Part. 13 - Runaway
Gileee, aku lancar banget di lapak ini.
🙃🙃🙃
"Dia bukan tipe lu, Luna!
"Dia juga cowok brengsek."
"Tampilannya aja nggak banget buat diajakin jalan, apalagi pacar."
Pikiran buruk memenuhi isi kepala Luna, tapi tidak hanya itu saja karena pikiran baik juga ikut menimpali, seolah melawan semua penilaian buruk yang tidak bisa dilemparkan begitu saja tanpa bukti, apalagi hanya sekedar asumsi.
"Tapi dia yang selalu ada buat lu."
"Dia juga pendengar yang baik, yang sama sekali nggak nge-judge kayak yang dulu."
"Omongannya jujur dan tegas, juga serius. Kayaknya emang nggak niat buruk."
"Don't judge a book by its cover."
"Aarrrggghhh, ini otak kenapa sih?" sewot Luna sambil mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
"Eh, lu kenapa? Udah gila?" tanya Cella bingung.
"Iya, udah gila banget! Kayaknya gue perlu ke psikiater deh," jawab Luna cemberut.
Kening Cella berkerut dan menatap Luna dengan penuh penilaian. "Ada masalah hidup apa sih lu sebenarnya? Lu masih hutang cerita dan malah nyusahin gue dengan harus bohong sama nyokap lu!"
Luna menggeleng pasrah. "Things get worst. Nyokap nggak setuju sama cowok pillihan gue."
"What? Lu udah punya pacar? Kok nggak ngenalin gue?" seru Cella kaget.
Luna kembali menggeleng. "Bukan! Bukan gitu. Duh, gini-gini ceritanya..."
Seperti biasa, di waktu kerja yang sudah mencapai jam tiga adalah sesi membuang waktu sampai jam lima. Demi sebuah kewarasan dan penyegaran, hal itu wajib dilakukan oleh Luna dan Cella di setiap harinya. Dikarenakan bos berhalangan masuk, maka Luna dan Cella lebih totalitas dalam membuang waktunya sekarang.
Memesan jajanan lewat aplikasi, bertukar varian lewat tahu gejrot pesanan Luna, dan rujak buah pesanan Cella. Meja kosong yang ada di dalam ruangan pun dijadikan sebagai meja makan untuk berbagi rasa, baik makanan ataupun kisah.
Sambil menikmati tahu gejrot yang super pedas, Luna bercerita tentang apa yang terjadi padanya selama seminggu terakhir. Cella yang asik mengunyah rujaknya, memberi ekspresi beragam dan terlalu dramatis lewat tatapan tidak percaya, berseru, lalu tersedak, dan kembali lagi ke tatapan tidak percaya.
"Lu udah gila!" demikian seruan Cella saat Luna mengakhiri ceritanya.
Yeah, memang, batin Luna masam. Apa yang dirasakan Luna saat ini lebih dari sekedar gila, dan itu membuatnya semakin tidak terkendali. Entah kenapa setiap kali membicarakan Jerome, atau sekedar teringat padanya, ada debaran yang tidak biasa.
"Gue nggak punya pilihan daripada dikenalin sama anaknya temen nyokap gue, Cel! Lu nggak tahu modelan kenalan nyokap gue tuh kayak gimana," cetus Luna jujur.
"Yah, tapi nggak sampe desperado gitu dong, Lun! Jerome bukan satu-satunya pilihan. Di aplikasi ada banyak pilihan, lu tinggal swipe, match, and boom!" sahut Cella gemas.
Kening Luna berkerut tidak suka. "Gue nggak minat main aplikasi lagi, Cel. Gue nggak suka! Bisa terjebak sama Jerome aja itu udah terpaksa. Yah nggak terpaksa juga karena apa yang udah terjadi nggak boleh gue sesali. But, Jerome is more better than them."
"Dengan kata lain, lu udah mengakui kalau aplikasi itu ada gunanya dong. Kalau nggak dari aplikasi, lu kenal Jerome darimana?" balas Cella.
"Guna nggak guna. Tapi sekarang, bukan masalah aplikasi berguna atau nggak. Masalahnya adalah gue lagi punya masalah dan nggak kepengen main aplikasi lagi. Urusan hidup gue udah banyak, nggak mau ditambah dengan kenalan sama orang asing yang lebih serem dari Jerome."
"Nah! You got the point! Jerome itu serem, hiiyyyy. Dia jauh banget dibanding Nio."
"Kenapa lu langsung menilai dia kayak gitu padahal belum kenal? Hanya karena Nio punya perawakan dan penampilan baik, belum tentu dia baik, kan? Buktinya lu nggak mau sama dia, tapi sama temennya."
"Itu beda kasus, Lun," elak Cella santai. "Gue butuh cowok yang kasih gue belajar buat mandiri, bukan yang apa-apa sodorin semua yang gue mau. Nio itu tipikal yang kasih dunia, tapi Byan adalah orang yang ngajakin berjuang bersama."
Luna terdiam setelah mendengar ucapan Cella yang membuat perasaannya sedikit terusik. Ada banyak tipe dan karakter pria di dunia ini, dan ada beberapa yang sudah Luna ketahui lewat hubungannya terdahulu. Tapi Jerome? Dia berbeda. Meski bukan tipenya, tapi ada hal yang membuat Luna merasa tertarik untuk mengenalnya lebih jauh, dan entah itu apa.
"Gue tahu lu akan anggap gue gila, tapi Jerome itu beda," ucap Luna akhirnya.
Cella memperhatikan Luna dengan seksama, lalu menghela napas lelah. "Gue nggak nyangka kalau lu bisa punya perhatian sama orang kayak Jerome. Tapi, gue yakin kalau lu bukan orang yang nggak punya alasan untuk memilih tetap bertahan sama cowok kayak gitu."
"Gue juga nggak tahu, Cel. Tapi satu hal yang pasti, dia selalu paham apa yang gue alamin. Kayak yang udah pengalaman gimana sih?"
"Kalau nggak pengalaman, dia nggak mungkin lulus jadi bajingan, Lun. Tampilannya aja kayak preman," celetuk Cella yang membuat Luna mengangguk pasrah karena itu benar adanya.
"Mungkin cowok zaman sekarang mainnya halus banget kali yah, Cel. Yang nggak main tarik ke pojokan, tapi main hati biar kesannya aman, padahal itu ancaman," balas Luna cemberut.
Cella menatap Luna dengan ekspresi tertegun. "Lu... udah main hati sama dia?"
Kening Luna berkerut seolah berpikir, lalu menggeleng pelan. "Bukan soal hati, tapi empati."
"Maksud lu?"
"Dia punya empati yang tinggi buat jadi orang yang punya masalah hidup kayak gue."
"Itu manusiawi kali, Lun. Lu bisa mikir kayak gitu, mungkin udah baper karena apa yang dia lakuin itu berhasil."
"Menurut lu begitu?"
"Jangan tanya gue, tapi tanya sama diri lu sendiri. Sebagai pihak ketiga diantara diri dan hati lu, Jerome bukanlah tipe yang lu inginkan, juga sebaliknya. No offense yah, tapi gue pesimis sama hubungan kalian. Kalau bisa, coba cari yang lain aja. Ibarat barang jadi, Jerome itu cuma sample produksi, sebelum dikonfirmasi dan disetujui untuk produksi massal buat distribusi. Trial and error lah."
Luna mengangguk paham. "I can handle guys, also my feelings. Untuk sementara sih masih aman. Nggak tahu kalau nanti."
"Tuh, kan? Lu mulai ragu," seru Cella.
"Bukannya ragu, tapi realistis. Gue nggak mau sesumbar untuk bilang nggak bakalan mau sama orang model Jerome, karena lu lihat sendiri kalau gue bisa punya urusan sama orang yang bukan tipe dengan jadi pacar gadungan," ujar Luna ketus.
Cella ber-ckck ria sambil menggelengkan kepala. "Jadi, mau sampai kapan lu kabur dari rumah dan jadiin gue tameng buat terima telepon dari nyokap lu, huh?"
"Sampai mereka nggak maksa gue lagi," jawab Luna cepat.
Semenjak kejadian pertengkaran itu, Luna memutuskan untuk tidak pulang ke rumah sebagai aksi protes dan pembelaan dirinya. Mungkin terdengar kekanakan, tapi Luna merasa perlu mengambil tindakan untuk membuktikan jika dirinya serius kali ini.
"Dan tetep tinggal di rumah Jerome? Luar biasa banget loh perubahan yang terjadi semenjak kenal dia, Lun," ujar Cella dengan nada sindiran.
"Karena mereka nggak bakalan bisa samperin gue ke sana," tukas Luna.
"Lu pengen cari gara-gara sama keluarga?" tanya Cella tidak percaya.
Luna menggeleng cepat. "Gue pengen negosiasi untuk menyelesaikan masalah. Urusan pribadi nggak usah campur aduk dengan status gue sebagai anak di rumah. Kalau mereka tetap maksa, gue akan keluar dari rumah secara permanen."
"Dan tinggal di rumah Jerome terus?"
"No! Gue cari tempat tinggal lah. Ada beberapa apartemen dan rumah yang jadi pertimbangan gue saat ini."
Cella menatap Luna dengan ekspresi tidak terbaca. "Gue nggak percaya kalau lu bakalan stubborn kayak gini, Lun. Udah parah banget yah keluarga lu dalam ngatasin hal yang sebenarnya bukan masalah? Lu single kan nggak dosa, Lun. Yang dosa itu kalau double tapi nggak bahagia."
Luna terkekeh geli dan mengangguk setuju. Mereka masih mengobrol hingga jam kerja usai, lalu segera bersiap untuk pulang.
Terhitung sudah tiga hari, Luna tidak pulang ke rumahnya. Dari pihak keluarga pun tidak ada yang menghubunginya, kecuali Leon yang menelepon untuk meminjam mobilnya. Cih.
Mama lebih memilih mencari Cella dan menanyakan tentang keberadaannya, yang sudah pasti dijawab oleh Cella bahwa Luna berada di rumahnya. Hal jtu jugalah yang mungkin membuat Mama tidak perlu mencari karena berpikir jika Luna sedang berada di sana.
Dan sejak saat itu, Luna berada di rumah Jerome untuk melarikan diri sejenak dari beban pikirannya. Bukan tanpa sengaja, atau mencari perkara baru dalam hidup, tapi Luna memiliki alasan tersendiri.
Dengan berada di sana, Luna memiliki kesibukan untuk merenovasi sebuah kamar yang diinginkan Jerome. Meski tidak mengerti dengan pekerjaan itu, tapi Luna bisa mengikuti keinginan Jerome dengan baik.
Memasang wallpaper adalah rencana kerjanya setelah makan malam. Dengan melakukan sesuatu atau menyibukkan diri, Luna bisa melupakan masalahnya sejenak. Juga memiliki tujuan agar bisa memenuhi keinginan Jerome, dan menyelesaikan lebih cepat sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantunya.
Seharusnya, Jerome yang menjemputnya seperti sebelumnya. Dikarenakan ada urusan, maka Jerome tidak bisa menjemput dan Luna meminta Cella untuk mengantarnya pulang ke rumah Jerome.
Dalam rangka tindakan kabur-kaburan, Luna tidak membawa apapun dari rumah, termasuk mobilnya. Terlalu emosi dan tidak ingin pulang karena gengsi, Luna pun tidak peduli dengan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membeli keperluan pribadi seperti pakaian, krim wajah, dan lainnya.
Begitu tiba di rumah itu, Luna segera turun dan mengucapkan selamat tinggal pada Cella yang sama sekali tidak tertarik untuk sekedar mampir. Tatapan Luna tertuju pada SUV yang terparkir di garasi, yang ternyata Jerome sudah berada di rumah lebih awal.
Memiliki kunci cadangan yang diberikan Jerome padanya, Luna membuka pintu dan bergegas masuk dengan daftar aktifitas yang ingin dilakukannya. Membersihkan diri, membuat sedikit makan malam, dan memulai pekerjaannya untuk memasang wallpaper.
Baru saja dia hendak menuju ke kamar tamu yang ditempatinya selama berada di situ, langkahnya terhenti karena suara yang terdengar seperti desahan berasal dari ruangan yang sedang direnovasi.
Luna terdiam, mencoba mendengar lebih jelas, tapi sudah tidak terdengar apa-apa. Namun, rasa ingin tahunya mendominasi untuk melangkah dengan perlahan menuju ruangan yang masih belum memiliki pintu, yang tidak jauh dari posisi kamarnya.
Suara yang tadinya tidak terdengar, kini samar-samar sudah semakin jelas, bahkan Luna bisa memastikan jika itu memang desahan seorang wanita. Tepat di sana, tampak Jerome sedang duduk di sebuah kursi, dengan seorang wanita yang berada di atas pangkuannya dengan balutan mini dress yang sudah berantakan.
Keduanya terlihat sedang berciuman, seiring dengan suara cecapan dari mulut yang beradu, dan desahan berlebihan yang sepertinya dibuat-buat.
Seharusnya itu bukan masalah, dan Luna yakin jika dirinya masih bisa berpikir dengan otaknya bahwa itu bukan urusannya. Tapi, ada denyutan rasa nyeri dalam hati, yang sudah membuat dadanya terasa sesak, dan napasnya memberat.
Dia tidak ingin melihat, tapi tatapannya tidak teralihkan dengan mata melebar kaget. Pikiran tentang pengkhianatan yang pernah terjadi pada dirinya kembali memenuhi isi kepala, hingga membuat kedua tangannya mengepal erat, bahkan sampai gemetar.
Seperti menyadari kehadirannya, Jerome menghentikan ciuman karena sudah melihat dirinya, dan spontan beranjak sambil menarik wanita yang berada di pangkuannya untuk menjauh darinya.
"Luna..."
Mata Luna mengerjap, seolah tersadar jika dirinya masih berdiri di posisinya, dan menatap dua insan yang sepertinya akan mendapatkan klimaks sebentar lagi jika dirinya tidak ada.
"Sori banget kalau ganggu. Tadinya, gue cuma mau kasih tahu kalau udah dapet subcont lukisan yang lu mau," ucap Luna dengan nada yang begitu santai, hingga cukup merasa bangga pada dirinya.
Jerome menatapnya penuh penilaian, tanpa merasa risih bahwa dirinya hanya memakai jeans belel tanpa atasan. Baik Luna ataupun Jerome sama-sama melempar tatapan tajam, seolah keduanya bertanding untuk mencapai ketangguhan yang tidak terbantahkan.
"Terus, lu mau sampai kapan berdiri di situ?" tanya Jerome tanpa beban.
Meski rasa nyeri dalam hatinya semakin menyesakkan dada, tapi ekspresi Luna masih tampak begitu datar, nyaris tidak terkesan apa-apa. Bahkan, Luna mampu menyeringai sinis ketika melihat Jerome tampak tidak senang.
"Kenapa? Lu takut kalau ketahuan nggak sejago yang lu umbar ke gue?" balas Luna dengan satu alis terangkat.
Sambil bertolak pinggang, Jerome menatap Luna dengan tengil. "Jadi lu mau join? Threesome? Why not?"
Luna melirik pada wanita itu yang sedang terkekeh sambil bergelayut manja di lengan Jerome, bahkan terlihat sengaja mendesakkan dadanya di situ. Tersenyum hambar, Luna menggelengkan kepala sambil membodohi diri sendiri karena sempat merasa terusik dengan perhatian dan sikap Jerome yang terkesan begitu baik.
Bastard is a bastard. Nothing good on him, pikirnya.
"Sorry banget, gue nggak minat. Bukan karena nggak punya nyali, tapi karena lu nggak sebagus itu buat kolaborasi," cetus Luna dengan dagu terangkat, memberi seringaian sinis, lalu berbalik untuk segera menuju ke kamarnya tanpa menoleh lagi ke belakang.
Setibanya di kamar, Luna segera melepas pakaiannya untuk membersihkan diri dan berdiri di pancuran air dingin untuk mendinginkan pikirannya.
Setengah jam. Itulah yang dibutuhkan Luna untuk kembali meneguhkan diri, bahwa apa yang sempat terbersit tentang Jerome adalah halusinasi.
"Alright, Devil Dick! Because I'm too smart for players, let's play dirty," batin Luna sambil mengangkat wajah untuk menerima guyuran air dingin, lalu melebarkan senyuman puas karena sebuah ide brilian itu muncul, sebelum memutuskan urusan keduanya.
Yaitu membuat pria sialan bernama Jerome bertekuk lutut dan mengemis cinta padanya, saat Luna memutuskan untuk pergi. Hello, Fuckboy. You got an enemy now.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Happy weekend 💜
Berikut adalah chat dengan match yang cukup 'unik dan agak maksa'.
Kita kudu pinter balesnya, kalau bisa bikin ilfil aja. 🙃
Jadi, udah ada yang punya pengalaman tentang pake aplikasi dating?
Coba kesannya gimana? Adakah yang cocok? Atau bikin ilfil? Bikin kamu bingung dan takut?
Sini cerita. Biar sama2 belajar. 💜
27.02.21 (21.10 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top