Part. 14 - Funzone
Written by. CH-Zone and Sheliu.
Monmaap, semalam asam lambungku kambuh dan nggak sempet update.
Asupan pagi ya.
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Jangan pernah lagi lu balik ke sini, atau leher lu yang patah nantinya," ucap Jerome dingin pada wanita yang sedang menghitung uang pemberiannya.
Faye, itu namanya. Salah satu match yang didapati lewat aplikasi sejak dua hari yang lalu. Menggeser beberapa profile wanita di aplikasi tanpa minat, dan langsung mengutarakan niatnya tanpa basa basi.
Dipilih secara acak dan mendapatkan Faye yang sangat menyambut baik tawarannya, yaitu menjadi wanita bayaran untuk hari ini.
Bukan tanpa alasan, Jerome melakukan hal itu. Semenjak obrolannya dengan Nio, juga Luna yang sudah menempati kamar tamu di rumahnya, perasaannya menjadi tak menentu.
Prinsipnya adalah tidak akan menyakiti orang yang baik, termasuk Luna. Juga tidak ingin terlibat urusan sentimentil yang akan merepotkan, sekaligus tidak ingin membuat Luna berharap padanya.
Namun, lihat apa yang terjadi? Seharusnya, dia merasa lega jika Luna terlihat tidak terpengaruh dan masih bersikap seperti dirinya sendiri, tapi Jerome justru merasa kesal karena itu. Sama sekali tidak menyangka jika dirinya berekspektasi hal lain yang terkesan mustahil dan memang benar terjadi. Damnit, makinya dalam hati.
"Lu yakin nggak mau dibikin enak sama gue, Say?" tanya Faye dengan ekspresi nakal setelah memasukkan uangnya ke dalam tas.
Jerome menggeleng dan langsung menunjuk pagar rumahnya. "Lu bisa langsung keluar lewat sana. Nggak usah ditutup, nanti ada satpam yang bakalan kunci pagar."
"Ih, jahat banget sih? Gue udah bantuin loh, makasi kagak, dibikin kentang malah iya," gerutu Faye.
"Gue udah bayar sesuai dengan deal kita kemarin," desis Jerome sengit.
"Gue balikin setengah deh, asal bisa..."
"Mau pergi sendiri atau gue panggil satpam buat seret lu dari sini?" sela Jerome sinis.
Faye berdecak protes sambil mengentakkan kaki, lalu segera melangkah keluar dari area rumahnya. Setelah memastikan wanita itu benar-benar pergi, Jerome segera masuk kembali ke rumahnya untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pengalihan.
Tapi, saat dia hendak menaiki tangga, tatapannya tidak sengaja melihat ke arah pantry dan mendapati Luna yang sedang berdiri membelakanginya. Wanita itu terlihat sibuk berjinjit untuk mengambil sebuah toples, dan... Shit! Pemandangan itu membuat mata Jerome melebar seolah bola matanya hendak keluar.
Memakai kaos kebesaran di atas lutut, saat Luna berjinjit, ujung kaos itu terangkat hingga mencapai bokong bulat Luna yang hanya memakai celana dalam berwarna hitam di sana. Napas Jerome tertahan dan kedua tangan sudah terkepal erat dengan hasrat yang mulai merambat naik.
Kakinya spontan melangkah untuk mendekati Luna dengan hati-hati, seolah tidak ingin wanita itu mengetahui dirinya mendekat. Berhenti tidak jauh darinya, Jerome menengadah untuk melihat tangan Luna yang kasih berusaha menggapai toples gula.
"Pendek banget ya, Sis? Cetek gini aja nggak nyampe," ejek Jerome dengan suara berbisik.
Mengambil satu langkah terakhir untuk berada tepat di belakang Luna, tangan Jerome menggapai toples gula dengan tatapan menunduk pada Luna yang tersentak dan berbalik untuk saling berhadapan.
Hendak menjauh, tapi satu tangan yang lain sudah merangkul pinggang Luna untuk tetap berada di posisi saat ini. Jerome tersenyum miring ketika bisa merasakan payudara Luna yang mendesak lembut di dadanya, merasa senang jika mengetahui wanita itu tidak memakai bra. Hmmm.
"Makanya taro gula jangan tinggi-tinggi," desis Luna sambil mendorong Jerome dan bergeser menjauh.
Kali ini, Jerome tidak menahan dan hanya menatapnya dengan penuh penilaian. Entah hanya perasaannya saja, atau Luna memang terlihat semenarik itu sehabis mandi. Rambut panjangnya yang masih setengah basah dibiarkan terurai, wajahnya yang tanpa riasan tampak begitu segar, dan oversized t-shirt sialan yang dikenakan menambah kesan sensual secara natural bagi otak Jerome yang sudah berkelana entah kemana.
"Yang punya rumah itu tinggi, otomatis semua dipasang sesuai ketinggiannya. Nggak asik soalnya ambil barang terus mesti bongkok, kecuali kalau bongkoknya sibukin hal yang lain," balas Jerome dengan tatapan naik turun, sama sekali tidak mempedulikan Luna yang mendengus kesal.
"Nggak berhasil dapet ya, Masbro? Barusan sama cewek, tapi liat orang kayak belum makan," cibir Luna sambil merebut toples gula yang dipegang Jerome, lalu berbalik untuk membuat sesuatu di sana.
Jerome tersenyum sambil beranjak untuk melihat apa yang dilakukan Luna dengan berdiri tepat di belakangnya, dan menaruh dagu di bahu Luna. "Mau bikin apa sih?"
"Tadinya mau honey lemon, tapi karena lu nggak punya madu, gue pake gula," jawab Luna sambil berdecak dan menggoyangkan bahu agar Jerome menjauh darinya.
Jerome tersenyum lagi dan memeluk Luna dengan lancang sambil berbisik lirih padanya. "Gue punya madu alami yang bisa lu pake buat apa aja."
Luna menoleh padanya, memberi tatapan intens yang menyenangkan, tapi tersenyum sengit. Perpaduan yang membuat Jerome ingin sekali mengangkatnya ke atas meja dan melebarkan dua kakinya untuk mengisapnya tanpa ampun.
"Gua nggak takut sama penyakit gula, btw. Kadar gula gue masih dalam taraf normal, bahkan di bawah rata-rata. Yang gue lebih takut, sori, bukan takut tapi amit-amit, kalau gue dapat penyakit bawaan. Herpes misalnya?" ucap Luna dengan nada sindiran yang membuat Jerome justru tertawa keras.
"Gue selalu main aman, kalau itu yang lu cemaskan," sahut Jerome geli.
"Gue sama sekali nggak kepengen tahu dan nggak berminat buat cobain lu, kalau itu yang lu pikirkan," balas Luna santai dan kembali sibuk dengan aktifitasnya dalam membuat minuman sialan itu.
Jerome semakin sengaja mendesakkan diri di belakang tubuh Luna dan terkekeh saat wanita itu mengerang kesal.
"Lu bisa jauhan gak, sih? Kita bukan lagi ngantri WC umum, Anjir!" decak Luna kesal.
"Bukannya ceritanya kita lagi berduaan di dalam WC makanya jadi sempit, ya?" goda Jerome yang membuat Luna berteriak kesal dan sukses membuatnya tertawa terbahak-bahak.
"Kalau lu belum makan, tuh ada nasi goreng kimchi," ucap Luna ketus sambil membawa segelas minuman lemon yang baru saja dibuatnya, beserta dengan sepiring nasi goreng.
"Lu mau makan kemana?" tanya Jerome bingung sambil menghalangi langkah Luna.
"Makan di atas, sekalian kerja," jawab Luna sambil menatapnya malas.
Alis Jerome terangkat. "Kamar itu nggak perlu diuber sampai harus dikerjain sambil makan. Lu bisa makan di meja makan, bukan..."
"Suka-suka gue!" sela Luna tajam. "Gue mau makan dimana pun, itu bukan urusan lu."
"Tentu aja itu urusan gue karena ini rumah gue. Mau makan yah di meja makan, nggak usah makan di ruangan lain, yang nanti malah jadi kotor," balas Jerome tegas.
Luna terdiam dan menatap Jerome sengit selama beberapa saat. Tanpa berkata apa-apa, Luna berjalan melewatinya untuk menuju ke meja makan dan duduk sambil menaruh piring serta gelasnya dengan kasar.
Jerome menghela napas dan menyusul Luna untuk duduk tepat di sampingnya. "Look, gue nggak bermaksud buat..."
"Sekalipun lu punya maksud, itu juga nggak apa-apa, Jer. Rumah ini memang punya lu, dan gue sebagai orang yang numpang buat kabur di sini harus tahu diri," sela Luna tanpa melihat ke arahnya karena sibuk menikmati makanannya.
"Gue nggak ada maksud kayak gitu, Lun," ucap Jerome sungguh-sungguh.
Luna menoleh dan menatapnya dengan ekspresi jenuh. "Okay, fine, lu nggak ada niat. So? Do you have to be like that?"
Jerome terdiam sambil memperhatikan wajah Luna yang memberikan ekspresi tidak suka. Tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi sepertinya rencana untuk membuat Luna kesal sudah berhasil. Wanita itu terpengaruh dengan adanya Faye yang tadi bercumbu dengannya, dan mungkin saja itu membuatnya bersikap semakin sinis.
"I guess, I'm not," ucap Jerome akhirnya.
Luna mengangguk setuju dan kembali pada makanannya, masih dengan ekspresi tanpa minat. "So, stop staring at me, and go get your dinner, Silly. You're so irritating."
Jerome tersenyum hangat dan segera melakukan apa yang diucapkan Luna dengan mengambil makanan yang sama dari pantry. Kembali duduk di sampingnya, Jerome menikmati makan malam bersama dan itu menyenangkan hatinya.
Sudah cukup lama, bisa dibilang sudah menjadi kebiasaannya untuk makan sendiri jika berada di rumah. Tapi sekarang? Saat ada Luna selama beberapa hari, Jerome sudah merasakan kenyamanan dan ketenangan yang menyenangkan, juga pengertian tentang memiliki teman untuk berbagi tempat, ternyata tidak seburuk itu.
"Tadi lu pulang sama siapa?" tanya Jerome sambil menoleh pada Luna yang masih makan.
"Cella," jawabnya singkat.
"Sori, gue nggak bisa jemput tadi," ucap Jerome dengan mulut penuh.
"It's okay, bukan keharusan lu untuk jemput gue," balas Luna cuek.
"Lu nggak kesel karena gue lagi asik sama cewek, kan?"
Luna spontan menoleh dan menatapnya dengan satu alis terangkat. "Kenapa gue harus kesel untuk hal yang biasa kayak gitu?"
"Oh, jadi itu bukan masalah buat lu?"
"Of course, not. Should I?"
"No, you shouldn't."
"Good, then we have no problem here."
Justru itulah masalahnya, balas Jerome dalam hati. Seharusnya, dia merasa tenang jika Luna bersikap seperti biasa dan tidak merasa terganggu dengan hal yang sengaja dilakukan. Tapi sebaliknya, ada rasa kecewa dan tidak suka yang mengembang dalam diri.
Jerome memperhatikan Luna dengan seksama, menilai ekspresinya penuh perhatian, dan mendapati sesuatu yang membuat keraguannya semakin membesar. Baru kali ini, Jerome takut salah dalam menilai, padahal mempelajari dan memahami seseorang adalah hal yang selalu dilakukannya. Luna sangat sulit, pikirnya.
"But, it's problem for me," ucap Jerome dengan serius.
Luna terdiam, masih menatapnya dengan ekspresi tak terbaca, yang membuat Jerome semakin tenggelam dalam rasa tidak suka dan tidak terimanya. Untuk pertama kalinya, dia sudah salah perhitungan. Seharusnya, itu tidak masalah. Seharusnya, ini melegakannya karena itulah yang diinginkan. Seharusnya, dia sudah bisa mengendalikan diri untuk menghadapi kemungkinan seperti ini. Masih banyak seharusnya yang memenuhi isi kepala, tapi Jerome memilih untuk mengabaikannya.
"What is the problem?" tanya Luna kemudian.
"You," jawab Jerome tanpa ragu.
Sambil mengembangkan senyuman sinis, Luna menautkan rambut ke belakang telinga dan menatapnya dengan ekspresi menantang. "Jadi, semudah ini lu kalah, Jer? Really?"
"Gue bukan kalah, tapi nggak mau menyerah, meski gue punya niat untuk cari masalah. Dan kali ini, gue memang salah, gue akui itu," balas Jerome tanpa mengalihkan tatapannya.
"Salah?" sahut Luna dengan alis terangkat.
Jerome mengangguk. "Salah besar."
"Sebesar apa?" tanya Luna sambil mencondongkan tubuh dan Jerome melakukan hal yang sama.
"Fatal," jawab Jerome sambil menunduk untuk melihat bibir Luna yang terbuka.
Keduanya sudah duduk dalam posisi berhadapan dengan kedua lutut yang saling bersentuhan. Bertukar tatapan dalam sorot mata tajam yang sama, kesan dingin yang justru memberi semburat kehangatan yang terasa dalam dada, juga menghadirkan kebutuhan dalam keinginan untuk tenggelam dalam kekacauan yang terjadi saat ini.
Sedetik kemudian, keduanya maju dan bertemu dalam ciuman yang kasar, tautan lidah yang dalam, dan sentuhan yang membawa mereka dalam kenikmatan, yang melebur dalam lautan gairah yang tak terkendali.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Biarkan urusan lebur melebur itu menjadi bagian CH-Zone untuk melanjutkan di part selanjutnya.
Agar diperhatikan jika tulisan ini tidak diperuntukkan bagi kalian yang masih belum cukup umur, juga yang menganggap taboo soal pergaulan atau gaya hidup yang berbeda dengan lingkungan sekitarmu.
Be wise reader.
Me and CH are warn you.
And here's our chat this morning.
Omongannya emang gitu, jadi nggak usah dianggap ya.
Tapi orangnya baik kok. Nggak gigit, kecuali kalau digigit, dia makan balik.
Eh? 🙃
09.03.21 (10.35 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top