Part. 9 - Meeting approval

Baiklah, aku lagi ngegas untuk lapak ini, gegara lagu Monsters yang bikin aku baper sambil inget kisah Marco.

Here's Jerome for everyone. 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



"Kesan pertama aja udah nggak bagus, gimana nantinya? Atau jangan-jangan, soal kamu yang punya pacar itu bohongan?" komentar Mama yang membuat Luna harus menahan diri untuk tidak mendengus atau memutar bola mata.

Sesuai rencana, Mama meminta Luna mengundang pacar sesumbarnya ke rumah untuk makan siang bersama. Saat ini, Papa, Mama, dan Leon sudah duduk di ruang makan. Luna masih berdiri di ruang tengah, menunggu kabar Jerome yang belum membalas pesan singkatnya sejak pagi.

Sampai kemarin malam, tidak ada tanda-tanda Jerome akan mundur. Jawabannya masih sama, yaitu datang ke rumah Luna dan berperan menjadi pacar. Sudah mengirim alamat rumah, lengkap dengan titik lokasi sejak semalam, seharusnya Jerome sudah tiba sejak tadi. Janji temu adalah jam 12 siang, tapi saat ini sudah 15 menit berlalu dari jam yang ditentukan, dan terlambat adalah hal yang tidak bisa ditolerir oleh keluarga Luna yang sangat disiplin soal waktu.

Pikiran Luna terbagi menjadi dua, antara Jerome yang tiba-tiba memutuskan untuk mundur, atau alasan klise berupa macet. Dia pun sudah menyiapkan rencana cadangan untuk mengatasi masalah berupa Papa yang masih diam, dan Mama yang sudah seperti cacing kepanasan. Hanya Leon yang begitu santai menikmati karaage sambil menunggu makan siang dimulai.

"Kalau begitu, kita makan dulu aja. Mungkin macet," ujar Papa tenang.

Luna menghela napas dan hendak menyusul ke ruang makan, tapi tidak jadi karena suara klakson dari luar membuatnya segera menoleh ke luar jendela. Tampak SUV yang sangat dikenalinya berada di luar pagar rumah, dimana supir keluarga yaitu Pak Didin, sedang membukakan pagar untuknya.

"Udah dateng!" seru Luna sambil bergegas keluar rumah, dan bisa dibilang hampir berlari untuk menghampiri SUV Jerome yang sudah memasuki halaman rumah.

Jerome memarkirkan mobilnya tepat di belakang mobil ayahnya, saat Luna sudah menggapai pria itu di sisi pintu mobil. Dia ingin sekali memaki saat Jerome keluar dengan senyuman lebar yang dua kali lipat lebih menyebalkan. Sama sekali tidak terlihat bersalah karena sudah terlambat, tapi justru menampilkan keceriaan yang tidak diperlukan.

"Hey, you. Cantik amat rambutnya dijepit kayak gitu," sapa Jerome sambil mengangkat tangan hendak membelai rambut, tapi Luna sudah menepis tangannya dengan cepat.

"Kenapa telat? Udah dibilangin kalau telat itu pamali di keluarga gue!" sewot Luna dengan nada berbisik, merasa waswas jika ocehannya akan terdengar sampai ke dalam rumah.

"Sorry, Baby. Hari ini adalah Sabtu, yang artinya hari libur. Biasanya, jam segini gue belum bangun. Demi lu, gue berusaha bangun, tapi ternyata kesiangan. Yang penting, gue udah sampe, kan? Lagian, cuma telat 10 menit," balas Jerome enteng.

"Lu udah telat hampir 17 menit!" desis Luna gemas.

Jerome terkekeh geli melihat wajah Luna yang memerah karena menahan marah. "Gue pake ngebut loh, dan harusnya lu bersyukur kalau gue sampe ke sini tanpa insiden macam tabrakan."

Luna merengut sambil menatap Jerome sebal, lalu menunduk untuk melihat penampilan Jerome yang...

"Kenapa nggak pake baju yang kemarin udah dibeli?" tanya Luna dengan mata menyipit tajam.

Jerome mengangkat bahu. "Karena lu nggak mau bantuin gue buat cobain bajunya, jadi salah sendiri. Bajunya kegedean, celananya kesempitan, dan gue nggak suka."

"Satu stel pakaian itu harganya sejuta lebih, Jer! Dan gue yakin banget kalau itu pas di badan lu!" omel Luna. "Meski lu bayar sendiri karena nggak kasih gue bayar, tapi tetep aja buang-buang duit!"

"Seandainya lu mau bantu gue cobain, mungkin gue akan pake baju itu sekarang. Ya udah, apa sih bedanya? Yang penting tertutup, kan? Apa sweater turtleneck ini kurang tertutup buat nutupin tato gue? See? Panjangnya sampe ke punggung tangan loh. Kalau ditanya gerah atau nggak, bilang aja gue lagi nggak enak badan," balas Jerome acuh.

Mendengus pelan, Luna merasa sudah membuang waktu karena berdebat dengan Jerome adalah hal yang sia-sia. Pria itu akan sangat mampu memberi balasan untuk memenangkan perdebatan dan Luna akan berakhir dengan merutuk dalam hati seperti saat ini.

"Okay, jangan ngomong macam-macam. Pokoknya, diem aja," ujar Luna sambil mengarahkan jalan ke dalam rumah.

"Masa gue diam aja kalau ditanya?" balas Jerome dengan nada mengejek, lalu terkekeh saat Luna berdecak.

Sebelum sempat memasuki rumah, Jerome menarik tangannya, menghentikan langkah Luna, membuatnya berbalik dan... cup! Sebuah kecupan mendarat tepat di bibir, lalu dilanjutkan dengan sesapan ringan di bibir bawah, dan Luna spontan mendorongnya menjauh sambil melotot galak.

"Lu..!"

"Gue gugup, jadi butuh pengalihan," ujar Jerome sambil menyeringai lebar. "Manis banget sih bibirnya? Gitu dong, rambut digerai dan copot kacamata. Kan asik kalau ciuman, nggak ada kacamata yang jadi penghalang."

"Sayangnya ini di depan rumah gue, coba kalau diluar, muka lu bisa gue tabok!" desis Luna pelan.

"Mau dong ditabok," ejek Jerome.

Luna tidak lagi menanggapi ejekan Jerome, dan segera meraih satu tangan Jerome untuk digenggam, tanpa melihat Jerome yang tersentak saat dia melakukan hal itu. Dengan degup jantung yang mulai mengencang, Luna membawa Jerome ke ruang makan dimana keluarganya sedang menunggu.

Luna tahu jika Jerome sudah pasti bukan kesukaan bagi keluarganya, tapi dia tidak memiliki pilihan. Dia akan berusaha keras untuk tidak mengakhiri status lajangnya dengan perjodohan, tapi merupakan pilihannya. Mengulur waktu adalah cara Luna untuk mencari sosok terbaik untuk dirinya. Itu saja keinginannya untuk saat ini.

"Pa, Ma, kenalin, ini Jerome," ucap Luna gugup, hingga tidak sadar genggaman tangannya menguat.

Dia bisa melihat ekspresi beragam dari Papa dan Mama yang membuat debaran jantungnya semakin berdebar kencang. Seperti mengerti kegugupan Luna, Jerome meremas lembut tangan Luna yang basah, lalu menariknya pelan untuk melanjutkan langkah sampai tiba di dekat meja makan.

"Siang, Om, Tante, maaf saya terlambat. Tadi ada masalah dengan ban mobil saya, jadi mampir di bengkel yang ada di tikungan sebelum belok ke sini," sapa Jerome ramah, melepas genggaman tangan Luna, lalu melangkah untuk mengulurkan tangan.

Papa dan Mama kompak berdiri untuk membalas uluran tangan Jerome dalam jabatan yang erat. Leon pun ikut berdiri sambil menatap Jerome dengan tatapan ingin tahu. Setelah berkenalan, Jerome dan Luna duduk bersisian, dimana Papa duduk di kursi utama, sedangkan Mama dan Leon duduk di sisi sebrang.

"Nasinya diambilin dong, Lun," tegur Mama sambil melirik tajam Luna yang masih diam saja dan tidak melakukan apa-apa.

Luna menggerutu pelan sambil mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi, lalu mengulurkan pada Jerome yang tersenyum begitu lebar. Luna tidak habis pikir dengan pria yang selalu tersenyum dalam berbagai kesempatan. Apakah dia tidak gugup? Canggung? Atau apapun yang mewakilli perasaan manusiawi saat berhadapan dengan orang asing?

"Jadi, apa pekerjaan kamu, Jerome?" tanya Papa santai.

Interogasi dimulai, gerutu Luna dalam hati. Melirik cemas, Jerome tampak begitu santai sambil mengucapkan terima kasih pada Mama yang mengambilkan semangkuk sup untuknya.

"Main di pembangunan, Om," jawab Jerome.

"Kontraktor?"

"Merangkap semua lebih tepatnya. Arsitek, sipil, konstruksi, from A to Z."

"Oh, kamu sudah memakai konsep makro, ya?"

Jerome mengangguk. "Mengikuti perkembangan aja, Om. Zaman sekarang, kalau kita nggak pinter-pinter lihat perkembangan minat dan strategi pertumbuhan, maka kemampuan kita jadi sia-sia."

"Betul sekali," ucap Papa setuju.

"Om sendiri main di bidang apa?"

"Industri."

"Manufaktur?"

"Saya main di tekstil."

Luna hanya bisa terdiam mendengarkan perbincangan antara Papa dengan Jerome yang berlangsung selama makan siang. Bahkan, Mama sesekali ikut dalam perbincangan. Tidak menyangka jika Jerome memang pintar dalam menjawab semua pertanyaan Papa dan mengikuti alur perbincangan itu.

Sudah lama sekali rasanya tidak melihat Papa bercengkerama dengan teman pria yang dibawa Luna ke rumah. Lagi pula, kapan Luna pernah membawa pria yang dikenalkan sebagai kekasih? Kebanyakan adalah teman baiknya yang bernama Andreas, tapi sudah mutasi kerja di Sydney, atau Jed yang sudah sibuk dengan pekerjaannya di luar kota.

"Ngomong-ngomong, kamu sama Luna udah kenal berapa lama, Nak Jerome?" tanya Mama saat sesi makan dessert.

Luna hendak menjawab, tapi Jerome sudah lebih dulu bersuara.

"Belum lama, Tante," jawab Jerome cepat.

"Belum lama maksudnya gimana? Sebulan?" tanya Mama.

"Nggak selama itu," jawab Jerome lagi.

Mata Mama melebar kaget, lalu melirik pada Luna dengan tajam. "Kalau nggak sampe sebulan, gimana ceritanya kalian pacaran? Nggak mungkin kan kalau baru kenal terus langsung jadian?"

"Bisa kok, Tan. Contohnya adalah kami," jawab Jerome sambil menoleh pada Luna dan menyeringai lebar.

Luna menatap Jerome dengan jenuh, tapi kembali menoleh pada Mama yang sudah mengeluarkan celetukan yang sukses membuatnya mati kutu.

"Luna nggak pernah percaya tentang love at the first sight. Baginya, itu cuma bullshit," ucap Mama.

"Mama!" tegur Luna.

"Kenapa? Emang bener kok kalau kamu nggak percaya soal itu. Kenal aja belom, masa udah suka, apalagi cinta. Orang tuh kenalan dulu, baru pacaran setelah udah yakin. Gitu kan yang biasa kamu omongin ke Mama?" balas Mama lantang.

Astaga! Harus banget dirapalin kayak gitu sekarang? batin Luna kesal. Tiba-tiba, Jerome terkekeh sambil mengacak rambut Luna dengan santai dan menatap Mama dengan ramah.

"Luna emang gitu, Tan. Dia juga nggak mau sama saya, tapi karena saya orangnya pemaksa, jadi dia mau terima saya," ujar Jerome.

"Jadi kamu maksain anak saya supaya mau jadi pacar kamu?" tuduh Mama.

"Iya, saya yang maksa," balas Jerome sambil mengangguk. "Meski belum terlalu kenal, tapi kita masih berusaha untuk saling mengenal. Sebenarnya, pendekatan juga bisa dibilang proses pengenalan, tapi daripada dianggap gantungin hubungan, makanya dikasih istilah pacaran. Biar terkesan punya status, Tan."

Luna menahan napas mendengar ucapan Jerome yang membuat Mama bungkam sambil menatapnya diam. Meski ucapan itu dilayangkan dengan santai dan tenang, tapi ekspresi Jerome begitu serius. Hening, tidak ada suara selama beberapa detik di ruang makan, sampai akhirnya dehaman Papa membuat semua berpaling padanya.

"Sudah, Ma, biar mereka jalanin dulu aja prosesnya. Kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mengingatkan, bukan memaksakan kehendak," kata Papa.

"Tapi Luna udah bukan anak-anak lagi, Pa," balas Mama.

"Justru karena bukan anak-anak, Luna bisa menjaga diri dan hati dengan sangat baik. Bukan begitu, Luna?" ucap Papa yang langsung diangguki kepala oleh Luna.

"Pada intinya, Mama ingin memastikan saja, Pa," ujar Mama lagi.

"Papa mengerti," sahut Papa yang kini menoleh pada Jerome. "Jerome, mungkin Luna sudah menjelaskan alasan kami mengundang kamu kemari."

"Iya, Om," balas Jerome kalem.

"Sebagai orangtua, kami punya rasa cemas, bukan nggak percaya sama anak sendiri. Tapi umur kan nggak bisa menunggu, karena Luna sudah saatnya berkeluarga. Apa kamu sudah punya rencana untuk urusan kedepannya? Senggaknya, serius untuk menjalani hubungan," lanjut Papa yang membuat kepala Luna terasa pening.

Jerome tidak langsung membalas. Dia tampak terdiam cukup lama, lalu menoleh pada Luna dengan satu alis terangkat, dan tangan yang sudah menggenggam tangan Luna. Jika itu hanya untuk pertunjukan, Jerome patut diberi penghargaan sebagai orang yang pandai bermain peran. Seperti yang pernah diucapkannya, I love playing role.

"Intinya, aku bukannya nggak ada usaha untuk buka hati, Pa, Ma. Aku tetap harus hati-hati dalam memilih, dan nggak bisa asal pilih. Aku nggak mau gagal lagi. Kesalahan yang udah Luna alami adalah pelajaran, bukan untuk diulangi. Jadi, tolong dimengerti," ucap Luna sambil menatap Papa dan Mama bergantian.

"Kalau boleh komentar, kayaknya Papa sama Mama terlalu ekstrim deh. Kak Luna itu bukan cewek yang oke, apalagi cantik. Masih bagus ada yang mau, pake dikasih ultimatum. Yang ada malah kabur nanti," celetuk Leon yang langsung mendapat jitakan di kepala oleh Mama.

Luna berdecak kesal pada Leon yang sama sekali tidak bisa melihat keadaan. Rasa kesalnya bertambah saat Jerome tertawa pelan mendengar ejekan Leon padanya.

"Saya tahu kalau Om dan Tante kuatir, dan itu karena kalian sayang Luna. Sebelum ke sini, saya udah pikir panjang, dan sangat yakin kalau akan mendapat pertanyaan dari Om dan Tante. Saat ini, saya memang belum bisa janjiin apa-apa, tapi saya jamin kalau Luna bakalan bahagia sama saya," ucap Jerome dengan penuh percaya diri.

Luna melongo tidak percaya dengan apa yang diucapkan Jerome. Sebaliknya, Papa, Mama, dan Leon tampak tertegun, mungkin terlena oleh ucapan manis yang mengandung racun dari Jerome. Ini tidak bisa dibiarkan, batin Luna waspada.

Spontan, Luna beranjak berdiri dan semuanya menatap ke arahnya.

"Ada apa, Luna?" tanya Papa.

"Makan siang kan udah kelar, kalau gitu aku jalan dulu," jawab Luna sambil menarik Jerome agar berdiri.

Meski terlihat bingung, tapi Jerome menuruti keinginan Luna dengan berdiri dan mengikutinya.

"Jalan kemana?" tanya Mama bingung.

"Malam mingguan," jawab Luna cepat.

"Pacaran?" tanya Mama lagi.

Luna mendengus saat bisa mendengar Jerome terkekeh geli mendengar pertanyaan Mama. Tujuannya membawa Jerome adalah agar orangtuanya tidak melancarkan niat perjodohan mereka, dan itu sudah berhasil. Saatnya membawa Jerome pergi dari situ.

"Hati-hati, pulangnya jangan malam-malam," seru Papa saat Luna sudah mencapai pintu.

Tidak menyahut atau membalas, melainkan Luna semakin mempercepat langkahnya. Berdecak pelan, Luna berbalik untuk menatap Jerome yang masih memamerkan cengiran yang terlalu menyebalkan untuk terus dipasang di wajahnya.

"Tunggu aja di mobil, gue ambil tas dulu," ujar Luna dan segera bergegas untuk masuk kembali ke rumah, mengabaikan pertanyaan Mama dari ruang makan, dan menuju kamarnya untuk mengambil tas.

Setelah selesai, Luna segera menyusul Jerome yang sudah berada di dalam mobil dan menyalakan mesin. Pria itu menopang kepala dengan satu tangan sambil menatap Luna yang sedang masuk dan duduk di kursi sampingnya.

"Halo, Pacar, mau malam mingguan kemana?" tanya Jerome sumringah.

"Nggak ada malam mingguan. Lu turunin gue di kafe depan, gue mau kabur ke rumah temen aja sampe malam," jawab Luna sambil menutup pintu dan memasang sabuk pengaman.

"Udah punya pacar, buat apa kabur ke rumah temen? Mendingan ke rumah pacar," balas Jerome geli.

"Udah cuma ada kita berdua, Jer. Jadi nggak usah terlalu totalitas buat jadi pacar di balik layar," sahut Luna ketus sambil menoleh dan tersentak karena Jerome sudah menarik tangannya untuk mendekat.

"Gue nggak suka bohong, apalagi bohongin orangtua," ucap Jerome serius.

"Gue..."

"Sesuai dengan konfirmasi yang bokap lu inginkan, juga omongan yang udah gue keluarkan, jadi lu nggak bisa ngapa-ngapain kecuali setuju," lanjut Jerome.

"Maksud lu itu apa sih?" hardik Luna tidak suka.

Cengkeraman di tangan mengerat, bersamaan dengan kedua kening yang diadukan oleh Jerome. "Kata bokap lu, senggaknya kita serius jalanin hubungan, dan gue yang berani jamin kalau lu bakalan bahagia sama gue."

"Apa?" seru Luna kaget.

"Setuju atau nggak, saat ini kita udah pacaran."

"Kesepakatan kita adalah FWB, kan?"

"Sama aja. Pendekatan juga benefit, pengenalan juga benefit, pacaran apalagi. Toh masih sama-sama teman biasa, bukan teman hidup."

"Gue nggak niat bercanda, Jer!"

"Sama! Kalau gitu, kita sepakat!"

Kemudian, Jerome segera memiringkan kepala untuk memberi ciuman yang begitu dalam pada bibir Luna. Hendak menjauh, tapi satu tangan Jerome yang bebas segera menangkup rahang Luna untuk menahannya, mendongakkan sedikit untuk memperdalam ciuman dengan hisapan keras.

"Congratulations, Luna. You're now a quarry into my sanctuary. Lets get mud and slay," ucap Jerome setelah melepaskan ciumannya.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Aku akan break selama seminggu or dua minggu karena ada urusan.
More or less ya 😂

Mudah2an kalian bisa menyukai lapak ini sama seperti aku. 😂
Agak sedikit berhati2 karena takut bikin yang bersangkutan tersinggung, tapi so far masih oke.

Kemungkinan aku akan kasih tahu totalan semua narasumber, baik dari aplikasi atau diluar aplikasi.
Siap2 ya, Chandra dan Babon versi real akan aku input juga di sana meski diblur.

Dimana kak? Instagram lah.
IG @shiwenliu untuk pantengin muka2 blur yang senggaknya lumayan dapet bayangan dari mereka.
Jangan sampe oleng sama dua bule yang terselip di sana ya. 🙃

I purple you 💜


07.02.21 (23.00 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top