Perhatian Adnan

“Adnan, terima kasih ya udah jemput Gia. Padahal tadi Gia nelpon Dira minta jemput.”

“Sama-sama Gi, kebetulan aja tadi gue baru nyampe rumah dan Adira kasih tahu gue kalau lo minta dijemput,” terdengar helaan napas. “tapi gue beneran enggak habis pikir sama Bara! Bisa-bisanya dia ninggalin lo sendirian di kebun binatang!?” kedua tangan Adnan mengepal menahan amarah. “nyokap lo harus tahu Gi!”

Buru-buru Gia menggenggam tangan Adnan. “Jangan! Mama enggak boleh tahu kalau Bara ninggalin Gia sendirian di kebun binatang.”

“Tapi, Gi…”

“Adnan.. Gia mohon! Kalau mama sampai tahu, nanti mama bakal marah sama Bara. Gia enggak mau Bara jadi benci sama Gia.”

“Kenapa Bara harus benci sama lo Gi? Dia yang salah! Lo berhak marah sama dia!”

Gia menunduk sambil perlahan menggeleng kepalanya. Kedua telunjuknya pun beradu lalu terdengar isakan.

“Gi?” Adnan mengelus lembut puncak kepala Gia.

“Adnan janji ya? Jangan kasih tahu mama?” Gia mengusap airmatanya seraya memohon.

Adnan mendesah sambil menatap Gia dengan tatapan yang sulit diartikan. Bagaimana bisa Gia tidak marah sama Bara setelah apa yang dilakukan laki-laki itu dan bahkan Gia sangat ketakutan Bara jadi membencinya?

Kalau memang apa yang dilakukan Gia terhadap Bara karena cinta. Adnan benar-benar harus berpikir diluar logika. Sungguh hebat apa yang bisa dilakukan oleh sebuah perasaan cinta sampai-sampai seseorang bersikap yang tak bisa dijelaskan oleh nalar.

Tapi jika orang itu adalah Gia, Adnan sendiri tak bisa menerima dengan cara Gia melihat Bara yang begitu dicintainya. Karena apa yang dirasakan Gia juga dirasakannya. Hanya saja, orang yang Adnan cintai adalah seorang Gia yang tak mungkin dia raih hatinya karena sudah memilih seorang Bara. Dan seorang Adnan hanya bisa tersenyum, mencoba selalu di sisi Gia, membuatnya bahagia dan tentu saja tak bisa menolak permintaannya.

“Oke, Gi. Gue enggak akan cerita ke nyokap lo.”

Senyum Gia pun merekah. “Makasih ya, Adnan memang yang terbaik!” Gia mengacungkan jempolnya.

Hati Adnan menghangat melihat senyum Gia. Biarpun amarah kini masih menguasai dirinya karena apa yang sudah dilakukan Bara tapi melihat Gia tersenyum karena dirinya, Adnan tak punya alasan untuk tak senang melihat senyum itu.

Di keramaian jalanan malam itu, Adnan melajukan mobilnya menuju sebuah rumah makan padang yang masih buka.

“Turun, Gi.”

Gia melirik keluar jendela. “Kita ngapain ke sini?”

“Makan malam dulu Gi, lo belum makan kan?”

Gia menggeleng pelan lalu menunduk memandang perutnya yang membuncit. Baru diingatnya sejak ditinggal Bara di kebun binatang hingga dijemput Adnan, dirinya belum menelan makanan apapun. Tapi orang pasti tidak akan menyangka kalau dia kelaparan jika melihat tubuh gemuk dan perut buncitnya.

“Yuk! Turun?” Adnan tiba-tiba saja sudah membuka pintu mobil. Dia mengulurkan tangannya mengajak Gia turun.

Gia meraih uluran tangan Adnan kemudian turun dari mobil. Sesaat setelah Adnan menutup pintu, dia agak terpukau melihat Gia yang sedang memeluk boneka tampak seperti anak kecil di tubuh orang dewasa.

Tapi justru hal itu yang membuat Adnan jatuh cinta kepada Gia.

“Adnan, kita mau makan malam di sini?”

“Iya, Gi. Kenapa?”

“Adnan beneran mau beliin Gia makanan di piring-piring itu?”

Adnan mengernyitkan dahinya lalu dia melihat ke arah yang ditunjukkan Gia. Dibalik kaca rumah makan padang itu berjejer rapih piring-piring dengan aneka makanan padang di atasnya. Dia kemudian tertawa.

“Ih kok ketawa sih?” Gia mencebikkan bibirnya. “Adnan beneran mau beliin Gia makanan di piring-piring itu? Kan banyak banget!”

Adnan masih tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Dia lalu mengacak lembut puncak kepala Gia. “Menggemaskan banget sih lo Gi!”

“Adnan ih! Rambut Gia diacak-acak!”

“Udah yuk masuk! Nanti semua makanan di piring-piring itu gue beliin buat lo!”

“Beneran?” Gia tampak berbinar senang.

“Iya!” Adnan lalu menarik tangan Gia masuk ke dalam.

Rumah makan padang tersebut tampak sepi namun terlihat sangat bersih dan rapih. Baik Gia maupun Adnan melihat sekeliling. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumah makan padang yang cukup besar dan luas itu sendiri ternyata buka selama 24 jam.

Seorang pramusaji membawakan piring-piring dengan aneka jenis makanan di kedua tangannya untuk disajikan di atas meja.

Gia tampak terkejut dan memang baginya ini yang pertama kalinya melihat seseorang membawa banyak piring di tangannya.

“Waaah… itu piringnya bisa enggak ada yang jatuh ya?” Gia melotot dengan mulut sedikit menganga melihat pramusaji yang cekatan membawakan piring dan menatanya di atas meja.

Pramusaji itu hanya tersenyum. “Baru pertama kali Dek ke rumah makan padang?”

Gia mengangguk dengan cepat lalu menyengir. “Makanannya banyak ya? Ini boleh di makan semua?”

“Ya boleh lah. Asal jangan lupa dibayar.”

“Pasti dibayar kok! Sama dia!” Gia menunjuk Adnan dengan menyengir lebar memperlihatkan kawat giginya.

“Adiknya lucu banget Mas.”

Adnan yang tadinya tersenyum seketika wajahnya langsung datar. Adik? Dia lalu berdeham. “Maaf, dia bukan adik saya.”

“Oh maaf, saya kira adik masnya.”

“Bukan, dia sahabat saya.”

“Oh sahabat ya?” pramusaji itu pun tampak kikuk. “mau pesan minum apa?”

“Teh manis hangat dan…,” Adnan melirik Gia. “jus alpukat.” Dia tersenyum setelah menyebutkan minuman favorit Gia.

Gia dengan lahap memakan semua makanan yang diambilnya dari atas piring. Sebuah ayam opor, rendang, sayur nangka tidak lupa tempe, tahu dan perkedel.

Astaga Gia! Lo enggak makan berapa hari?

“Sluuuuurrrrpppp…. Kenyaaaaang!” Gia mengelus perutnya setelah meminun habis jus alpukatnya.

Bukan tanpa alasan kenapa Gia begitu senang makan di rumah makan padang dan makan begitu lahapnya. Sudah beberapa hari Gia mengikuti program diet dari Adira yang mengharuskan Gia memakan makanan tanpa lemak. Alhasil, Gia hanya memakan salad dan buah-buahan saja dan kini Gia baru teringat dengan program diet itu.

“Mau nambah lagi enggak?” Adnan menyeka sudut bibir Gia yang ada noda jus alpukat dengan ibu jarinya.

Gia menggeleng dan tersenyum semringah. “Gia udah kenyang kok! Makasih ya, Adnan selalu bisa buat Gia senang dan bahagia.”

Baru sadar Gi? Tapi sayangnya lo cinta sama Bara bukan Adnan.

“Gue ikut senang kalau lo juga senang, Gi,” Adnan menatap Gia lekat. “Pokoknya, kalau Bara membuat lo sedih lagi. Lo hanya harus ingat kalau gue pasti akan menghapus kesedihan lo itu dan gue akan membuat lo senang dan bahagia lagi. Gue janji.”

Gia mengangguk cepat. “Gia akan selalu ingat Adnan! Karena Gia sayang sama Adnan. Hanya Adnan yang bisa buat Gia senang dan Adnan adalah sahabat Gia seperti Adira.”

Adnan hanya bisa tersenyum getir mendengar perkataan Gia. Sahabat? Ya! Bagi Gia, dirinya hanyalah sahabat. Dan Adnan tak mempermasalahkan hal itu. Lebih baik mencintai dibalik status sahabat daripada harus kehilangan. Setidaknya Adnan bisa terus menyayangi Gia, memberi perhatian padanya, membuatnya bahagia, selalu berada di dekatnya, selalu di sisinya.

Meski Adnan tahu itu enggak akan selamanya. Hanya untuk saat ini. Sebelum seorang Bara memiliki Gia seutuhnya.

“Mm, Adnan?”

“Ya?”

“Mau janji satu hal lagi enggak sama Gia?”

“Janji apa?”

“Jangan kasih tahu Adira ya kalau Gia makan di rumah makan padang?”

“Loh? Emangnya kenapa?”

“Ih! Adnan janji ya?”

Adnan bersedikap dan menatap Gia dengan kedua alis bertaut. “Enggak mau ah! Kasih tahu dulu alasannya!”

“Adnan ih!” Gia mencebikkan bibirnya. “janji dulu baru Gia kasih tahu alasannya.”

“Enggak mau! Kasih tahu dulu alasannya!”

Gia semakin mencebikkan bibirnya dan menggeleng kuat.

Adnan menghembuskan napas pelan. “Oke, gue janji. Sekarang kasih tahu alasannya?”

“Itu…,” Gia memainkan kedua telunjuknya. “Gia lagi ikutan program diet dari Adira.”

“Diet?” Gia mengangguk. “Lo mau diet Gi?” Sekali lagi Gia mengangguk cepat.

Adnan menatap Gia dengan sebuah pertanyaan “Kenapa tiba-tiba Gia mau diet?” dan dari banyaknya jawaban yang dia pikirkan hanya satu kemungkinan kenapa cewek gemuk yang manis di hadapannya ini tiba-tiba ingin diet. Kemungkinan jawaban itu tentu saja jawaban yang sangat tak diinginkan oleh Adnan.

“Gi… kalau boleh tahu kenapa lo tiba-tiba ingin diet?”

“Demi Bara…”

“Bara?”

Gia mengangguk dengan mata penuh harap. “Gia mau Bara melihat Gia sebagai wanita. Gia juga mau Bara jatuh cinta sama Gia. Tapi, bagaimana Bara melihat Gia? Bagaimana Bara jatuh cinta sama Gia? Kalau Gia sendiri seperti ini?” Gia menunduk menatap tubuhnya. “Pacarnya Bara, dia cantik banget. Tubuhnya juga enggak seperti Gia…” dan Gia semakin menunduk.

“Gi…” Adnan sungguh tercengang mendengar penuturan Gia. Apa Bara sudah sangat meracuni hati dan pikiran Gia hingga Gia harus segala melakukan diet?

Karena bagi Adnan, bagaimana pun bentuk fisik Gia, hatinya tidak akan berhenti jatuh cinta pada Gia. Baginya, Gia adalah bentuk keindahan yang sempurna yang tidak akan dimengerti oleh siapapun terutama seorang Bara.

∆ ∆ ∆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top