Part. 11 - Enough is enough
Inspirational song:
Monsters by. Katie Sky.
Diharapkan untuk memutar lagu ini sebelum membaca, atau sambil mendengarkan. Please 🥺
Bisa dibilang, lagu ini perwakilan betapa messed up-nya hidup Jerome dan Luna.
Aku suka banget lagu ini. 😭
Dalem banget!
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Pokoknya, Mama nggak setuju kalau kamu sama cowok berandalan kayak gitu," tegas Mama yang membuat Luna harus mendengus setiap kali mendengarkan penegasan yang sudah puluhan kali diucapkan.
Sejak hari Sabtu hingga hari ini, atau saat Luna baru saja pulang dari rumah Jerome waktu itu, Mama memberi ultimatum yang membuat Luna gerah.
"Kalau kayak gitu, maaf, Luna cuma mampu cari cowok model kayak gitu," ujar Luna kalem.
"Luna!" desis Mama dengan nada tinggi, yang langsung membuat wajah Luna terangkat untuk menatapnya dengan masam. "Kalau Mama ngomong itu, didengerin!"
"Ini kan lagi dengerin, Ma. Makanya bisa nyahutin," balas Luna sengit.
"Ma, sudahlah, ini masih pagi," sahut Papa yang sepertinya tidak digubris oleh Mama yang masih menatap Luna tajam.
"Nggak gitu caranya dengerin Mama, trus jawabin kayak gitu," ucap Mama.
Luna melirik pada Leon yang tampak bosan sambil menggaruk kepala, lalu pada Papa yang masih menekuni sarapan nasi gorengnya. Hari Senin adalah hari yang akan menjadi hari terpanjang dengan segudang pekerjaan, dan Luna tidak ingin menambah beban dengan harus menghadapi Mama yang kebelet ngunduh mantu.
"Jadi, maunya Mama kayak gimana?" tanya Luna yang masih berusaha untuk sabar.
"Mama nggak setuju kalau kamu sama si Jerome-Jerome itu. Apa nggak ada pilihan yang lain? Kamu nggak liat modelannya kayak gimana? Tindik kuping, tatoan dimana-mana, kalau liatin orang malah bikin Mama kayak ngerasa dipalak di terminal. Mama nggak suka!" jawab Mama.
Apa yang diucapkan Mama memang benar, karena seperti itulah penampilan Jerome yang terbilang berbahaya. Tentu saja, seumur hidup Luna tidak pernah berurusan dengan pria semacam Jerome yang lebih bisa disebut sebagai ancaman, ketimbang pasangan.
"Mama belum kenal dia, jadi jangan cepat menilai. Dia nggak gitu orangnya," balas Luna sambil menunduk untuk melanjutkan sarapannya tanpa minat.
"Nggak gitu gimana? Mama berani taruhan kalau cowok model gitu pasti banyak masalah. Pasti suka main cewek, judi, juga males! Pokoknya nggak punya masa depan!" cerocos Mama yang semakin berapi-api.
Sehubungan dengan Luna yang masih belum mengenal Jerome terlalu banyak, rasanya tidak bisa membela untuk membalas Mama, tapi juga tidak bisa membiarkan Mama terus berbicara buruk tentang orang yang belum dikenalnya.
"Mama jangan ngomong sembarangan," ucap Luna dengan nada peringatan.
"Sembarangan apa? Emang kenyataannya kayak gitu," sahut Mama.
"Kenyataan apa? Emangnya Mama pernah liat dia main cewek? Pernah liat dia main judi? Terus tahu banget kalau dia nggak punya kerjaan? Ma, kalau nggak suka sama orang ya silakan aja, tapi jangan sampai nuduh sembarangan. Itu namanya udah fitnah!" seru Luna yang mulai emosi.
Mata Mama melebar kaget, lalu menoleh pada Papa yang masih mengunyah. "Tuh, lihat anaknya, Pa. Papa tahu sendiri kalau Luna nggak pernah ngelawan kita, kan? Baru pacaran aja udah berani ngelawan Mama, gimana kalau sampai nikah?"
Astaga! Luna memejamkan mata sambil menghitung dalam hati untuk menahan diri agar tidak maki-maki. Dia sudah merasakan hidup yang tidak tenang perihal pasangan yang menjadi biang keributan. Apa sih masalahnya? batinnya kesal.
"Sudahlah, Ma. Kasih Luna kesempatan untuk mengenal Jerome dulu," ujar Papa menenangkan.
"See? Papa selalu membela anak dan nggak mikir panjang. Gimana anak bisa dengerin kita kalau sebagai orangtua, kita nggak kompak, Pa?" protes Mama.
"Emangnya Mama itu setujunya sama cowok yang kayak gimana buat Kak Luna?" tanya Leon tiba-tiba.
Semuanya menoleh pada Leon, termasuk Luna yang sudah menatap adiknya dengan mata menyipit tajam. Adik sialannya sudah pasti akan memberi cibiran atau hinaan padanya seperti yang sudah-sudah.
"Yang baik, dong. Yang keliatannya bagus, nggak macem-macem, dan bisa sayang diri. Kalau badan sendiri aja ditato nggak jelas gitu, gimana bisa sayang keluarga?" jawab Mama.
"Ma, apa hubungannya dia punya tato dengan sayang sama keluarga? Tolong dong, jangan maksain buat hal yang nggak nyambung kayak gitu!" desis Luna kesal.
"Mama cuma kasih tahu! Umur kamu udah nggak muda lagi, Luna! Udah saatnya berkeluarga dan harus dengan orang yang bisa jadi panutan. Jerome sama sekali nggak bisa kayak gitu!" balas Mama tidak mau kalah.
"Jadi yang bisa siapa? Anaknya temen Mama yang kalau tidur aja harus di jam delapan? Atau yang kalau pergi-pergi, harus banget bawa purifier sampai termos khusus karena takut alergi? Itu yang Mama bilang bisa jadi panutan?" sahut Luna sambil melotot galak.
"Senggaknya, dia dengerin apa kata orangtuanya," ujar Mama tanpa beban.
Luna tersenyum hambar. "Gitu? Maunya Mama adalah cowok yang manja?"
"Itu namanya hormat sama orangtua, juga menghargai keluarga," sahut Mama.
"Apa itu masih termasuk normal buat orang yang umurnya udah nggak muda lagi, Ma? Gimana bisa mimpin keluarga, kalau mau ngapain aja harus denger apa kata mama?" balas Luna sambil mengangkat alisnya menantang.
"Luna! Kamu mulai berani membalas Mama!" seru Mama tidak terima.
"No! Aku bukannya mau balas Mama, tapi mau kasih tahu kalau Mama nggak berhak maksain aku hanya karena aku adalah anak Mama. Seperti yang Mama bilang, aku udah nggak muda lagi, yang artinya harus bisa mandiri," desis Luna geram.
"Buktinya apa? Kamu masih sendiri!"
"So, what? Aku tetap bisa hidup walau masih sendiri! Malahan, Mama harusnya senang kalau aku bisa fokus urus Papa dan Mama yang udah mulai tua. Akan ada waktunya aku menikah, Ma. Tapi bukan karena paksaan atau tuntutan, melainkan aku udah yakin dalam menentukan pilihan."
Hening. Mama seperti tidak terima dan hendak membalas, tapi Luna kembali mengambil alih perdebatan karena sudah terlalu lelah dengan urusan yang itu-itu saja.
"Satu lagi, Mama nggak berhak maksain aku hanya karena nggak mau dijadiin omongan sama orang. Harusnya Mama tahu apa yang bikin aku bahagia, bukannya malah kasih tuntutan yang bikin aku sengsara," tambah Luna dengan suara gemetar.
"Sengsara? Kamu pikir selama ini Mama nyiksa kamu? Gitu?"
Luna menggeleng sambil mengusap kasar pipinya yang basah karena airmata sialan yang tiba-tiba mengalir. "Nggak. Mama nggak pernah nyiksa, cuma terlalu banyak nuntut! Dimulai sejak aku kecil, aku harus ikut les ini itu, harus pinter, harus bisa jaga diri, harus bisa mandiri, harus bisa sukses, harus ini itu, tanpa pernah tanya apa perasaan aku."
"Kalau Mama nggak tegas, kamu nggak akan bisa kayak gini seperti hari ini!" sahut Mama.
"Begitu?" balas Luna dengan satu alis terangkat. "Kalau gitu, aku tanya. Apa yang Mama lihat dari seorang Luna saat ini? Apa aku bahagia? Apa aku pernah ketawa dan merasa nyaman selama berada di rumah?"
Hening. Mama sama sekali tidak bisa membalas, selain menatap Luna dengan ekspresi tak terbaca. Papa berdeham dan menaruh satu tangan di sisi lengan Luna.
"Sudah jam delapan. Kamu berangkat aja ke kantor, nanti terlambat," kata Papa.
Menghela napas, Luna sudah terlalu lelah untuk terus mengalah. Jika Mama melempar topik yang berujung perdebatan, maka Papa akan menengahi dengan memutuskan perbincangan tanpa penyelesaian. Selalu seperti itu, dan akan terulang kembali. Pola yang terus berputar dalam lingkaran hitam yang menyesatkan, sekaligus memberi rasa tidak nyaman dalam diri Luna selama berada di rumah itu.
Label anak penurut dan mengikuti kehendak orangtua seperti sudah menjadi keharusan agar dianggap baik. Sejak kecil, Luna dituntut ini itu hingga menjadi terbiasa dengan tuntutan sampai enggan untuk mendengarkan. Tapi sekarang? Ada rasa penolakan, pembelaan diri, serta keinginan untuk memberi suara.
Keinginan Luna sederhana, yaitu didengar. Itu saja. Sayangnya, orangtua terlalu sibuk untuk memberi aturan baru saat Luna menyampaikan pendapat dan pikirannya. Selalu seperti itu.
"I had enough," ucap Luna dengan suara gemetar, tapi tegas.
Tatapannya menghunus tajam pada Mama dan Papa secara bergantian, terlihat penuh tekad. Sekarang, atau tidak sama sekali, batinnya teguh.
"Kalau Mama merasa berhak untuk maksain Luna karena aku adalah anak Mama, maaf banget kalau aku nggak bisa biarin Mama ngelakuin hal itu lagi," ucap Luna yang membuat Mama terlihat kaget, Papa juga.
"Aku udah dewasa, dan aku yang paling berhak nentuin apa yang harus aku lakuin karena aku yang jalanin hidup, bukan Mama. Apakah salah kalau aku jalanin hidup sesuai pilihanku sendiri? Apa Mama akan merasa bahwa hasil didikannya ke aku bakalan jadi sia-sia dan anggap aku adalah anak yang nggak tahu diuntung?" lanjut Luna yang sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
Menangis bukan karena takut atau sedih, melainkan amarah yang sudah begitu menumpuk, hingga sudah tidak mampu untuk dibendung lagi.
"Misalkan aku nggak sama Jerome, dan misalkan aku nggak sama siapa-siapa, itu adalah pilihanku sendiri. Itu adalah keputusan yang aku pilih untuk jalanin hidup ini," tukas Luna dengan penuh penekanan.
"Luna!" panggil Papa tegas, dan Luna membalasnya dengan beranjak berdiri sambil menatapnya tajam.
"I'm 27, Pa. Sudah terlalu dewasa untuk diatur dan disuruh melakukan sesuatu yang bisa aku lakuin tanpa perlu dipaksa. I know what's better for me, and that's the only thing you have to know," tegas Luna kemudian, lalu beranjak pergi sambil membawa tasnya untuk pergi.
Muak, juga lelah. Tidak ada rasa damai dalam diri, terlebih lagi berada di atap yang sama dengan tuntutan dan peringatan yang semakin menjadi. Luna membutuhkan ketenangan, juga pengendalian diri.
Gerakannya terhenti saat dirinya hendak menuju ke mobil untuk melihat sebuah SUV yang sangat dikenalinya berada di luar pagar rumah dan memberi klakson.
Kening Luna berkerut, lalu menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada orang rumah yang keluar untuk menjangkaunya, dan kembali melihat mobil yang masih berada di depan untuk menunggu supir rumah membukakan pagar.
Tanpa ragu, Luna berjalan cepat untuk menghampiri SUV itu setelah menyuruh supir untuk tidak perlu melebarkan pagar rumahnya.
"Mau ngapain ke sini?" tanya Luna ketus saat pengendara mobil sudah menurunkan kaca mobil.
Dengan senyuman lebar yang sangat tidak disukai Luna, sorot mata berkilat nakal yang selalu membuatnya tidak nyaman, Jerome tampak senang seolah tidak ada beban dalam hidupnya.
"Morning, Baby," sapanya ramah.
"Mau ngapain ke sini?" desis Luna tajam sambil mengulang kembali pertanyaannya.
Jerome terdiam sebentar untuk melihat Luna dengan penuh penilaian, lalu memberi seulas senyuman tipis sambil terus menatapnya.
"Gue ke sini buat jemput pacar. Kan udah dibilangin kalau gue bakalan jadi pacar impian buat lu, selama kita jalanin FWB ini. Biar keluarga lu percaya kalau kita beneran pacaran. Kita udah bahas dan lu udah oke, ingat?" jawab Jerome.
Luna benar-benar melupakan hal itu. Keduanya sudah melakukan pembicaraan lewat kesepakatan Sabtu lalu, bahwa Jerome bersikeras untuk mengusahakan antar jemput di setiap harinya, sementara Luna harus membantunya menyelesaikan renovasi kamar di setiap akhir pekan.
Tadinya, itu bukan masalah dan Luna menerimanya. Tapi suasana hati dan pikirannya terganggu oleh karena keributan barusan, yang membuatnya ingin sendiri saja tanpa ada gangguan.
"Lu bisa balik dan langsung kerja aja, nggak usah anter jemput," ucap Luna akhirnya.
Kening Jerome berkerut, lalu segera membuka pintu mobil untuk berdiri berhadapan dengan Luna. Ekspresinya tampak serius.
"Kenapa?" tanyanya.
"Nggak kenapa-napa. Gue..."
"Kalau yang tadinya sepakat, terus tiba-tiba berubah pikiran, itu udah pasti kenapa-napa!" sela Jerome tajam.
"Bukan urusan lu!" sembur Luna.
Jerome mendengus tidak suka. "Sepakat itu artinya berdua, nggak sendirian, Luna. You made a deal with me, so I have the right to know what the fuck was going on here!"
"I'm so fucked up, okay? I don't want any distraction right now, because I don't want to give a fuck at all! All of it! All of the shits! All of this fucking shits!" seru Luna kencang.
Tubuhnya menegang dan napasnya tertahan saat Jerome tiba-tiba memeluknya. Erat. Hangat. Dan terasa benar. Tanpa sadar, dirinya sudah terisak pelan dan membiarkan Jerome membawanya dalam pelukan yang lebih erat.
"It's okay to be like this. Don't worry, you're safe. Just tell me your problems, and I'll chase them away," ucap Jerome dengan nada paling lembut yang pernah didengar Luna.
Untuk pengertian yang diberikan, juga penerimaan yang ditawarkan, Luna mengadu dalam isakan tangis yang memberat sebagai balasan. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini, tapi satu yang pasti, Luna merasa didengar. Satu-satunya kebutuhan yang tidak pernah didapati dari orang yang diharapkan, tapi kini terpenuhi, dan datang dari seseorang yang sama sekali tidak terpikirkan.
Dengan penuh perhatian, Jerome mengarahkannya untuk masuk ke dalam mobil, dan memasangkan sabuk pengaman. Setelah memastikan kenyamanan Luna, barulah Jerome menutup pintu dan memutar untuk masuk ke bangku kemudi.
Tidak ada pembicaraan saat mobil sudah dijalankan, seolah Jerome memahami ketenangan yang dibutuhkan Luna tanpa perlu mengutarakannya.
"Kenapa lu nggak tanya apa-apa lagi sama gue?" tanya Luna sambil menoleh pada Jerome yang begitu serius dalam melajukan kemudi.
"Ada waktunya gue tanya, tapi saat ini, diam adalah hal yang tepat buat lu jaga hati dan emosi," jawab Jerome sambil melirik singkat padanya, memberi senyuman tipis, dan kembali menatap ke depan.
"Kalau mau ngejek atau bilang gue cengeng, nggak apa-apa," balas Luna.
Jerome tertawa hambar dan mengarahkan satu tangan untuk menggenggam tangan Luna yang berada di pangkuan.
"Lu nggak cengeng, dan gue nggak punya alasan untuk mengejek orang yang kuat kayak lu," ujar Jerome.
Luna kembali menoleh dan menatapnya bingung. "Kuat? Gua udah nangis kayak anak kecil di depan lu, tapi lu bilang kuat? Apa nggak salah?"
Jerome menggeleng cepat. "Nope. Everything in life can be an unspoken language, including tears. When it comes out, it doesn't mean you're weak. It's because your heart can no longer handle the pain."
Mendengar hal itu, bibir Luna bergetar, matanya kembali berkabut, dan terasa sesak dalam dada. Mengikuti perasaannya, Luna beringsut maju untuk memeluk lengan Jerome dan kembali menangis di situ.
"It's okay to be sad, but it won't be okay to give up. This too shall pass, Baby," bisik Jerome lembut, yang sukses membuat isakan Luna semakin keras.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Terkadang, beban hidup kita nggak melulu dari diri sendiri, pekerjaan, tapi juga keluarga.
Bermula dari obrolan dengan seorang teman yang masih berjuang untuk mendapatkan kepercayaan orangtua tentang pilihan, juga kesibukan dalam menghadapi cibiran orang karena batas usia yang katanya "expired."
Kamu nggak sendirian, Sis.
Masih banyak Luna yang lainnya, yang menghadapi hal yang sama, dan masih berjuang sampai hari ini.
Berikut adalah obrolan kami.
(You know who you are 😊)
Dan terima kasih sudah menjadi inspirasiku untuk menulis bagian ini, juga memberi pelajaran hidup buatku bahwa apapun yang terjadi, kita harus tetap ingat untuk bersyukur dalam keadaan terberat sekalipun. 💜
And to my own Jerome, thanks for always encourage me.
I love you beyond. 💜
Dear, Will, congrats for your wedding.
Even we can't chat or sharing like before, don't worry, I got all your message from "those". 😊
And I believe, you're always support and follow me in distance.
No matter how far we are, you're still my good friend through the Apps.
You know where to find me.
God bless you more 💜
20.02.21 (22.25 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top