Password

Bara baru saja selesai mandi pagi itu, dia melihat dirinya di cermin lemari pakaiannya sambil merapihkan kemejanya. Dia hendak bersiap-siap untuk berangkat kuliah lalu pergerakannya terhenti. Dengan dahi berkerut dia menatap dirinya sendiri di pantulan cermin. Kata-kata Gia kembali terputar di memori ingatannya.

“Enggak apa-apa jika Bara enggak peduli sama Gia, selama Gia peduli sama Bara, buat Gia itu enggak masalah.”

Dengan sedikit menunduk Bara mendesah pelan. “Gue peduli sama lo, Gi.”

Ceklek.

“Bang, ada Kak Ica tuh di ruang tamu.”

Bara menoleh. Dia melihat adiknya di ambang pintu. “Iya dek.”

“Bang Bara kemarin ke mana sih? Kata mama, abang jalan sama bakpao berjalan itu ya?”

“Dek,” Bara terdiam sejenak melihat adiknya dengan tatapan sedikit tidak suka. “ Namanya Asmara Bahagia, panggilannya Gia.”

“Iya, iya, Aira tahu!” Dia mendengus. “Tumben banget Bang ngebela si bakpao itu?”

“Aira! Udah gue bilang namanya Gia!”

Aira sedikit terkejut mendengar Bara membentak dirinya. “Terserah deh!” Dengan kesal Aira keluar dari kamar Bara dan membanting pintunya.

Bara menghembuskan napas berkali-kali mencoba meredekan emosinya. Dia juga tak mengerti kenapa menjadi emosi mendengar adiknya meledek Gia dengan sebutan ‘bakpao berjalan’. Karena ini bukan yang pertama kalinya dan biasanya dia tidak masalah. Dengan segala kebingungannya, Bara memutuskan untuk segera menemui Clarissa di ruang tamu.

“Maaf ya agak lama nunggunya?”

“Enggak apa-apa kok, Yang. Tadi aku ditemenin sama adik kamu sebentar.”

“Kamu udah sarapan?”

“Belum sih, tapi kita sarapan di kampus aja deh. Kamu juga belum sarapan kan?”

Bara menggeleng. “Yauda kalau gitu kita berangkat?”

“Eh tunggu sebentar,” Clarissa menahan Bara sejenak. “Aku mau minta maaf soal kemarin. Aku rasa udah egois sama kamu. Kita baik-baik aja kan?”

Bara tersenyum lalu mengelus lembut puncak kepala Clarissa. Namun senyumannya perlahan memudar karena sekelebat bayangan Adnan yang hendak mengelus puncak kepala Gia muncul di ingatannya.

“Sayang? Yang? Bara!”

“Iya!?”

“Kamu kenapa sih? Aku tanya, kita baik-baik aja kan?”

“Iya sayang, kita baik-baik aja.” Bara meneguk salivanya lalu memalingkan wajahnya. “Sial! Kenapa daritadi gue kepikiran Gia mulu sih!”

“Kamu, enggak ada yang mau diomongin sama aku?” Bara menatap Clarissa bingung. “Kamu enggak mau minta maaf sama aku?” tanya Clarissa dengan tatapan intimidasi.

Bara mengusap tengkuk lehernya. Oke, Bar! Di mana-mana cowok yang harusnya minta maaf duluan!

“Aku minta maaf ya sayang, soal kemarin itu aku enggak bisa ninggalin acaraku itu.”

Clarissa mengangguk. “Iya aku maafin, aku ngerti kok itu acara sama tunangan kamu itu kan?”

“Sayang…”

“Yauda lah Yang, enggak usah di bahas! Kita berangkat sekarang aja yuk!?”

Bara mengangguk. “Mau nih cewek apa sih? Dia yang mulai bahas, dia yang marah-marah!”

Putusin aja udah, Bar! Putusin!

Bara dan Clarissa akhirnya berangkat menuju kampus dan mereka memutuskan sarapan di salah satu kantin. Pada saat itu Bara teringat kalau ponselnya tertinggal di apartemen Clarissa.

“Sayang,” Bara mengusap hidungnya. “Kemarin kayaknya ponsel aku ketinggalan di apartemen kamu?”

“Eh iya,”Clarissa merogoh tasnya. “Ini aku bawa kok ponsel kamu.”

“Terima kasih ya.” Bara langsung memainkan ponselnya.

“Ponsel kamu di password dan aku enggak tahu kodenya. Aku coba ketik tanggal jadian kita atau tanggal lahir kamu, tapi ternyata dua-duanya salah.” Clarissa tersenyum tipis. “Aku pikir mungkin itu tanggal lahir aku, ternyata bukan juga,” Dia lalu menatap Bara. “Aku penasaran sama password ponsel kamu.”

Bara berhenti memainkan ponselnya lalu menatap Clarissa. “Harus banget kamu tahu password ponsel aku?”

“Kenapa enggak?” Clarissa mengendikkan bahunya. “Aku kan pacar kamu.”

“Iya, aku tahu kamu pacar aku. Tapi ponsel aku ini kan privasi aku.”

“Privasi kamu atau ada yang kamu sembunyiin dari aku?” selidik Clarissa.

“Enggak ada yang aku sembunyiin dari kamu!” tegas Bara mulai kesal.

“Kalau emang enggak ada yang kamu sembunyiin, apa masalahnya sih kasih tahu aku password ponsel kamu?”

Bara mendekatkan dirinya kepada Clarissa. “Aku enggak mau kita bertengkar karena masalah ini.”

Clarissa bersidekap dan menatap Bara tajam. “Aku juga enggak mau, sayang. Jadi, kasih tahu aku password ponsel kamu!”

Bara menghembuskan napas kasar dan menjauhkan dirinya dari Clarissa. Dia melirik kekasihnya itu dengan wajah kesal. “070605.”

Clarissa memasang ekspresi bingung setelah mendengar ucapan Bara. “070605? Itu tanggal apa?”

Bara tersenyum. “Enggak perlu lah kamu tahu itu tanggal apa. Bukannya kamu cuma pengen tahu password ponsel aku?”

“Ya enggak gitu juga,” Clarissa mengurai rambut ikal sebahunya. “Aku juga penasaran sih, apa tanggal itu sangat berarti banget buat kamu sampai kamu jadiin password?”

Bara mengangguk. “Iya, tanggal itu sangat berarti buat aku.”

“Apa aku enggak boleh tahu, hal yang sangat berarti itu apa?”

“Maaf sayang, untuk hal ini biar aku simpan sendiri sebagai kenangan.”

Clarissa hanya bisa terdiam dan tak mau lagi mendebat. Dia menatap Bara dengan berjuta pertanyaan terputar di otaknya. Tanggal apa itu? Hal berarti apa? Kenapa Bara tak mau dirinya tahu? Dan hal itu benar-benar merasuki rasa penasarannya.

Bara sendiri merasa ini adalah hal yang tepat untuk tidak memberitahu Clarissa alasan dari tanggal yang dijadikan password olehnya. Karena dibalik tanggal itu memang ada kenangan yang sangat berarti baginya. Hanya saja dia tak mau mengakuinya pada orang lain bahkan kepada kekasihnya sendiri.

Kenangan itu sangat berarti bagi Bara tanpa disadarinya, setiap kali dia mengingatnya, dia akan tersenyum dan tertawa. Dirinya sendiri tak menyangka akan memiliki kenangan itu meski dirinya malu untuk mengakui bahwa dia bersyukur mengalami kejadian itu. Dia masih belum bisa membaca perasaannya yang sebenarnya.

Cukup lama Bara dan Clarissa tak berbicara. Suasana menjadi hening dan Bara memutuskan untuk memainkan kembali ponselnya yang sempat tertunda. Dibukanya aplikasi whatssap. Bibirnya sedikit tersenyum melihat salah satu pesannya.

AsmaraGia

Bara, terima kasih ya sudah mau jujur sama mama.

Gia janji, Gia pasti bisa buat Bara jatuh cinta sama Gia.

∆ ∆ ∆

Gia membuka kembali layar ponselnya. Tidak ada pesan balasan dari Bara namun pesan tersebut sudah dibaca. Dia kemudian memanyunkan bibirnya. Seharusnya Gia jangan terlalu berharap kalau Bara akan membalas pesannya. Apalagi jika bukan hal penting. Lagipula, kapan Bara akan membalas pesannya? Kecuali jika Bara yang terlebih dahulu mengirim pesannya. “Apa susahnya sih balas pesan aku?” gerutunya.

“Eh ada non Gia.”

“Iya Bik.”

“Ini Non, Tadi Non Dira pesan J.Co.”

“Oh iya Bik, taruh aja di sini.” Gia menepuk-nepuk kasur. SI Bibik lalu menaruh sekotak J.co di atas kasur kemudian dia permisi.

Gia melanjutkan kembali aktivitasnya memainkan ponsel, namun wangi harum yang menguar dari kotak J.Co berhasil mengalihkan perhatiannya. Perlahan dia membuka kotak itu dan mengintip. Ada selusin donat terlihat dengan aneka rasa.

“Astaga! Mau!” pekik Gia dalam hati dengan ekspresi mau menangis. Dia lalu melirik pintu kamar mandi dimana Adira berada di dalamnya. Kemudian dia mengintip isi kotak J.Co itu lagi. “Makan satu aja ah, mumpung Dira lagi di kamar mandi,” Dengan mengangguk yakin, Gia mengambil sepotong donat. “Nanti kalau Dira nanya kenapa donatnya kurang satu, bilang aja mungkin ketinggalan satu donatnya.” Gia terkikih memikirkan alasan yang dibuatnya.

Tanpa ragu, Gia lalu menggigit sepotong donat yang sudah diambilnya dan tepat pada saat itu Adira keluar dari kamar mandi. “Giaaa!!! Itu donat gueee!!!”

“Uhuk! Uhuk!”

“Gia lo ngapain makan donat gue!”

“Ya ampun Dira ih temennya keselek malah diomelin!”

“Gue berhak ngomel!” Dira mendekati Gia. “Lo makan donat gue! Udah berapa potong lo makan!?”

“Ini baru juga segigit.” Gia menyodorkan donat bekas gigitannya ke Dira. “Mau?”

“Giaaaaa!!!” Dan Gia hanya memasang ekspresi tak bersalah. “Lo gimana sih Gi? Katanya mau diet? Tapi liat donat aja enggak tahan!”

Seketika raut muka Gia berubah. “Yauda iya, nanti Gia ganti donatnya.”

Dira menghela napas. “Bukan masalah donatnya, tapi lo enggak bisa konsisten! Gimana berat badan lo mau turun kalau lo sendiri enggak ada niat buat nuruninnya?”

“Gia niat kok! Gia kan mau buat Bara jatuh cinta sama Gia!”

“Apaan niat! Tuh donat gue lo makan!”

“Iya, Maaf. Maaf.”

“Yauda lah habisin aja donatnya!”

Tapi Gia justru menaruh donat yang ada ditangannya kembali ke dalam kotak. “Enggak ah, udah segigit aja.”

“Ih Gia! Mubazir! Trus siapa yang mau makan itu donat?”

Sambil menyengir, jari telunjuk Gia mengarah ke arah Dira. Dengan kesal Dira mengambil kotak J.Co di atas kasur lalu memindahkannya ke atas meja rias. Dia lalu duduk di samping Gia.

“Gimana sama Bara?” tanya Adira.

Gia hanya mengendikkan bahu. “Dia enggak balas pesan Gia.”

“Yaelah Gi! Emang kapan si Bara balas pesan lo?”

Gia menggeleng. “Enggak pernah.”

Adira tertawa. “Mending lo samperin aja si Bara! Daripada lo pandangin tuh ponsel, sampai kiamat juga enggak bakal dia balas pesan lo!” Gia menatap Dira lalu beralih ke ponselnya. “Denger ya Gi, setelah mendengar apa yang terjadi kemarin malam dari Adnan. Gue yakin Bara punya perasaan sama lo.”

“Tapi… kok Gia enggak yakin ya?”

“Nah itu dia! Lo harus tanya Bara!”

“Jadi… Gia harus tanya Bara?”

“Ya iyalah! Kan lo gak yakin! Siapa tau aja apa yang gue duga bener?”

Dan akhirnya Gia memutuskan akan bertanya pada Bara tentang apa yang Adira duga. Gia harus menanyakan langsung pada Bara. Ya! Setidaknya Gia harus yakin kalau yang dikatakan Adira memang benar walau kemungkinannya kecil!

Demi perasaan cintanya pada Bara!

Demi pertunangannya dengan Bara!

∆ ∆ ∆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top