Why Always Him?

Bukan tanpa alasan Kirana masih terjaga padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Baru saja dia menghubungi ponsel Gia namun ternyata ponsel anak semata wayangnya itu tidak bisa dihubungi. Kirana pun tampak gelisah. Gia hanya menitip pesan pada Bibik bahwa dia pergi bersama Adnan.

Kirana lalu tersentak. “Adnan! Kenapa aku tidak menghubungi Adnan saja?” Baru saja dia akan menghubunginya tapi laki-laki itu lebih dulu menghubunginya.

Dengan cepat dia mengangkat panggilan dari Adnan itu. Kemudian dia menghembuskan napas lega setelah mendengar penjelasan Adnan kalau Gia baik-baik saja bersamanya dan meminta izin untuk menginap di puncak karena sudah terlalu malam untuk kembali ke Jakarta.

Kirana pun memberi izin. Lagipula dia percaya dengan Adnan pasti akan menjaga Gia. Adnan sudah seperti kakak dan sahabat bagi Gia. Namun, Kirana mengingatkan Adnan bahwa Gia sudah bertunangan. Kirana tahu, Adnan memiliki perasaan untuk Gia.

Ceklek.

Kirana menoleh ke arah pintu. Dia mengernyitkan dahinya melihat si Bibik di ambang pintu lalu perlahan mendekatinya.

“Bu Kirana, ada tamu.”

“Tamu?” Kirana semakin mengernyitkan dahinya. Siapa gerangan tamu yang datang berkunjung ke rumahnya tengah malam begini?

“Anu Bu, dia tunangannya Non Gia.”

“Oh, Bara?”

Si Bibik mengangguk. “Dia menunggu di teras, Bu.”

“Tolong suruh dia menunggu di ruang tamu ya? Saya akan menemuinya.”

Si Bibik kembali mengangguk lalu permisi. Kirana berpikir sejenak, apa terjadi sesuatu sampai-sampai Bara datang ke rumahnya? Pasti dia ingin menemui Gia, tapi Gia sedang tidak ada di rumah.

“Tunggu dulu, apa Gia tidak memberitahu Bara kalau dia pergi dengan Adnan?” Kirana memikirkan semua kemungkinan. Jika memang Gia tidak memberitahu Bara dirinya pergi dengan Adnan, pastinya sedang terjadi sesuatu. Karena Kirana tahu betul, putrinya itu tidak akan tidak mengabari Bara dia sedang apa, lagi di mana dan bersama siapa.

Terdengar helaan napas. Kirana bangkit dan bergegas menemui Bara.

“Selamat malam Tante, maaf saya datang tengah malam begini.”

Kirana mengangguk. “Kamu pasti ingin menemui Gia kan?”

“Iya Tante, seharian ini saya belum mendengar kabar dari Gia.”

“Seharian?” Kirana tampak terkejut. “Gia benar-benar tidak menghubungi kamu seharian?”

Bara mengangguk. “Biasanya Gia selalu mengabari saya setiap hari, tapi hari ini benar-benar tidak ada kabar dari Gia dan saya baru tahu dari Bibik tadi kalau Gia pergi sama Adnan? Apa benar?”

“Kamu sudah coba menghubungi Gia?”

“Sial! Kenapa enggak kepikiran untuk menghubungi Gia?” Bara lalu merutuki kebodohannya dan rasa gengsinya! Karena dia dengan bodohnya berpikir Gia pasti akan selalu mengabarinya. Jadi menurutnya, dia tak perlu menghubungi Gia dan dia merasa gengsi untuk menghubungi duluan.

Bodoh sama gengsi itu beda tipis, Bar! Ck.

“Jadi kamu belum menghubungi Gia?” Terdengar helaan napas. “Gia, dia memang pergi sama Adnan ke puncak dan mereka menginap di sana karena sudah terlalu malam untuk kembali ke Jakarta,” jelas Kirana menjawab pertanyaan Bara. Terlihat jelas raut wajah Bara menjadi serius. “Tadi Adnan baru saja menghubungi tante.”

“Adnan…,” gumam Bara. “Kenapa selalu dia, sih?”

“Kamu kenal Adnan kan? Dia saudara kembarnya Adira, sahabatnya Gia?”

“Saya kenal Adnan, tante. Dan sudah beberapa kali bertemu dengannya,” Bara tersenyum tipis. “Maaf tante jika saya lancang, tapi saya penasaran dan ingin bertanya sama tante.”

“Bertanya saja, enggak apa-apa.”

“Soal Adnan,” Bara menatap Kirana dengan serius. “Apa tante percaya sepenuhnya dengan Adnan? Maksud saya, tante tidak masalah Gia menginap dengan Adnan padahal tante tahu sendiri Gia sudah bertunangan?”

“Bara, tante tahu kamu khawatir sama Gia, tapi iya, tante percaya sepenuhnya sama Adnan. Dia tidak akan macam-macam dengan Gia. Dia akan menjaga Gia baik-baik.”

“Apa tante tahu kalau Adnan menyukai Gia?”

Kirana tersenyum. “Lebih tepatnya, Adnan mencintai Gia. Dia sangat mencintai Gia. Dan karena itu, tante sangat percaya padanya.”

Bara semakin mengkerutkan dahinya. “Tante tidak lupa kan? Kalau Gia sudah bertunangan dengan saya?”

“Tidak, tante sama sekali tidak lupa,” Kirana terdiam sejenak. “Bara, tante selalu mengingatkan Adnan kalau Gia sudah bertunangan dengan kamu. Tante tidak bisa melarang Adnan untuk mencintai Gia. Karena tante juga tidak bisa menghentikan dia mencintai Gia,” Bara mencoba mengerti maksud dari kata-kata Kirana. “Jika Gia pada akhirnya jatuh cinta sama Adnan sebelum dia menikahi kamu, tante tidak akan memaksakannya menikahi kamu. Begitu juga dengan kamu, jika kamu memang tidak bisa mencintai Gia, tante mohon, jangan menikahinya.” Penjelasan terakhir Kirana membuat Bara paham akan satu hal, yaitu, dia bisa kehilangan Gia.

Kirana seakan memberi peringatan pada Bara, bahwa seorang Adnan bisa saja memiliki Gia. Karena benar apa kata Kirana, dia tidak bisa menghentikan Adnan mencintai Gia. Lalu bagaimana dengan Gia? Seyakin apapun Bara meyakinkan dirinya sendiri bahwa Gia mencintainya, namun, apapun bisa terjadi. Karena sejatinya hati Gia bukanlah miliknya, bukan juga milik Adnan. Hatinya milik Sang Pemilik Hati yang bisa dengan mudahnya membulak-balikkan hati.

∆ ∆ ∆

Wajah Bara terpapar sinar matahari yang menembus jendela kaca mobilnya yang setengah terbuka. Silaunya perlahan membuat Bara tersadar dari tidurnya. Semalam dia memutuskan untuk menunggu Gia di dalam mobilnya tepat di depan rumah Gia.

Serius Bara nungguin Gia? Ck. Salut!

Bara membenarkan posisi duduknya di kemudi lalu dia meregangkan tubuhnya kemudian menguap berkali-kali. Setelahnya, Bara melihat sekeliling, kompleks perumahan Gia masih sepi padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Perlahan Bara membuka kaca mobilnya yang terbuka setengah menjadi terbuka lebar. Udara pagi yang hangat menerpa wajahnya. Untuk sejenak dia memejamkan mata menikmati kehangatan itu hingga kembali dia teringat kata-kata Kirana semalam.

“Jika Gia pada akhirnya jatuh cinta sama Adnan sebelum dia menikahi kamu, tante tidak akan memaksakannya menikahi kamu. Begitu juga dengan kamu, jika kamu memang tidak bisa mencintai Gia, tante mohon, jangan menikahinya.”

Bara lantas membuka matanya pelan dan tepat pada saat matanya terbuka, dia melihat pemandangan yang sangat tidak disukainya. Gia kembali bersama Adnan. Selalu Adnan! Dengan jelas dia melihat senyuman Gia, yang selalu ditunjukkannya kepada pria itu.

Apa Gia akan menunjukkan senyuman itu kepadanya?

Bara mendecak lalu terdiam menyadari kalau Gia juga selalu tersenyum seperti itu kepadanya namun dia selalu mengacuhkannya dan kini, apa dia berhak marah dengan senyuman Gia yang diberikan kepada Adnan?

“Gia!” Bara berjalan mendekatinya. “Hebat ya? Sekarang sudah berani pulang pagi?” Gia tampak kaget melihat Bara sepagi ini ada di depan rumahnya dan terlihat marah. Dia lalu menundukkan kepalanya. Takut. “Kemarin kenapa enggak ada kabarnya sama sekali?”

“I-itu, ponsel Gia mati.”

“Oh, ponselnya mati?” Gia mengangguk. “Emang ponsel lo mati seharian? Enggak kan? Kenapa lo bisa sampai enggak ada kabar sama sekali?” Gia semakin menunduk takut.

Melihat Gia ketakutan membuat Adnan tak bisa mengendalikan dirinya. “Lo jangan marah-marah sama Gia! Lagian apa peduli lo kalau Gia enggak ada kabarnya?”

Bara melirik Adnan tajam. “Gue enggak ngomong sama lo!” Tanpa mempedulikan Adnan yang mulai emosi, dia mendekati Gia. “Kita harus bicara!” Dengan cepat Bara menangkap pergelangan tangan Gia namun disentak oleh Gia lalu perlahan Gia berjalan mundur bersembunyi dibalik tubuh Adnan seakan meminta perlindungan. “Gi…?” Bara tekejut dengan reaksi Gia yang menghindarinya.

“Lo liat kan? Gia enggak mau bicara sama lo!” Adnan tersenyum tipis.

Bara mengepalkan kedua tangannya. Tak mengindahkan Adnan, dia kembali mencoba menangkap pergelangan tangan Gia namun Adnan berhasil menepis tangannya.

“Lo apa-apaan sih!? Ini urusan gue sama tunangan gue!”

“Tapi tunangan lo enggak mau bicara sama lo!”

“Gue harus bicara sama dia! Dan lo jangan coba-coba menghalangi gue!”

“Gue enggak akan menghalangi jika tunangan lo memang mau bicara sama lo!”

Bara tertawa sinis. “Apa perlu kita yang bicara? Sebagai laki-laki yang sama-sama menginginkan Gia?”

Adnan tersenyum tipis. “Kenapa enggak?”

Melihat Bara dan Adnan bersitegang membuat Gia ketakutan kalau mereka akan bertengkar hebat. Gia lalu memutuskan bicara. “Adnan, sebaiknya Gia bicara sama Bara. Lagipula, ada hal penting yang mau Gia bicarakan sama Bara.”

“Tapi, Gi…”

“Enggak apa-apa. Gia pasti baik-baik saja.”

Adnan bergeming tak bisa mencegahnya, Gia berjalan pelan ke mobil Bara dan memasukinya. Bara melirik Adnan yang tak memedulikannya, dia tersneyum penuh kemenangan.

Bara memutuskan membawa Gia sarapan bubur di sebuah kedai bubur di ujung kompleks. Terlihat kedai itu masih sepi. Bara dan Gia duduk berhadapan di pinggir dekat jendela, agak menjauh dari beberapa pelanggan lainnya.

“Kenapa enggak di makan buburnya?”

Gia menggeleng. “Bara udah selesai sarapannya?”

“Gue udah selesai, tapi gue mau lo juga makan sarapan bubur lo.”

Sekali lagi Gia menggeleng. “Gia, Gia enggak lapar.”

“Oke terserah,” Bara memundurkan punggungnya lalu menatap Gia yang setengah menduduk. Bibirnya mencebik dan entah kenapa hal itu membuatnya gemas. Kemudian dia melihat kedua telunjuk Gia saling beradu. Seketika Bara paham kalau Gia sedang gelisah. “Gue mau bicara sama lo, soal pertunangan kita…”

“Gia juga! Gia…”

Bara dan Gia saling bersitatap. Namun kedua tatapan mereka berbeda arti. Jika tatapan Bara mengartikan dia ingin memperjelas status pertunangannya dengan Gia. Maka tatapan Gia mengartikan sebaliknya.

“Lo duluan aja yang bicara.” Bara melirik Gia lamat-lamat. Perasaannya menjadi tidak keruan melihat Gia terlihat semakin gelisah dengan menggigit bibir bawahnya.

“Gia…,” Kepalanya menunduk tak berani menatap Bara. “Gia ingin membatalkan pertunangannya.” Suaranya pelan hampir tidak terdengar namun Bara dengan jelas mendengarnya.

Entah apa karena suasana kedai masih sepi atau mungkin karena Bara terlalu fokus hanya mendengarkan suara Gia.

“Lo ingin membatalkan pertunangannya?” Gia mengangguk. “Lo yakin bisa membatalkan pertunangannya?” Gia hampir saja ingin mengangguk tapi kemudian dia mendongak, menatap Bara dengan bingung. Bara tersenyum tipis menyadari kebingungan Gia. “Gue bakal pastiin lo enggak akan bisa membatalkan pertunangan kita.”

∆ ∆ ∆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top