Kita malam mingguan bareng Jerome.
Jerome tidak henti-hentinya tersenyum melihat Luna yang terus merengut dan menggerutu dalam suara pelan tapi masih bisa didengar olehnya. Jujur saja, basa basi bukanlah kesukaannya, tapi dengan Luna, sepertinya basa basi yang dilakukan terasa menyenangkan.
Dia sangat tahu jika senyumannya membuat Luna semakin tidak senang, namun itu bukan disengaja. Jerome tersenyum karena rasa senang yang dirasakan saat bersama dengan Luna. Lucu, bisa dibilang cukup konyol karena Jerome seperti sudah mengenal Luna sejak lama.
“Jadi, lu terima tawaran gue karena udah capek ditanyain soal pasangan sama keluarga?” tanya Jerome kemudian.
Luna mendengus pelan, lalu menganggukkan kepala. Masih enggan melihatnya karena sibuk menunduk untuk memainkan sedotan pada minumannya. Menyingkir ke sebuah kafe yang berada di sebuah mall, keduanya melanjutkan obrolan di sana.
“Kalau misalnya keluarga lu nuntut lebih gimana?” tanya Jerome lagi, dan kali ini berhasil membuat Luna mengangkat wajah untuk menatapnya.
“Maksud lu?” tanyanya dengan kening berkerut.
Jerome hanya tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. “Really? Lu nggak pake pikir panjang sebelum mutusin sesuatu? Umur berapa sih? 17 atau 20?”
“Kenapa jadi nanya umur?” tanya Luna ketus.
“Hanya karena lu capek ditanyain soal pasangan, lantas lu terima tawaran gue buat jadi FWB. Terus, misalkan gue datang ke rumah dan kabulin permintaan lu untuk jadi pacar bohongan biar mereka nggak nguberin soal pacar, apa lu nggak mikir soal mereka yang akan nuntut keseriusan gue?” balas Jerome.
“Seperti?” tanya Luna dengan ekspresi bingung.
“Seperti tanya kapan nikah? Atau mau dibawa kemana hubungan ini? Atau hal lainnya yang bakalan jadi poin standart orangtua kalau ketemu pacar dari anaknya,” jawab Jerome lugas.
Luna mengerang sambil menutup wajah dengan dua tangan, tampak begitu frustrasi. Terkekeh, Jerome justru menikmati pemandangan yang ada di depannya. Luna begitu ekspresif, bahkan membuat aksi yang tak terduga. Perlu diakui Jerome jika dirinya masih belum bisa membaca Luna, karena wanita itu termasuk dalam kategori tersulit.
“Lu ngomong gitu karena menolak, kan?” celetuk Luna dengan nada menuduh.
Lagi, Jerome terkekeh sambil terus menatap Luna dengan ekspresi tidak percaya. “I love playing role, Baby. Kapan pun lu butuh gue untuk maju ketemu orangtua lu, gue selalu siap.”
Mata Luna menyipit tajam. “Are you that easy?”
“I’m not easy, but I’m always ready to be your toy,” jawab Jerome senang.
Dengusan napas kasar Luna menjadi balasan, tampak semakin kesal dan itu menambah kesenangan Jerome saat ini. Meski masih ada beberapa pertemuan dengan klien, juga pesan singkat Nio yang tidak henti-hentinya menambah jumlah notifikasi dalam ponsel yang sudah diatur dalam keadaan silent, tapi itu tidak membuat Jerome perlu menyelesaikan pertemuan tanpa rencana seperti ini.
“Gini aja, gue punya usul,” putus Jerome kemudian.
Luna langsung mendelik curiga padanya. “Bukannya mau nuduh, tapi feeling gue langsung nggak enak sebelum lu ngomong.”
“It’s okay, gue nggak masalah. Tiap orang perlu punya radar waspada, dan biasanya orang suka salah tangkap sinyal,” balas Jerome.
“Jadi, bener feeling gue soal lu yang bakalan nggak bener kasih usulnya?” sahut Luna.
“Sudah seharusnya lu takut sama gue, atau kalau perlu menjauh,” ucap Jerome serius.
“Why?” Luna mengerjap cepat sambil menatapnya dengan penuh penilaian.
Jerome tersenyum saat melihat ekspresi wajah Luna yang berubah menjadi sedikit cemas, mungkin sudah mulai berpikir logis untuk berhubungan dengannya.
“Gue bukan orang baik-baik,” ujar Jerome santai.
“Lu punya niat jahat sama gue?” tanya Luna ketus.
“Gue cuma punya satu keinginan sama lu,” jawab Jerome.
“Apaan?”
“Have fun, of course."
Senyuman Jerome semakin melebar saat melihat ekspresi Luna yang tampak tertegun, lalu berdecak setelahnya. Sepertinya, Luna benar-benar tidak menyukai senyumannya.
"Gini aja, lebih baik balik ke rencana semula. Lu ikut gue ke rumah buat temuin bokap dan nyokap gue. Masalah obrolan atau pertanyaan, biar gue yang handle," ucap Luna lugas.
Satu alis Jerome terangkat. "Lu masih mau gue yang temuin orangtua lu setelah gue terus terang kayak tadi?"
Luna mengangkat bahu dengan santai. "Soal lu yang bukan orang baik-baik? Heck! Hari gini, kalau ada yang ngaku baik, gue juga sangsi. Tapi ada yang ngaku kayak lu, itu jarang. Suruh gue takut? Selama lu bukan Tuhan, gue nggak perlu takut. Masalah lu bakalan jadi apa nantinya, biar gue yang nilai meski lu berhak ngomong tentang diri lu sendiri kayak gitu."
Senyuman Jerome lenyap, dan menatap Luna tidak percaya. Apa dia sudah gila? batin Jerome heran.
"Lu yakin?" tanya Jerome untuk memastikan.
"Kenapa? Lu berubah pikiran?" tanya Luna balik.
Astaga! Jerome mengusap wajah dengan rasa frustrasi yang tiba-tiba menyergap. Entah siapa yang mempermainkan dan sedang bermain dengan siapa saat ini, Jerome menjadi kebingungan.
"See? Lu cuma berani ngomong doang. Giliran dijabanin, nggak berani. Cemen!" ejek Luna sambil mengambil gelas dan menyedot lime juice-nya.
"Jadi menurut lu, gue cuma berani ngomong doang?" balas Jerome sambil mengangkat kedua alisnya.
"Udahlah, nggak usah bahas. Sekarang gue tanya, lu bersedia atau nggak?"
"Gue udah bilang kalau nggak menolak."
"Good! Kalau gitu, lu ada waktu luang sekarang?"
"Emangnya kenapa? Lu mau ngamar sama gue?"
"Otaknya ya! Perlu banget digoreng kayaknya!"
Jerome tertawa. "Otak gue memang perlu bantuan dari lu buat digoreng."
Luna memutar bola mata dan beranjak berdiri. Jerome spontan ikut beranjak sambil tersenyum. Suatu hal yang spontan dilakukan setiap kali Luna melakukan pergerakan, maka dirinya ikut mengimbangi.
"Kalau lu bersedia, maka lu harus ikut gue untuk cari outfit yang pantas untuk dipake saat ketemu mereka," ujar Luna sambil berjalan keluar diikuti Jerome.
"What's wrong with my outfit?" tanya Jerome sambil menunduk untuk melihat pakaian semi formal yang sepertinya tidak menjadi masalah.
Langkah Luna berhenti dan berbalik untuk menghadap Jerome saat mereka sudah berada di luar kafe. Tatapan Luna turun pada kemeja bodyfit berwarna biru muda dengan lengan yang digulung hingga batas siku, celana slimfit berwarna khaki yang membalut kaki panjangnya, dan sling bag kesukaannya.
"Pake bajunya yang sopan. Nyokap gue bisa pingsan kalau liat tato lu sampe penuh gitu. Udah gitu, nggak usah sok seksi dengan pake-pake baju yang ngepas gitu deh. Nggak perlu dipamerin, gue tahu lu berotot," ujar Luna dengan tatapan menilai.
Jerome tersenyum miring. "Lu yakin soal gue yang berotot?"
Luna menghela napas lelah dan menatapnya jenuh. "Bisa nggak sih kalau ngomong itu nggak terus-terusan disambungin ke soal itu?"
"Emangnya lu mau gue pake baju kayak gimana?" tanya Jerome tertawa sambil mengarahkan jalan agar mereka tidak menarik perhatian dengan mengobrol di depan kafe.
"Sebisa mungkin yang bisa tutupin tato lu," jawab Luna sambil mengambil ponsel dari tasnya.
"Don't you see? Tato gue penuh di dua tangan. Juga di dada, punggung, pinggang, deket bokong juga ada. Dan baru-baru ini, gue bikin tato di paha," cerita Jerome yang tidak ditanggapi Luna karena sibuk dengan ponselnya.
"Hm," respon Luna sambil mengetik cepat di ponsel.
"Kalau ngomong terus dicuekin tuh nggak enak banget loh rasanya. Kayak nanggung gitu," sindir Jerome.
Tatapan Luna terangkat dan menoleh pada Jerome tanpa ekspresi. "Sori, ada urusan kerjaan. Tadi lu ngomong apa?"
Jerome menggeleng saja. "Nggak apa-apa. Barusan gue ngomong dalam hati."
"Oh, okay," balas Luna sambil memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu segera melingkari lengan Jerome untuk berjalan bersisian.
Alis Jerome terangkat menerima sikap Luna yang tiba-tiba terkesan akrab dan santai. "Selain sama gue, udah ada berapa cowok yang lu mainin kayak gini?"
"Huh? Mainin?" tanya Luna bingung.
"Kayak gini. Bisa kesel, bisa judes, bisa mendadak baik kayak gini," jawab Jerome.
Luna menggeleng. "Gue cuma dapet tiga cowok dari aplikasi. Salah satunya adalah lu."
"Trus, dua cowok yang lain dikemanain?"
"Yang satu bule, yang satunya lagi cowok orang."
"Dan gue satu-satunya harapan yang bisa lu pake? Wah, saya merasa sangat terhormat sekali, Ibu Luna," balas Jerome bangga.
"Nggak usah merasa terhormat, Pak Jerome. Kalau nggak karena terpaksa, saya juga nggak mau," sahut Luna santai.
Jerome tertawa. "Kenapa sih harus merasa terpaksa? Lu harusnya bersyukur kalau masih punya orangtua yang peduli dan sayang sama anaknya."
"Begitu menurut lu?"
"Iya."
"Termasuk nguberin anaknya buat nikah karena kepentok umur?
"Ambil sisi positifnya aja, kalau mereka nggak mau lu sampe harus sendirian pas tua nanti. Mereka juga pengen melihat anaknya jadi pengantin. Who knows? There a lot of reasons to be positive."
"What about you, Jer? Apa keluarga juga nguberin lu untuk cepet nikah karena umur yang udah reach 30?"
Pertanyaan Luna membuat Jerome terdiam cukup lama, mencoba memikirkan jawaban yang tepat, tapi sepertinya tidak ada jawaban yang bisa diberikan karena sepertinya bukan saat yang tepat.
"Buat gue, kebahagiaan keluarga adalah nomor satu," jawab Jerome akhirnya.
"Holy crap! Memang benar istilah don't judge a book by its cover. Packaging lu boleh kayak bajingan, tapi isiannya bisa jadi kesayangan," gumam Luna dengan nada tidak percaya.
Jerome terkekeh geli melihat ekspresi Luna. "Makanya, lu yakin nggak mau cobain gue? Nagih loh."
"Cobain apanya?" tanya Luna.
"Apa aja yang bisa dicoba. Bibir kan udah, gimana kalau coba agak turunan sedikit?"
"Nggak bisa naikan dikit dulu sebelum turun?"
"Boleh aja, sih. Tapi, main di gigi yah, sebelum ngegas."
Baik Luna dan Jerome sama-sama terkekeh dengan obrolan konyol barusan. Mereka masih mengobrol apa saja sambil mengitari mall itu, dan memasuki sebuah toko pakaian ternama.
"Lu serius mau gue pake kemeja putih sama celana item? Maksudnya gimana? Kesannya bukan ngelamar anak orang, tapi ngelamar jadi trainee di outsourcing?" pekik Jerome sambil melihat pakaian yang dipilih Luna dengan ekspresi jijik.
"Ini tuh masih on point kok modelnya. Gue yakin kalau lu pake, jadinya kayak manekin berjalan deh. Bagus!" ucap Luna meyakinkan.
"Nggak mau!" tolak Jerome tegas. "Dengan datengin keluarga lu aja udah pake bohong, kenapa gue harus pake baju yang bukan gaya gue?"
"Itu artinya kalau mau bohong, jangan setengah-setengah. Totalitas dong, Jer," timpal Luna ketus.
"Buat gue, yang namanya bohong itu nggak ada yang full atau setengah. Emangnya martabak? Biar gimana pun, yang namanya orangtua harus dihormati, meski nyebelin atau bikin emosi," sahut Jerome tegas.
Baginya, orangtua adalah sosok yang harus dihargai selain diri sendiri, dan menghormati mereka adalah kewajiban. Dia tidak peduli jika orang lain akan meragukan pemikirannya, karena masa bodo dengan semua itu.
"You don't know them, Jer. Gue kepengen mereka yakin kalau lu beneran pacar gue. Kalau lu pake baju norak kayak jeans belel atau atasan ribet, gue yakin kalau mereka bakalan usir sebelum lu sempet lewatin pagar rumah," ucap Luna menjelaskan.
Melihat kesungguhan Luna, Jerome terdiam selama beberapa saat, lalu kemudian menyeringai licik setelah mendapatkan sebuah ide cemerlang.
"Okay, gue akan cobain baju itu," putus Jerome yang berhasil membuat Luna sumringah.
"Serius? Nih, ambil. Cobain dulu cocok atau nggak, sekalian cocokin ukurannya," seru Luna.
"Dengan syarat!" tambah Jerome yang langsung membuat Luna mengerang kesal.
"Syarat apa lagi sih, Jer? Lu bener-bener suka pamrih, padahal belum bantuin orang," decak Luna kesal.
"Namanya juga FWB, kan emang carinya benefit," balas Jerome enteng.
Luna mendesah kecewa sambil menatap Jerome sinis. "Syarat apaan, sih?"
Tanpa menjawab, Jerome segera mencengkeram tangan Luna untuk mengikutinya dan berhenti di fitting room, memilih posisi paling ujung.
"Heh? Lu ngapain tarik gue ke sini? Nggak mau!" seru Luna yang hendak berlalu, tapi Jerome sudah lebih dulu menariknya masuk ke dalam bilik fitting room.
Setelah mengunci pintu, Jerome berbalik untuk memberi seringaian lebar saat melihat Luna tampak dingin tapi gelisah.
"Mau lu tuh apa, sih?" decak Luna.
Sambil melebarkan seringaian disertai kedipan mata, Jerome bersuara dengan suara berbisik dalam posisi sudah membungkuk untuk menatap Luna lebih dekat.
"Maunya gue adalah lu bantuin gue untuk cobain baju yang lu pilih, termasuk copotin baju yang lagi gue pake sekarang. Itu syarat gue."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Aku nulis ini dengan senang hati.
Happy Weekend. 💜
Berikut adalah obrolan nyeleneh dari Will yang bikin capek ati.
Aku ladenin dia secapek Luna ladenin Jerome. 😂
Jadi, udah bisa bayangin kalau beliau memang Jerome, kan? 🙃
06.02.21 (21.00 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top