Part. 16 - Screwed Up
Hello, Kalian!
Aku tahu kalian rindu, tapi apa daya terlalu banyak drama di Duta 🙃
Aku kasih Jerome buat kalian.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Berada di bawah pancuran air hangat, Luna berkali-kali mengusap wajah dan menghela napas. Tidak ingin menyesali, tapi terus merutuki diri, Luna yakin jika dirinya masih sepenuhnya sadar dalam melakukan hal yang terjadi barusan. Bercinta dengan Jerome, heck!
Baru saja selesai mandi, dan berpikir untuk menikmati makan malam, tapi berakhir dengan menjadikan diri sebagai santapan. Luna memejamkan mata dengan erat saat mengingat hal itu, dan berdecak geram pada diri sendiri.
Kini, dia kembali untuk membersihkan diri, dengan harapan bahwa apa yang terjadi hanyalah mimpi buruk, dan semua itu terlupakan. Nyatanya? Semakin Luna menggosok tubuh, sentuhan dan ciuman Jerome semakin terasa seolah membakar kulitnya. Pening, juga tubuhnya terasa memanas, itulah yang dirasakan Luna saat ini.
Merasa sudah tidak bisa mampu menahan hawa panas yang mengerubungi tubuhnya, Luna mematikan shower dan segera meraih handuk untuk membungkus tubuhnya. Tiba-tiba saja, tubuhnya menggigil dan semakin tidak nyaman. Bodoh, rutuknya. Ini pasti karena kurangnya tidur dan memikirkan hal yang tidak perlu.
Begitu dia keluar dari kamar mandi, Luna melompat kaget karena sosok Jerome yang sudah berdiri menjulang tepat di depan pintu. Dengan hanya mengenakan training pants tanpa atasan, Jerome menatapnya dengan penuh penilaian sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku.
"Lama banget di dalam? Lu mau mati karena mandi pake air hangat selama itu?" tanya Jerome ketus.
"Bukan urusan lu," jawab Luna sambil hendak berjalan melewati Jerome, tapi tertahan karena tangan Jerome lebih cepat mencekal sikunya.
Ekspresi Jerome terlihat kaget, namun itu hanya terjadi sepersekian detik, karena dia sudah menyeret Luna menuju ke kamar dengan cepat.
"Heh, ngapain lu bawa gue ke sini?" seru Luna sambil berusaha menarik diri tapi tidak mampu karena Jerome jauh lebih kuat darinya.
"Badan lu panas, Anjir! Gue udah yakin kalau ada yang salah sama lu," desis Jerome geram, sambil menarik Luna untuk berdiri di hadapannya ketika sudah berada di dalam kamarnya, lalu melepas handuk yang membelit tubuh Luna untuk mengeringkan tubuh dengan cepat.
Kening Luna berkerut, tidak sempet melakukan apapun karena berusaha mencerna apa yang terjadi. Jerome mengurusnya seperti dirinya adalah anak kecil. Mengeringkan tubuh Luna dengan handuk, memakaikan sebuah kaos miliknya yang kebesaran di tubuh Luna, lalu mengeringkan rambut dengan pengering. Semua dilakukan dengan cepat dan terlatih, seolah Jerome sudah terbiasa mengurus orang lain selain diri sendiri.
"Udah berapa lama nggak dipake sampai harus jadi kampungan kayak gini? Abis nyampur, biasanya minta nambah, bukannya mendadak sakit, Lun. Kayak begini, lu udah bikin eksistensi gue jadi jelek," ucap Jerome dengan nada yang begitu datar, nyaris tanpa ekspresi.
"Dan juga, gue udah yakin kalau lu sakit sampe mendadak mau dipake kayak tadi," lanjut Jerome sambil mengarahkan tubuh Luna untuk bersandar di tumpukan dua bantal besar yang disusun di kepala ranjang.
"Mulut lu pengen banget gue robek yah, Jer? Nggak usah songong, karena gaya main lu kayak cowok gampangan yang maunya gratisan," sewot Luna sinis.
Jerome terkekeh. "Atau lu yang keenakan sampe merasa malu dengan kelamaan di kamar mandi?"
Luna berdecak saat Jerome tertawa geli di sana. Meski begitu, perasaan Luna menghangat saat menerima perlakuan Jerome yang begitu lembut dengan memakaikan selimut padanya. Seperti tadi, Jerome melakukan sesuatu yang membuat Luna bergeming dan hanya bisa memperhatikan.
Dia mengambil pengukur suhu dari dalam laci, mengukur suhu tubuh Luna dengan ekspresi serius, mengusap ringan kening Luna, lalu segera berjalan ke sisi kamar untuk mengambil sesuatu dari laci berupa obat penurun panas, juga sebotol air yang diletakkan di sana. Dengan telaten, Jerome memberikan obat pada Luna, memberinya minum, dan membaringkannya lagi.
"Gue belum minta maaf sama lu soal yang tadi. Harusnya, gue bisa lakuin itu di sini, atau tempat yang lebih proper," ujar Jerome saat sudah duduk di tepi ranjang, sambil menatap Luna dengan serius.
"It's okay. Kalau bisa pindah tempat, yang ada malah kentang. Lu nggak bakalan dapet karena gue udah nggak mood," balas Luna.
Jerome masih menatap Luna dengan serius, tampak memperhatikan wajah Luna dengan seksama, seolah memastikan jika dirinya baik-baik saja. Sorot matanya terlihat cemas, keningnya pun berkerut, dan tidak ada senyuman yang menyebalkan. Dalam ekspresi seperti itu, ada rasa tidak suka yang timbul dalam hati Luna. Dia merasa tidak mengenal Jerome saat ini.
"Gue terlalu kasar, ya? Ada yang sakit?" tanyanya pelan.
Luna menggeleng dan menatap Jerome bingung. "Lu lagi nggak jatuh atau kepalanya kena getok, kan? Kok lu bisa jadi baik gini?"
Jerome tertawa pelan dan menggeleng pelan. "Gue emang perhatian jadi orang, bahkan sampe ke ukuran bra dan panties pun, gue perhatian."
Luna memukul lengan Jerome dengan gemas saat pria itu kembali tertawa tanpa beban. Meski serius, tapi masih bisa melempar lelucon basi yang membuat Luna kesal.
"Tapi serius deh, lu kenapa? Ada yang sakit?" tanya Jerome kemudian.
Luna menggeleng. "Gue nggak tahu, cuma yang pasti, gue nggak merasa sakit."
"Lu nyesel abis main sama gue? Jujur aja, gue jadi merasa nggak enak saat ini," balas Jerome serius.
"Nggak enak? Ini yang lu lakuin tiap kali abis main sama cewek? Berlagak nggak enak, cuma supaya nggak terlibat drama lebih banyak, gitu?" tanya Luna dengan nada menuduh.
Jerome tersenyum hambar sambil menggeleng cepat. "Bahkan gue nggak peduli dengan apa yang dirasakan mereka. Sama-sama keluar, sama-sama enak, kenapa harus ribet dengan urusan tanya jawab begini?"
"Dan kenapa lu masih pake tanya jawab sekarang?" tanya Luna sengit.
"Gue juga nggak tahu. Yang gue tahu adalah gue nggak mau lu merasa menyesal, lalu membenci gue," jawab Jerome tanpa ragu.
"Lu... peduli sama perasaan gue?"
Jerome mengangguk sebagai balasan.
Luna tertegun dan menatap Jerome tidak percaya. Seumur hidupnya, tidak ada yang pernah mempedulikan perasaannya, meski dirinya sudah terlihat begitu sedih. Dituntut untuk mandiri sejak kecil, diharuskan untuk selalu kuat dalam menghadapi berbagai macam pencobaan hidup, dan selalu berjuang keras untuk mendapatkan keinginannya, walau hanya sebuah pulpen lucu.
Mendapati Jerome yang memastikan keadaannya dengan menunggu di depan pintu kamar mandi, merawatnya dengan cepat dan penuh perhatian, juga menanyakan perasaannya, adalah hal baru bagi Luna.
"Hey, are you okay? Kok jadi nangis?" seru Jerome kaget, dan langsung beringsut maju untuk memeluk Luna yang sudah terisak begitu saja.
Untuk kedua kalinya, Luna bersikap sentimentil di depan Jerome dengan menangis seperti ini. Entahlah. Bersama dengan pria itu, Luna tidak perlu menjadi orang lain. Luna hanya perlu menjadi diri sendiri, dan Jerome tidak akan menghakimi atau mempermasalahkannya, tapi justru bisa menerimanya dengan sangat baik.
"Gue nggak tahu, Jer. Yang pasti, gue nggak merasa sakit. Justru, gue lupa dengan rasa sakit itu, karena gue udah mati rasa," ucap Luna sambil terisak pelan.
Jerome menjauh tanpa mengurai pelukan, dan menatap Luna dengan ekspresi menilai. "Saat lu nggak bisa merasakan apa-apa, itu adalah rasa sakit lu yang sebenarnya. Just let it go, Luna. I'm here."
"Lu tahu, gak? Gue tuh benci banget kayak begini di depan lu," celetuk Luna sambil mengusap pipinya yang basah.
"Why? Karena gue bangsat, terus lu merasa nggak oke, gitu?" balas Jerome datar.
Tanpa ragu, Luna mengangguk, lalu terkekeh pelan. "Gue masih nggak percaya kalau bisa kayak gini di depan lu. Dan, lu juga yang lihat gue saat itu."
Jerome terus memperhatikan Luna dengan ekspresi yang lebih dalam dan serius, tampak tidak teralihkan seolah sedang membaca Luna.
"Apalagi, kita kenal di aplikasi, and we're totally a stranger," tambah Luna sambil tersenyum getir.
"So, what?" cetus Jerome dengan ketus. "Kenapa sih urusan kenalan dan siapa kita di awal harus terus disebut? Semua orang sebelum kenal, itu juga orang asing. Sebelum lu masuk ke lingkungan baru, lu nggak kenal siapa-siapa. Contohnya, kayak lu naik ke tingkat SMA setelah SMP, you're all totally stranger dan terpaksa kenal karena sekelas. What is the different?"
"Ya, tapi..."
"Di aplikasi, banyak yang ketemu temen lama, mantan simpanan, mantan pacar, dan orang yang dulu pernah ditolong kok. Jadi, segala sesuatu bisa aja terjadi, namanya juga lu hidup di dunia tai kayak gini," sela Jerome sengit.
Ucapan Jerome membuat Luna terdiam dan berpikir betapa naif dirinya tentang dunia. Selalu berpikir tentang betapa jahat dan tidak adilnya dunia, dengan mengesampingkan nilai baik yang masih ada walau jarang terjadi.
"Gue tahu, mungkin lu termasuk salah satu orang yang kurang beruntung di dunia ini, Lun. Tapi lu perlu tahu kalau nggak sedikit yang punya pengalaman lebih nyakitin ketimbang hidup lu. Mau suruh lu bersyukur, gue yakin lu udah usaha keras buat terima keadaan. So, stay strong and behave yourself. Jangan sampe lemah, apalagi kalah, karena satu-satunya yang bisa bantu hidup lu adalah diri lu sendiri," ucap Jerome kemudian.
"Tapi, terserah sih kalau lu nggak percaya sama gue," tambah Jerome sambil mengangkat bahu dengan cuek. "Gue tahu kalau gue itu bangsat, dan gue..."
Ucapan Jerome terhenti saat satu tangan Luna mendarat di pipinya, dan membelainya lembut. "Berhenti bilang diri lu bangsat. Lu adalah Jerome, orang yang udah melihat sisi rapuh gue sebanyak dua kali. Juga, orang yang baru aja berhasil membuat gue menyerah. Dan tahu itu apa?"
"Apa?" tanya Jerome dengan alis terangkat.
"Artinya lu itu kampret!" jawab Luna ketus, sambil menarik tangannya dan mendengus kasar. "Sok bilangin orang, tapi malah hina diri sendiri dengan ngatain bangsat. Kalau lu bangsat, gue juga bangsat dong?"
"Kenapa lu mendadak sensi? Heran," sewot Jerome dengan ekspresi tidak suka.
"Gua bukannya sensi, tapi keki. Daritadi lu ngomong udah sok bener jadi orang, tapi sendiri malah jatuhin diri sendiri," balas Luna tidak ingin kalah.
"Gue nggak jatuhin diri sendiri. Gue tahu kalau gue emang bukan orang bener, tapi bukan berarti gue tolol. Nggak kayak lu yang keliatan kayak orang bener, tapi sebenarnya nggak punya otak buat mikir. Lu yang jalanin hidup, tapi malah oper kasih orang yang jalanin. Kan bego," sahut Jerome sinis.
"Lu nggak punya ortu yang kepo sama hidup lu, makanya bisa ngomong kayak gitu!"
"Mendingan kepo daripada kasih beban hidup! Ortu itu egois! Nggak pernah mikirin nasib anaknya, dan selalu merasa berhak atas kita dengan dalih tanpa mereka, kita nggak ada!"
"Padahal, kita nggak minta dilahirkan dalam keluarga yang fucked up kayak gini!"
"Bukan berarti kita pasrah."
"Bukan berarti kita menyerah."
Luna dan Jerome saling bertatapan, menatap dengan sorot mata penuh arti yang sama, penuh pengertian dan saling melengkapi.
Jerome hendak bersuara, tapi tidak jadi karena bel rumahnya berbunyi. Kening Jerome berkerut bingung, terlihat berpikir sejenak, lalu beranjak berdiri sambil menatap Luna.
"Lu istirahat aja, gue ke bawah dulu," ucap Jerome.
"Jam segini masih ada panggilan? Aktif banget ya, Bun," sindir Luna yang membuat Jerome tertawa pelan.
"Jangan cemburuan gitu dong, tadi kan udah dapet," balas Jerome yang langsung mendapat timpukan bantal dari Luna, tapi dengan mudah ditangkapnya.
Jerome tertawa geli dan menaruh bantal itu kembali, lalu pergi. Merasa sudah tidak ada gangguan, juga mata yang sudah memberat, Luna ingin tidur sebentar saja meski tahu jika itu bukan kamar tidurnya. Baru saja hendak memejamkan mata, Jerome kembali ke kamar, dan segera mengacak rambut Luna dengan pelan.
"Kenapa sih? Sana pergi aja, anggap gue nggak ada, kalau lu mau main sama cewek yang baru dateng," sewot Luna sambil menepis tangan Jerome dari kepalanya.
"Yes, memang ada cewek laen yang dateng ke rumah gue, tapi nggak bisa dipake karena gue lebih pilih anaknya," ujar Jerome santai dan tenang.
Luna mengerjap, bergeming sebentar, lalu matanya melebar kaget, dan segera beranjak berdiri. Pusing, Luna sedikit limbung tapi Jerome sudah lebih cepat mencengkeram sikunya.
"Lu nggak apa-apa?" tanya Jerome cemas.
"Maksud lu siapa? Siapa yang datang?" tanya Luna gelisah.
Jerome mengangkat bahu dan terlihat tidak peduli. Dia memperhatikan ekspresi Luna sejenak, lalu memberikan senyuman yang selalu membuat Luna jengkel.
"Ada temen lu, Marcella. Juga ada bokap dan nyokap lu di bawah," jawab Jerome dengan nada sangat santai, seolah tidak ada hal besar yang terjadi.
Berbanding terbalik dengan Luna yang terlihat panik dan wajahnya memucat. "K-Kenapa mereka bisa ke sini? Damn! Cella bener-bener kampret!"
"Luna!" panggil Jerome saat Luna hendak keluar kamar.
"Apa?" tanya Luna galak sambil menoleh saat sudah memegang kenop pintu. "Gue nggak butuh ceramah dari lu sekarang. Gue lagi kesel."
"Iya, paham. Gue juga setuju kalau lu mau kelarin urusan di bawah," jawab Jerome kalem.
"Terus, ngapain panggil gue?" sahut Luna geram.
Seperti tidak peduli dengan Luna yang sudah emosi, Jerome mengarahkan telunjuk dan bergerak naik turun ke arah Luna, atau lebih tepatnya pada tubuh.
"Lu cuma pake kaos gue, dan nggak pake apa-apa di dalem. I'm so happy with the view, but trust me, they will kill you if you go with my t-shirt," ujar Jerome dengan nada lebih kalem dari sebelumnya.
Dan saat Luna menunduk untuk melihat dirinya, Jerome melanjutkan ucapan yang terdengar tengil, dan sukses membuat darahnya mendidih.
"Because your tits are look so fucking good. And also, your ass looks shitty perfect, Baby."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Seberapa banyak dari kita sering kecewa dengan hidup?
Mungkin hampir semua ya 🙃
It's okay, itu manusiawi.
It's a common thing.
But remember, jangan sampe ubah haluan, atau berhenti di tengah jalan.
Ada hambatan, hajar aja.
Ada lubang di depan, lompat aja.
Kita nggak tahu sejauh mana kita mampu, kalau kita nggak nekat.
Terus kalau bisa, coba kuar bentar.
Pandang sekeliling, perhatikan orang lain di sekitar, dan lihat persamaannya.
Kita semua sama2 berjuang, yang membedakan adalah medan perang, jadi nggak bisa disamakan karena kadar usaha dan kesusahan kita nggak sama.
Tapi satu yang pasti, kita bisa saling memberi semangat dan dukungan satu sama lain.
Jadi, apa kabar hari ini?
Aku percaya kalau kamu akan menjadi lebih hebat dari dirimu yang kemarin.
💜💜💜💜💜
Salam dari si Songong yang ultah kemarin dan mukanya nyebelin banget 😂
23.03.21 (10.53 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top