Never Give Up

Setelah pergi membeli es krim dengan Adnan, perasaan Gia yang tadinya sedih mengetahui Bara sudah memiliki kekasih perlahan membaik. Gia lalu bersiap-siap akan pergi ke kampus untuk mengikuti satu mata kuliah di sore hari.

"Non Gia mau berangkat ke kampus?" tanya Bibik.

"Iya Bik, Mas Tedjo mana ya?"

"Ada Non di belakang, bentar ya Bibik panggilkan."

Gia mengangguk. "Bilangin ya Bik, Gia nunggu di depan!"

Gia lalu buru-buru ke depan rumahnya, menunggu supirnya Mas Tedjo sambil menyenderkan punggungnya di pintu mobil.

Enggak beberapa lama kemudian, Mas Tedjo muncul setengah berlari.

"Maaf ya Non Gia, nunggu kelamaan."

"Enggak kok," Gia tersenyum. "udah yuk langsung jalan aja."

Matahari sudah di atas kepala saat Gia dan supirnya berada di jalanan menuju Universitas Garuda Pancasila.

"Mas Tedjo, bisa cepetan dikit enggak?" tanya Gia memanyunkan bibirnya.

"Aduh Non, kalau jalanan sepi mah Mas Tedjo juga udah ngebut daritadi."

Gia semakin memanyunkan bibirnya, melihat ke depan di mana mobil-mobil tidak bergerak. Gia pun semakin gelisah, bukan karena dia takut terlambat masuk kelas, tidak! Jam masuk kelasnya masih lama hanya saja Gia takut kalau Bara sudah pulang dari kampus.

Bukan hal aneh jika Gia sampai-sampai mengikuti Bara ke perguruan tinggi yang sama meski bukan di jurusan yang sama. Karena Gia gagal masuk di jurusan yang sama dengan Bara. Sejak dari TK, Gia selalu mengikuti ke mana Bara sekolah.

Mamanya Gia tidak melarangnya, lagipula mamanya Bara senang sekali Gia bisa masuk sekolah hingga perguruan tinggi yang sama dengan Bara. Beliau sampai berpesan pada Bara agar menjaga Gia baik-baik saat di sekolah dulu dan di kampus sekarang.

Mobil yang dinaiki Gia akhirnya memasuki perkarangan kampus. Dengan tergesa-gesa Gia turun dari mobil dan melangkahkan kakinya cepat menuju gedung jurusan Bisnis Manajemen tempat Bara kuliah.

Mata Gia bergerilya mencari Bara di sepanjang koridor jurusan, dia juga mengintip setiap kelas hanya untuk mencari sosok Bara sampai di ruangan kelas terakhir Gia mencoba mengintip, memasukkan setengah badannya dan wajahnya celingak-celinguk namun tak ditemukannya laki-laki itu.

Gia mendesah pasrah. Baru saja dia mengeluarkan badannya dan hendak pergi, tiba-tiba dia mendengar sesuatu dari dalam kelas yang menarik perhatiannya.

"Eh jadi beneran ya Bara pacaran sama Clarissa?"

"Loh? Memang mereka pacaran kan sudah lama?"

"Serius? Sudah lama? Sejak kapan?"

"Denger-denger sejak mereka masih SMA tapi putus nyambung gitu sih."

"Berarti mereka balikan ya? Soalnya gue baru aja lihat Bara sama Clarissa tadi mesra banget."

"Hmm iya kali mereka balikan. Tapi lo lihat mereka di mana?"

"Di tempat anak-anak biasa nongkrong, taman samping gedung ini."

Gia mendengarkan obrolan dua orang cewek di dalam kelas itu dengan kedua telunjuk saling beradu dan bibir yang membentuk kurva melengkung ke bawah.

"Bara dan Clarissa berpacaran sejak SMA?" Gia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa selama ini dia tidak tahu? Padahal dulu dirinya satu SMA dengan Bara.

Dia pun memutuskan untuk segera pergi dari ruangan kelas tersebut. Langkah kakinya dengan cepat terayun menuju tempat anak-anak jurusan Bisnis Manajemen biasa nongkrong.

Ketika dirinya hampir sampai, langkah kakinya pun terhenti. Dari kejauhan dia bisa melihat sosok yang sangat dikenalnya itu. Tentu saja bersama seorang cewek yang kini statusnya sebagai kekasihnya.

Gia bahkan tunangannya! Tapi tak ada satu pun orang di kampus ini yang mengetahuinya. Sahabat Gia, Adira Winata dan kembarannya Adnan Winata tak berkuliah di kampus yang sama dengan Gia dan Bara.

Tubuhnya sedikit bergeser bersembunyi di balik dinding sambil sesekali melirik ke arah Bara. Laki-laki itu sedang duduk bersampingan dengan Clarissa, dia merangkul pinggang Clarissa dan mengecup puncak kepalanya. Clarissa lalu menyenderkan kepalanya di bahu Bara.

Mereka asyik bercengkerama.

Terlihat sangat mesra.

Hati Gia memanas. Matanya berair dan kedua telunjuknya saling beradu. Dia menggigit bibir bawahnya. Gia cemburu! Dirinya bahkan berstatus tunangan Bara, tapi laki-laki itu tak pernah memperlakukannya seperti dia memperlakukan Clarissa.

Gia memutuskan untuk beranjak pergi dari tempat itu. Niatannya memang hanya ingin melihat Bara sebelum memulai kelasnya. Tapi niatannya itu berbuntut menjadi pemandangan yang sangat menyakitkan baginya.

Nahas, saat berbalik Gia menabrak sekumpulan cewek-cewek cantik khas anak jurusan manajemen dan membuatnya jatuh terjerembab. Gia langsung berdiri dan meminta maaf berkali-kali lalu dia segera berlari meninggalkan tempat itu.

Pada saat itu, Gia tak mengetahui. Bara tanpa sengaja melihat kejadian dirinya terjatuh. Awalnya Bara tak tahu siapa cewek itu, sampai saat cewek itu berdiri dan melihat postur tubuhnya yang pendek dan gemuk ditambah lagi dia melihat sebuah gantungan boneka Teddy Bear di ranselnya, Bara langsung mengenalinya.

"Gia!?"

∆ ∆ ∆

Malamnya Gia memutuskan untuk mengunjungi sahabatnya, Adira. Berhubung tadi pagi setelah Gia mampir ke rumah Bara, sahabatnya itu sudah lebih dulu berangkat ke kampus dan Gia tidak bisa menemuinya.

Gia ingin sekali menceritakan pada Adira bagaimana dia bertemu dengan pacarnya Bara dan pemandangan yang dia lihat di kampus tadi siang. Dengan memakai piyama dan memeluk boneka Teddy Bear -pemberian almarhum papanya- Gia bergegas menuju rumah Adira yang berada tepat di samping rumahnya.

"Mah, Gia ke rumah Adira ya." ucap Gia meminta izin ketika melewati ibunya di ruang keluarga.

"Jangan lama-lama ya Nak!"

"Iya Mah."

Dengan sedikit berlari Gia memasuki rumah Adira yang tampak sepi. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, jam segini biasanya orangtua Adira belum pulang kerja.

Ceklek.

Gia melihat Adira sedang di atas tempat tidurnya dalam posisi telungkup. Kedua kakinya bergoyang ke kiri dan ke kanan menandakan cewek itu belum tidur.

Gia menutup pintu lalu mendekati tempat tidur Adira kemudian duduk di sampingnya.

"Gia?" Adira langsung melepaskan headseat yang dikenakannya. "ada apa Gi? Kok tumben enggak ngabarin mau ke sini?"

Gia hanya terdiam menundukkan kepalanya. Sambil memeluk boneka Teddy Bear-nya, kedua jari telunjuknya pun beradu.

Adira yang sangat memahami tingkah Gia menggerakkan tubuhnya duduk di atas kasur lalu memperhatikan Gia yang masih menunduk kemudian menghembuskan napas pelan. "Bara lagi?" tanyanya yang seakan mengerti kalau yang bisa membuat Gia bermuram durjana seperti ini hanyalah laki-laki itu.

Gia mendongakkan kepalanya. Bibirnya mencebik dan airmata sudah jatuh di pipinya.

"Adiraaa...." Gia langsung memeluk sahabatnya dengan tangisan yang berderai-derai. "Gia mau menyerah aja... Gia... Gia... mau berhenti aja jatuh cinta sama Bara." lanjutnya terisak.

Adira mengelus punggung Gia. "Memangnya bisa?"

Gia melepaskan pelukannya lalu menatap Adira dengan dahi berkerut. "Maksudnya?"

Adira mendesah. "Gi, memangnya lo bisa berhenti jatuh cinta sama Bara?" tanyanya sekali lagi.

Gia lalu menundukkan kepalanya, kedua jari telunjuk pun beradu. Dia menggeleng perlahan.

"Gue sangsi kalau lo bisa berhenti jatuh cinta sama Bara," Adira diam sejenak. "enggak akan ada yang bisa mengendalikan hati untuk berhenti atau memulai jatuh cinta pada seseorang."

Gia semakin menundukkan kepalanya. "Terus Gia harus bagaimana?" gumamnya lirih.

"Memangnya kenapa sih Gi? Tiba-tiba mau menyerah?" tanya Adira penasaran. "perasaan tadi pagi lo masih semangat banget buatin Bara sarapan nasi goreng." lanjutnya.

Gia lalu menatap sahabatnya dengan mata sembab. "Tadi pagi Gia ketemu pacarnya Bara," ucapnya pelan dengan kedua jari telunjuknya masih beradu. "terus tadi siang di kampus Gia lihat Bara sama pacarnya mesra banget." Gia mencebikkan bibirnya.

Adira mengangguk paham. "Gi, biarpun cewek itu statusnya pacar Bara, tapi lo itu tunangannya Bara," Gia menatap Adira intens. "ada yang bilang, jodoh itu di tangan Tuhan dan keputusan Tuhan tergantung doa seorang ibu," Gia mengkerutkan dahinya dan Adira mendecak geli melihat raut muka sahabatnya itu. "maksud gue, pacarnya Bara itu pasti kalah sama lo, Gi! Karena yang dapat restu dari ibunya Bara sebagai menantu keluarga Pancakawirya itu lo! Asmara Bahagia!"

Seketika raut muka Gia yang tidak mengerti berubah menjadi berbinar-binar. Senyumnya mengembang mengingat bagaimana ibunya Bara sudah menganggap dirinya sebagai putrinya sendiri dan satu-satunya yang akan menjadi menantunya.

Tiba-tiba saja Gia mengepalkan kedua tangannya di depan dada lalu berteriak lantang. "GIA PASTI BISA MENDAPATKAN CINTA BARA! GIA PANTANG MENYERAH!"

∆ ∆ ∆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top