah, dan sejenisnya di depan rumah. Fullday school tidak menjadi hambatan untuk berjualan di sore hari. Malah sangat asyik jika pembeli terus berdatangan ke rumah dan merekomendasikannya pada orang lain. Sayangnya, jajanan kami selalu dilewati orang-orang semacam keluarga Pak Danu. Mungkin selera mereka terlalu tinggi sehingga mereka malas melirik dagangan kami walaupun tinggal beberapa meter dari rumah. Sama seperti Badru, mana mungkin tetangga menyebalkan itu mau membeli makanan di tempat kami.
"Kinan? Jangan ngelamun."
Aku mengerjapkan mata, menyadari bahwa sedari tadi aku sedang memasak seblak kerupuk pesanan pembeli. Mendengar suara Ibu, sontak aku segera menyelesaikan aktivitas memasak. Untung tidak sampai gosong. Kutuangkan masakan seblak itu ke dalam cup, membungkusnya dengan rapi.
Saat hendak menyimpan pesanan, tak sengaja mataku terpaku pada seseorang yang kini berdiri satu meter di depanku. Badru tersenyum, dengan kaos oblong hitam dan celana selutut yang melekat di tubuhnya.
"Beli seblak bakso satu, lumpia basah satu. Gak pake lama."
Aku menautkan alis, permintaannya menuntut sekali. Aneh, dia terus tersenyum. Senyuman menyebalkan yang membuatku terus-terusan ingin melihatnya. Aku menggeleng, mengusap wajah sebelum akhirnya memasak pesanan Badru. Baik, akan kubuat dia terkesan dengan masakan jajanan di tempat kami.
"Gak capek, Nan, pulang sore langsung jualan?"
Aku mengernyit. Angin dari mana dia bertanya seperti itu. "Capek sih. Bawa santai aja."
Sekilas kulihat dia mengangguk sambil memainkan ponselnya. Lima menit berlalu, aku sudah menyelesaikan dua bungkus pesanan manusia di depanku. Tiba-tiba Ibu muncul di belakangku, wajahnya nampak terkejut melihat putra bungsu Pak Danu berdiri di depan meja memasak. Beliau mendekat, berbisik, "Dia beli?"
Aku mengangguk. Ibu tersenyum, "Kasih masakan yang terbaik. Biar mereka tahu kalau masakan kita bisa cocok di lidah borjuis mereka."
Ibu kembali berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkanku menghadapi Badru. Sekali lagi, kulihat Badru tersenyum. Manis. Naasnya bukan untukku, tapi untuk ponselnya.
"Nih. Sudah selesai." aku mengangsurkan dua bungkus pesanannya pada Badru. Badru mendengus, mengambilnya kemudian membayar dengan uang lima puluh ribu. Aku berdecak, menatapnya agak jengkel. "Gak ada uang pas?"
Dia berlalu mengindahkan panggilanku saat hendak memberikan kembalian padanya. Kuhampiri dia dengan wajah kesal.
"Kembalian." aku menarik satu tangannya yang kosong, memasukkan uang empat puluh ribu dengan paksa ke dalam genggaman tangannya. Setelah itu aku kembali ke tempatku berjualan.
Dia menaikkan kedua alis, tersenyum sinis. "Pedagang jujur."
Samar-samar kulihat dia tersenyum, berjalan pulang ke rumahnya. Enak saja dia menguji kejujuranku dalam berdagang. Walaupun kuakui senyumannya manis, tapi tetap saja menyebalkan.
Tetangga Menyebalkan - 3
Keesokan harinya, sengaja, aku berjalan melewati rumah besar bertingkat tiga milik Pak Danu saat berangkat sekolah. Aku melirik ke dalam celah pagar di depanku. Kosong. Tidak ada tanda-tanda keluarga Pak Danu. Saat aku berbalik, aku terkejut. Melihat Badru sudah berdiri di belakangku. Aku tergagap, malu, sekaligus bingung. Dari mana datangnya lelaki itu?
"Ngapain ngintip pagar rumah? Mau maling, ya?"
Aku mengindahkan perkataan pedasnya, berjalan menghampirinya. "Barusan jalan mana?"
Dia menunjukkan pintu di samping gerbang rumahnya yang panjang, lebar, dan tinggi itu. Tepat di sampingku mengintip. Ah, sialan, dia pasti makin besar kepala. Kulayangkan senyuman ramah, menepuk pundaknya sok akrab. "Berangkat bareng, yuk!"
Dia melirikku tajam, tak suka. "Gak ada untungnya."
"Jahat. Tetangga jahat. Dasar sombong."
Masa bodoh dia mau tersinggung atau mengadu, aku tidak peduli. Kuhentakkan kaki berjalan meninggalkannya. Siapa pula yang mau berteman dengannya. Tetangga yang lain pun tidak ada yang berminat.
"Drama banget. Marah, ngambek, dasar cewek banget."
Aku membulatkan mata. Kulihat dia berjalan menyusul di sampingku. Entahlah, bukannya marah atau kesal. Punya tetangga seperti ini harus diberi pelajaran. "Badru,"
"Apa?"
"Besok kita berangkat bareng lagi, yuk."
Dia terdiam. Lama. Sampai kita naik angkot pun, dia masih tidak menjawab ajakanku. Ah, sudahlah, kenapa aku berharap sekali pada manusia sombong ini.
Setelah kami tiba di depan gerbang sekolah, dan sepanjang perjalanan itu dia masih mengacuhkanku. Aku menghela napas, membuang harapan sialan itu dengan senyuman. Senyuman pahit yang bersumber dari rasa aneh. Rasa yang timbul dari sini. Dari hati.
Tetangga Menyebalkan - 4
Seperti biasa, sepulang sekolah aku membantu Ibu berjualan. Mataku melirik ke arah pembeli dan pagar rumah bergantian. Tidak ada tanda-tanda Badru. Aku mendesah, kenapa aku ingin sekali melihat Badru? Aku menghentakkan spatula dengan keras, rasanya aku mulai merasakan hal aneh akhir-akhir ini. Apa aku mulai menyukai Badru? Jika jawaban antara hati dan logika jauh berbeda, aku yakin jawaban hati adalah yang paling tersesat. Benar, aku mulai menyukai kehadiran Badru.
"Nan, lain kali jangan mau deket-deket sama anaknya Pak Danu."
Seorang pelanggan yang sedang kulayani tiba-tiba membicarakan Badru.
"Memangnya kenapa, Tan?"
Tante Wati, tetangga depan rumah itu melirik sengit arah dimana rumah Badru berada, "Tadi siang, Pak Danu sama anak dokternya itu pulang dari Jakarta. Eh, bukannya balas senyum atau jawab Tante, dia malah masuk aja ke rumah. Kayak gak kenal gitu sama Tante. Padahal, dulunya dia orang ngontrak, sering pinjem duit." beliau mendengus, "Seperti kacang lupa kulit. Keluarga Pak Danu makin sombong."
Mendengar semua ceritanya aku hanya tersenyum miris. "Sabar, Tan. Mungkin mereka lelah."
Sudah banyak tetangga dekat rumah merasa risih dan tidak nyaman dengan keluarga Pak Danu yang semakin tidak mengenal arti bersosialisasi dengan warga sekitar. Aku tidak peduli, yang penting Badru masih mau menerimaku sebagai tetangganya. Mungkin lambat laun aku bisa mengubah sikap sombongnya.
Keesokan harinya aku kembali berjalan melewati rumah Badru. Anak itu sudah berdiri di depan pagar rumah. Entah menunggu siapa. Tapi tunggu, jantungku tiba-tiba berdegup tidak karuan. Aku berjalan melewati nya, hingga kulihat Badru kini berjalan di sampingku. Aku menoleh, menatapnya takjub. Dia memang tidak bicara, namun tindakannya benar-benar menjawab ajakanku hari lalu. Hatiku senang bukan main, kepak sayap kupu-kupu sudah mengisi perut hingga aku tak bisa menahan senyum bahagiaku ketika melihatnya dari dekat. Begitu hebat ciptaanmu, Tuhan. Hatiku begitu bergetar untuknya. Aku mulai menyukainya!
Tetangga Menyebalkan - 5
Hari-hari terus berganti. Perasaanku semakin hari semakin bertambah besar untuk Badru. Seiring berjalannya waktu, Badru mulai kehilangan sifat sombong dan arogannya padaku. Kami sudah seperti layaknya tetangga dan teman. Tapi anehnya, aku malah tidak suka sebutan itu.
"Bad,"
"Kebiasaan, jangan panggil Bad, terusin dong. Kesannya gak enak. Bawaannya aku itu nakal. Bukan anak Pak Danu."
Aku terkekeh, melihatnya menggerutu tidak suka. Entah kali berapa kami berangkat sekolah bersama. Di rute jalan yang sama, dan tujuan sekolah yang sama. Dan sepanjang itu lah, kisah cintaku hanya sebatas pengagum rahasia di balik topeng sebagai teman tetangga. Mungkin tidak ada salahnya jika aku memendam rasa yang amat sialan ini.
Kadang aku berpikir, orang rendahan sepertiku tidak pantas jika bersanding dengan golongan borjuis seperti Badru. Bayangkan saja, kedua orangtuanya Diplomat, dua kakaknya dokter gigi, dan satu kakaknya lagi tentara. Di sini letak percaya diriku runtuh saat melihat posisi Badru jauh lebih tinggi daripada silsilah sosial keluargaku. Kedua orangtuaku pedagang, satu kakakku karyawan pabrik, tapi dia mengambil kuliah kelas karyawan. Tidak ada yang spesial. Semuanya tergolong rendah. Kadang aku sendiri selalu bertanya-tanya, mengapa Badru mau menerimaku sebagai teman berangkat sekolahnya.
Ah, sudahlah, membahas status sosial benar-benar membuatku muak. Bagaimana pun aku membenci keluarga Pak Danu, aku tidak yakin bisa ikut membenci Badru. Hatiku benar-benar jatuh padanya. Entah lah, ungkapan benci menjadi cinta itu benar adanya. Tapi, aku pun menginginkan balasan. Balasan rasa yang kini menggunung sesak dalam dada. Dan yang kurasakan, menggapai balasan Badru seperti bintang yang menggantung di angkasa. Bak seperti laut yang bermimpi mencumbu langit.
"Kinan, jangan melamun."
Aku tersadar, ternyata kami sudah sampai di depan gapura. Badru sudah turun dari angkot menungguku turun. Dengan tergesa aku turun dari angkot, membayar ongkos, mengikuti Badru berjalan melewati satu kampung menuju gerbang sekolah. Tak henti-hentinya aku mencuri-curi pandang ke arah Badru yang kini menggosokkan tangannya kedinginan. Hujan memang baru saja reda. Tapi jangan harap sebelumnya kami berjalan satu payung berdua, kami membawa payung masing-masing.
"Nan, dingin, gak?"
Aku menggeleng. Jujur, tanganku selalu panas jika kondisi tubuhku sedang sehat. Sebaliknya jika aku demam, tubuhku menggigil kedinginan. "Enggak."
Tiba-tiba dia meraih tanganku, menggosoknya menggunakan kedua tangannya, "Pinjem bentar, ya. Tangan kamu anget. Sampai gerbang boleh, ya."
Aku mendelik sebal, tapi jujur, sentuhannya benar-benar seperti setruman listrik. Tubuhku mendadak panas dingin, jantungku berdebar, dan pikiranku mulai tidak stabil. Refleks, aku membuang muka ke arah lain, tersenyum tidak karuan.
Andai saja waktu berhenti berputar. Membiarkanku terus-menerus merasakan sesaknya kupu-kupu yang kini bercumbu ria dalam perutku. Ingin rasanya aku membacakan puisi milik Sapardi; Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya. Seperti bunga. Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi.
"Kinan?"
Aku mengerjapkan mata, tersadar bahwa kami sudah sampai di depan gerbang sekolah.
"Besok-besok jangan banyak melamun. Bukankah langit kosong tetapi isi? Dan bukankah hatimu penuh dengan isi tetapi kosong? Aku tidak mau kamu merasakan itu jika bersamaku."
Dia tersenyum, berlalu meninggalkanku menuju kelasnya. Aku terpaku. Barusaja dia membalas puisi dalam hatiku dengan puisi milik Sapardi Djoko Damono. Sungguh, aku begitu menyukaimu. Mencintaimu. Tanpa titik, tanpa nanti.
Tetangga Menyebalkan - 6
Satu tahun berlalu, akhirnya kami memasuki awal semester lima. Ya, perjalanan cintaku pada Badru sudah genap dua tahun. Dan mulai akhir-akhir ini, Badru memilih membawa motor ke sekolah daripada berjalan kaki. Aku hanya bisa pasrah, menunggunya mengajaknya terlebih dulu.
Aku tidak pernah merengek meminta tumpangan, dimana Badru menawarkan, pasti aku mengiyakan ajakannya. Romantisnya kami berdua saat berangkat sekolah menggunakan motor. Terkadang dia sering menjahiliku dengan cara mengerem mendadak, refleks tanganku langsung memeluknya dari belakang. Sialan memang. Wajahku begitu panas, dan tak lupa pundaknya telak menjadi sasaran pukulan tanganku. Dia hanya bisa tertawa di balik helm. Melajukan kembali motornya dengan kecepatan standar.
Aku bingung, kenapa dia malah sering mengajakku berangkat bersama. Padahal aku takut sekali jika dia telah mempunyai pacar. Remuk hatiku jika hal itu benar-benar terjadi. Dia tidak pernah cerita pasal orang yang disukainya, tapi aku sering melihatnya bersama perempuan cantik di sekolah. Sudahlah, kubur saja dalam-dalam angan-angan gilamu, Kinan. Kamu tidak akan mendapatkannya.
"Kinan,"
"Apa, Bad?"
Dia membuka helmnya saat kami telah tiba di parkiran sekolah, "Aku minta maaf."
"Buat?"
"Minggu depan aku pindah rumah.
"Ke mana?"
"Jakarta."
Aku tersenyum kecut, "Lanjut kuliah?"
"Bapak beli apartemen baru, keluarga kami berencana tinggal di sana sementara waktu. Sekalian lanjut kuliah." dia menatapku memelas, "Kalau aku punya banyak salah, aku minta maaf, Nan. Jaga diri baik-baik."
Aku mengangguk. Seperti sembilu menghujam hati, mendengar Badru akan pergi aku hanya bisa diam. "Gak usah minta maaf. Baik-baik aja di sana. Dan yang terakhir, jangan pernah lupakan aku."
Dia tersenyum, mengusap puncak rambutku, "Aku tidak akan melupakanmu, Kinan."
Dan itu lah kata terakhir sebelum kami berpisah menuju kelas masing-masing.
Tetangga Menyebalkan - 7
Seminggu berlalu. Keluarga Badru sudah meninggalkan rumah gedongnya memilih tinggal di Ibu kota. Aku yang awalnya selalu bersemangat berangkat sekolah hanya bisa merasakan bayangan Badru di sampingku. Ah, patah hati karena cinta tak terbalas, tak sesakit ditinggal seseorang yang kita cintai. Aku merindukannya. Ribuan serenade tak bosan kumainkan, kulantunkan, kunyanyikan dalam kesunyian jiwa, tapi kenapa sang belahan jiwa tak kunjung membalasnya kembali?
Satu tahun kami hilang komunikasi. Ada rasa khawatir jika Badru benar-benar melupakanku. Tidak, aku percaya Badru akan membalas semua chat personalku di semua akun media sosial miliknya. Akun media sosialnya memang aktif, tapi sialannya dia tidak pernah membalas pesanku. Entahlah, mungkin dia mulai sibuk dengan kota Jakarta. Aku memakluminya.
Dua tahun. Aku benar-benar sangat kehilangan sosok Badru. Kali ini aku berhasil lolos bidikmisi SBMPTN. Dan diterima di Universitas Nasional Jakarta, jurusan Sastra Indonesia. Akhirnya aku bisa mengikuti jejak Badru ke Ibu kota. Dengan menempuh pendidikan tanpa biaya.
Lima tahun. Aku sudah mulai melupakan sosok Badru. Ditambah aktivitasku yang padat karena sibuk mengikuti UKM dan tugas yang begitu menumpuk seiring bertambahnya semester. Tapi semangatku menuntut ilmu tidak pernah patah, karena kita harus memperkaya ilmu.
Kali ini aku bersama teman-teman kampus barusaja selesai menikmati pementasan drama musikalisasi berjudul "Bawang Merah dan Bawang Putih" di salah satu auditorium sanggar drama di Jakarta. Saat kami berjalan menuju pintu keluar, tiba-tiba mataku terpaku pada sosok lelaki yang kini memakai celana jeans belel, sepatu converse, dan kemeja kotak-kotak hitam yang digelung sampai siku tengah duduk bersama seorang wanita cantik berpakaian elegan. Aku mengerjapkan mata, dia benar-benar Badru!
Dengan langkah tergesa aku mulai menghampirinya, mengindahkan panggilan teman-teman kampusku. Napasku tersengal, seiring detakan jantungku yang mulai menggila.
Kulihat wanita di sampingnya itu melenggang pergi, meninggalkannya sendiri bersama rokok yang terselip di bibirnya. Aku mendengus, menggantikan posisi wanita itu di sampingnya. Dia masih belum sadar akan kehadiranku.
Aku berdeham, "Udah lama kita gak ngobrol. Badru."
Dia mengernyit, mengalihkan pandangannya padaku. "Kamu tahu nama saya?"
Aku tersenyum sinis, "Dua tahun kita bersama-sama. Dua tahun kita saling bertegur sapa. Tujuh tahun kita bertetangga, berteman baik, apa kamu tidak ingat itu?"
Dia menampakkan wajah bingung, tidak mengerti. "Maksudnya?"
"Aku Kinan, Bad! Kinan tetanggamu! Teman berangkat sekolah. Tetanggamu yang jualan seblak dan lumpia basah. Aku Kinanti, anaknya Pak Harun dan Bu Sari. Yang suka nebeng naik motor kamu. Kamu ingat, kan?"
Gemas sekali rasanya jika melihat raut wajahnya yang sama sekali tidak merasa bersalah dengan semua kenangan manis yang kami lewati bersama dulu.
"Bad, lima tahun aku nunggu kabar dari kamu. Tapi, percuma. Kamu gak pernah balas semua pesan di semua media sosial kamu. Apalagi nomor telepon kamu. Padahal kamu sering online di media sosial."
Aku berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidak mungkin lupa akan hal itu. Dia membenarkan duduk, ekspresi wajahnya serius. Matanya menatapku seperti orang asing. Bukan seseorang yang barusaja bertemu setelah bertahun-tahun berpisah.
"Tapi, aku tidak pernah melihat kamu sebelumnya."
Sakit. Satu kata mewakili sejuta perasaanku saat ini. Wajahnya nampak biasa saja. Sialan, begitu mudahnya Badru melupakan semua yang telah terjadi. Semua kenangan manis dan akhirnya berakhir tragis seperti ini?
Berengsek! Benar-benar lelaki berengsek!
"Kamu tidak mengingatku? Sama sekali?" tanyaku dengan suara bergetar, menahan airmata yang justru mengalir tanpa henti.
Dia menampakkan wajah khawatir, "Aku benar-benar tidak mengingatmu. Aduh, jangan nangis."
"Berengsek! Aku pikir orang seperti kamu akan sadar, bagaimana menghargai perasaan orang proletar sepertiku saat kamu banting semua harapanku dengan seenaknya! Dasar borjuis gak tahu diri!"
Airmataku sudah tumpah ruah, seluruh isi hatiku telah luruh lantak kuluapkan bersama emosi yang kini hanya tinggal duka dan luka. Dia terdiam membisu, masih dengan raut tak mengerti. Kuseka airmata pelan. Tak sadar, kini kami telah menjadi pusat perhatian semua orang.
Aku menepuk pundak Badru pelan, tersenyum sinis dan berbisik, "Salam untuk keluarga pejabat di apartemen baru Bapakmu. Keluarga Pak Danu. Aku menyesal telah menyukaimu, borjuis yang seharusnya tidak pantas untuk disukai orang proletar sepertiku."
Aku sudah tidak kuat lagi. Aku sudah muak dengan tatapan matanya. Benar-benar menyakitkan. Aku tidak tahu, entah dia terkena amnesia atau pura-pura tidak mengenalku karena gengsi, atau lebih buruknya dia benar-benar melupakanku karena namaku tenggelam di antara orang-orang borjuis di sekitarnya.
Sungguh, seharusnya sedari dulu aku sadar akan perkataan Ibu. Dia orang berada, sementara aku orang tidak punya. Aku terlalu mementingkan rasa buta dan pandir ini yang telak membawaku menuju lembah kehancuran. Hatiku benar-benar hancur tak berupa. Karena satu alasan memuakkan.
Cinta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top