Part. 6 - Confirm and observe
I got the pattern here.
Jerome will always accompany your weekend. 🙃
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Daritadi sibuk sama hape terus, nungguin chat dari siapa?" tanya Nio yang langsung membuat tatapan Jerome terangkat dari ponselnya.
"Ada deh," jawab Jerome sambil memberi cengiran lebar.
Satu alis Nio terangkat, tampak tidak percaya. "Dari tampang tolol lu, kayaknya lagi ada inceran. Siapa lagi kali ini? Anaknya klien besar? Atau bini mudanya?"
Pertanyaan Nio membuat Jerome tergelak sambil menggelengkan kepala. "Nggak lah. Gue nggak minat main pinggiran kalau nggak kepepet. Ini boleh dapet dari aplikasi."
Mata Nio melebar kaget. "Aplikasi? Madam Rose?"
Jerome mengangguk.
"Damn! Emang masih zaman mainin aplikasi gituan? Bukannya udah lama banget lu hapus aplikasi itu karena males?" tanya Nio tidak percaya.
"Kebetulan, sekarang gue lagi rajin, makanya main lagi. Why?" tanya Jerome balik.
"Sekedar saran, kalau ketemuan jangan ngajak gue, nanti ceweknya naksir gue," jawab Nio ketus.
"Hanya karena lu dapet sad ending lewat aplikasi, nggak berarti gue bakalan punya ending yang sama kayak lu. Punya gue lebih seru," balas Jerome sambil menyeringai senang melihat ekspresi Nio yang semakin kesal.
Jerome tahu jika Nio memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan lewat aplikasi. Well, sebenarnya bukan kesalahan dari aplikasi, melainkan dari dirinya sendiri. Saat Nio mendapatkan match-nya, Nio mengajak teman dekatnya untuk bertemu dengan wanita itu. Long story short, bukannya Nio yang klik, justru match dan temannya yang klik.
Menurut Jerome, mereka berdua tidak salah, yang salah adalah Nio. Jika ingin bertemu dengan match, kenapa tidak sendiri saja? Kenapa harus mengajak teman? Selain dianggap kurang gentle, Nio sudah harus mengantisipasi resiko seperti itu.
"Coba lihat! Oke gak match lu?" tanya Nio yang hendak melihat ponsel, tapi Jerome sudah memasukkannya ke dalam saku dengan cepat.
"Belajar dari pengalaman lu, gue nggak boleh kasih liat inceran sebelum jadian," ujar Jerome geli.
"Why? Merasa insecure karena takut gue lebih oke dari lu?" balas Nio ketus.
"Of course, not. Buat apa gue insecure sama lu yang pernah kecolongan? Anggap aja, gue memang pinter dan sepelit itu untuk nggak berbagi sama lu," sahut Jerome yang membuat Nio semakin kesal.
Tertawa pelan, Jerome mengambil gelas dan meneguk air putihnya. Bertempat di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor klien yang baru saja disambangi mereka, Jerome dan Nio menikmati makan siang di sana.
"So, konfirmasi dari Build Star udah fix, minggu depan kita bisa meeting bareng konsultan sipil untuk perencanaan," ujar Nio kemudian.
"Revisi gambar udah kelar?" tanya Jerome kaget.
Nio mengangguk. "Udahlah. Dikebutin sama Edo, sekalian punya project AB."
"Wuih, kerja rodi tuh anak?"
"Biasa, mau cuti jadinya main borongan."
"Cuti? Pulang kampung?"
"Yep! Anak bininya kan ada di Manado. Udah gitu, bentar lagi bininya mau lahiran anak kedua."
Jerome menggelengkan kepala mendengar berita itu. "Kenapa nggak angkut anak bininya tinggal di Jakarta aja sih? Ribet amat kalau sampai harus bolak balik Jakarta – Manado tiap bulan."
"Buat lu ribet, tapi buat Edo nggak tuh. Dia fine-fine aja selama ini," celetuk Nio.
"Kayaknya repot banget yah jadi cowok, harus yang pontang panting kesana kemari kalau udah jadi laki orang. Kasian," sahut Jerome serius.
"Buat lu yang masih belum mikir serius, itu adalah merepotkan. Bagi yang udah serius, itu adalah komitmen, juga resiko yang harus diambil."
Jerome berdecak malas dan menatap Nio jenuh. "Gue tuh ilfil banget kalau speech mode lu mulai nyala deh."
Nio mengangkat bahu dengan santai. "Cuma pengen koreksi, kali aja lu nangkep maksud gue."
"Gue nangkep banget apa yang lu ngomong selama ini kok."
"Tapi nggak pernah dijalanin."
"Nggak ada ketentuan yang harus gue jalanin hanya karena mulut lu berhak buat ngomongin gue. Sama halnya kek lu yang gue kasih bebas ngomong apa aja, demikian juga lu yang harus kasih bebas untuk gue mau ngapain aja."
"Contohnya?"
"Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan misalnya."
Jerome tergelak saat melihat Nio berdecak kesal sambil melempar serbet yang sudah berhasil ditangkapnya dengan mudah.
"Lu itu bener-bener suka..." ucapan Nio berhenti saat tatapannya tidak sengaja melirik ke arah belakang Jerome.
"Kenapa?" tanya Jerome dengan kening berkerut, lalu hendak menoleh ke belakang, tapi Nio sudah lebih dulu menahannya dengan mencengkeram tangannya yang ada di meja sehingga dia kembali menatap Nio.
"Apa sih?" decaknya.
"Jangan lihat. Kita jalan aja," ujar Nio dengan ekspresi tidak suka.
"Heh? Pesenan tambahan gue belum dikeluarin," seru Jerome bingung.
"Nggak usah makan! Gue..."
"Kenapa sih?"
"Ada cewek," jawab Nio pelan.
"Terus kenapa? Ceweknya nggak punya kaki?" balas Jerome kesal.
"Dia adalah match yang jadian sama temen gue. Malesin banget pokoknya," ujar Nio.
"Yang mana?" tanya Jerome sambil menoleh ke belakang.
"Yang pake baju salem," jawab Nio kemudian.
Berada di sebuah meja dekat jendela, berselisih kira-kira dua meja darinya, Jerome bisa melihat dua orang wanita sedang bercengkerama sambil tertawa di sana. Memang terdapat seorang wanita dengan memakai atasan warna salem dipadukan rok berwarna hitam, tapi bukan dia yang dilihat Jerome saat ini.
Sorot mata Jerome menangkap sosok yang sedang duduk di depan wanita berbaju salem itu. Dengan memakai vintage dress berwarna lilac, rambut yang diikat dalam satu ikatan sederhana, dan kacamata sialan yang bertengger di sana. Itu Luna, wanita yang belum membalas chat-nya sejak semalam.
"Heh! Kenapa liatin ampe sebegitunya? Lu naksir sama Marcella?" hardik Nio yang langsung membuat Jerome kembali menatap Nio.
"Jadi, nama cewek lu itu Marcella?" tanya Jerome sumringah.
Nio mendengus sambil menatap Jerome curiga. "See? Bahkan lu juga tertarik sama dia."
Jerome menggeleng. "Gue malah lebih suka temennya."
"What?" pekik Nio sambil melirik ke belakang dan menatap Luna dengan penuh penilaian. "You got to be kidding me. Her? Seriously?"
"Why?" tanya Jerome sambil terkekeh.
"Itu bukan mainan lu yang kayak biasanya, Anjir! Nggak kasian sama anak orang, hah? Bukannya tobat, malah makin murtad!" desis Nio galak.
"Lu nggak bisa ngomong kayak gitu. Keliatannya aja cupu dan kasian, tapi nggak gitu," ujar Jerome berusaha menjelaskan.
"Sebelum berhasil dapetin, omongan lu juga kayak gitu. Buaya! Udahlah, Jer, insaf aja. Udah mau akhir zaman, jangan kerjain orang kalau emang nggak bisa jadi bener. Mau jadi brengsek, silakan, tapi nggak usah ngajak-ngajak!"
Jerome memutar bola mata dan menggelengkan kepala dengan sikap Nio yang terlalu berlebihan padanya. Jika sudah seperti itu, Jerome enggan untuk menjelaskan lebih banyak, selain menoleh ke belakang untuk melihat Luna yang sedang menyendok makanannya dan mengunyah dengan lahap.
"Dia nggak kayak gitu," gumam Jerome pelan. "Menurut gue, dia nggak mudah, tapi bukan berarti sulit."
"Udahlah, Jer. Lu... heh? Lu mau kemana?" seru Nio kaget saat Jerome sudah beranjak berdiri.
"Lu mau samperin Marcella, gak?" tanya Jerome ceria.
"Nggak!" tolak Nio mentah-mentah.
"Oke! Gue mau samperin temennya," putus Jerome dan langsung bergerak untuk menuju ke meja yang ditempati Luna tanpa mempedulikan panggilan Nio.
Saat dia tiba di sana, Luna dan temannya yang bernama Marcella itu spontan menoleh padanya dengan ekspresi kaget yang sama.
"LU! Ngapain di sini?!" seru Luna sambil menunjuknya dengan mata melebar kaget.
Seringaian Jerome melebar melihat betapa lucunya ekspresi Luna saat ini. "Lu nggak bales chat gue sih, makanya gue ke sini."
Mata Luna semakin melebar dan bibirnya terbuka. "No fucking way!"
"Why?" tanya Jerome sumringah.
"Lu... nggak pasang apa-apa di badan atau tas gue semalem, kan?" tanya Luna sambil menggeledah tubuhnya sendiri, lalu berbalik untuk memeriksa tasnya.
Tertawa keras, Jerome menangkup perutnya karena begitu geli melihat aksi kaget Luna yang menggemaskan. Kemudian, Luna berbalik sambil menatapnya dengan tatapan menuduh.
"Lu kerjain gue?" desisnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Lu yang asumsi sendiri, kenapa harus marah sama gue?" balas Jerome santai, lalu menoleh pada Marcella yang sedaritadi melihatnya dengan tatapan bingung. "Halo, nama lu Marcella?"
Kini, orang kaget bertambah satu. Marcella tampak kaget dan melirik pada Luna dengan ekspresi bertanya, lalu kembali menatap Jerome.
"Lu tahu nama gue darimana? Kayaknya kita nggak pernah ketemu," tanya Marcella heran.
"Atau jangan-jangan, lu cari tahu tentang gue sampai sejauh ini?" tuduh Luna.
Menikmati kekagetan dan kesan tidak suka dari dua wanita itu, Jerome menyilangkan tangan sambil menatap mereka bergantian selama beberapa saat, lalu tersenyum lebar saat keduanya berdecak kesal.
"Kenalan darimana sih, Lun? Begini amat tampilannya," cibir Marcella blak-blakan.
Luna menghela napas. "Dari aplikasi yang lu referensiin itu."
Jerome terkekeh melihat Luna yang menatapnya sambil merengut. Bibirnya yang menekuk cemberut itu membuat Jerome teringat dengan ciuman mereka. Cukup singkat, dalam, liar, namun berkesan. Masih tidak menyangka jika Luna memiliki teknik berciuman yang membuatnya sempat hilang akal.
"Jadi, gimana caranya lu bisa tahu gue ada di sini? Kalau mau bilang kebetulan, rasanya nggak mungkin karena lu bisa kenal temen gue juga," tanya Luna dengan penuh penekanan.
"Lu beneran mau tahu?" tanya Jerome dan Luna mengangguk.
Jerome bergerak untuk berdiri tepat di sisi kursi yang diduduki Luna, membuat wanita itu menoleh dan spontan mendongak saat Jerome sudah membungkuk untuk menyamakan posisi kepala. Ekspresi kebingungan Luna membuat Jerome tersenyum.
Tanpa ragu, Jerome memiringkan kepala, mempertemukan bibir keduanya dalam sebuah ciuman, dan mengisap keras bibir beraroma strawberry itu.
Tersentak, Luna hendak mendorong, tapi Jerome sudah lebih cepat untuk menahan tengkuk dan mencengkeram dua tangan Luna bersamaan. Menyesap, memagut, lalu memasukkan lidah untuk membuat ciuman itu menjadi sedikit lebih dramatis. Tidak lama, hanya sebentar, karena setelah itu, dia berhenti dan menarik diri.
"Gue pasang gps di lidah lu, yang artinya kalau ketemu, kita perlu info kehadiran, yaitu konfirmasi. Kayak barusan," ucap Jerome sambil menyeringai melihat wajah Luna yang memerah.
PLAK! Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kanan Jerome, dan itu dari Luna.
"Setelah konfirmasi, itu adalah balasan yang akan lu dapet, yaitu observasi. Kayak barusan!" desis Luna geram.
Mata Jerome melebar takjub, lalu menyunggingkan senyum setengah sebagai tanda bahwa dia sepenuhnya menyerah dalam kendali Luna sekarang.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Untuk ngadepin orang brengsek, kita harus bisa jadi brengsek juga.
Biar setara, selevel, dan sepaham. 🙃
Kata tiga 'suhu' yang mentoring selama riset di Tinder. 😂
Btw, kemarin ada yang tanya tentang bio aku di Tinder itu kek gimana.
Ini aku kasih liat bio selama 1-2 bulan pertama main di Tinder.
Dan ini adalah current bio yang ada di profilku di Tinder:
Asiknya tuh kalau ada yang bener2 baca bio, mereka start convo-nya semacam kek 'surrender' untuk dijadikan narasumber kek gini: 😂
Jadi, masih sanggup buat senang2?
Aku nggak akan nanggung2.
Kita ngegas terus pokoknya. 🙃
23.01.21 (14.50 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top