Six

S I B L I N G S  S H E N A N I G A N

Keluarga Uchiha bukanlah manusia yang dilahirkan tanpa cela. Terlepas dari tampang yang rupawan juga kecerdasan di atas rata-rata, masing-masing anggota keluarga memiliki kelemahannya sendiri. Pada Akemi, salah satu kelemahannya adalah... pembohong ulung.

"Sasu-nii kenapa belum pulang?" tanya Akemi pada kakaknya di seberang telepon. "Nii-san sudah menanyakan keberadaanmu."

"Sedang dalam perjalanan," sahut Sasuke. Napasnya terengah. "Cari alasan untukku."

"Apa? Memangnya kenapa pulang terlambat?" Akemi bergerak mondar-mandir gelisah. "Kau tahu Nii-san sangat tegas dengan jam malam."

Sasuke mendecak tidak sabar. "Terlibat perkelahian di dekat restoran. Aku mengantar Naruto dan yang lainnya pulang lebih dulu. Jangan katakan yang sebenarnya pada Nii-san."

Akemi menggigit bibir cemas. Baik ia maupun kakak sulungnya tidak pernah suka dengan kebiasaan Sasuke yang terlibat perkelahian. Memang, kakak bungsunya sangat kuat dan sudah terlatih bela diri, tapi bukan berarti kakaknya tidak bisa tumbang. Jika Sasuke pulang dengan keadaan babak belur, tidak ada alasan yang bisa Akemi katakan untuk menutupinya.

"Aku baik-baik saja," suara Sasuke terdengar dari seberang. "Jangan khawatir. Lawan kami orang setengah mabuk. Tidak sulit menghadapi mereka."

Sebelum Akemi mampu menjawab, pintu kamarnya diketuk pelan. Wajah Itachi menyembul dari balik pintu. Dahinya mengerut, kedua tangannya terlipat di depan dada, pertanda bahwa ia kesal dengan keterlambatan Sasuke dan tahu Akemi tengah menghubunginya.

"Dimana Sasuke sekarang?" netra jelaga Itachi memicing, menuntut jawaban.

"Sedang di jalan," Akemi mencoba mengatur napas, menenangkan diri. "Aku meminta Sasu-nii untuk membelikan pizza. Salahku karena tidak memperhatikan jam, Sasu-nii hanya menuruti keinginanku. Maafkan aku Nii-san, karena aku Sasu-nii jadi terlambat."

Memang bukan aktris papan atas, tapi Akemi yakin aktingnya barusan cukup meyakinkan. Terbukti dari Itachi yang menghela napas, kali ini garis wajahnya melembut. Ia berjalan mendekati Akemi, mengambil alih ponselnya.

"Jangan ngebut Sasuke," hanya itu yang Itachi ucapkan sebelum meninggalkan kamarnya.

Akemi mendesah lega. Walau begitu, dalam hati ia merasa bersalah karena sudah membohongi kakak sulungnya. Perhatiannya kembali pada ponselnya, terdengar suara kekehan dari seberapa sambungan.

"Aku tidak menyangka Nii-san akan percaya dengan alasan seperti itu."

"Yang penting Sasu-nii selamat dari amukan Nii-san," senyum jahil tersungging di bibir Akemi. "Dan kalau kau pulang tanpa membawa pizza, Nii-san akan curiga, lho."

Akemi tertawa saat Sasuke mengumpat, menyebutnya penyihir dengan nada jenaka.

***

Selain ibunya dan Akemi, Sasuke tahu bahwa Itachi memiliki kemampuan memasak yang cukup baik. Setidaknya, pria itu mampu membedakan garam dan gula serta menghidangkan makanan dalam keadaan matang yang pas. Namun, Sasuke juga tahu bahwa memasak dan memanggang kue adalah dua hal yang berbeda. Itachi terlalu keras kepala untuk menyadarinya.

"Kau yakin takarannya benar, Nii-san?" tanya Sasuke memastikan. Ia melirik kakaknya yang baru saja mengeluarkan pai ceri dari dalam oven. "Kau memasukkan tepung terigu terlalu banyak dan memanggangnya sedikit lebih lama daripada yang diinstruksikan di buku."

Itachi mengabaikan adiknya, berjalan menuju rak piring. "Tenang saja. Perhitunganku sudah benar."

"Bukan perhitunganmu yang kuragukan, tapi rasa painya," Sasuke berdecak.

Awalnya, mereka berniat untuk memanggang kue untuk Akemi sebagai rasa terima kasih karena adik bungsunya telah merajut syal baru. Pagi tadi ia dan Itachi berpendapat bahwa pai bukanlah makanan yang sulit, lagipula Akemi menyukai pai. Setelah memeriksa lemari pendingin, ada sekeranjang buah ceri yang belum dimakan. Jadilah mereka memutuskan untuk membuat pai ceri.

Hanya saja Sasuke mulai ragu dengan rasa pai mereka setelah Itachi bereksperimen dengan menambahkan lebih banyak tepung terigu—karena kita akan membuat pai dengan jumlah besar, dan memanggang kuenya dengan sedikit lebih lama—karena aku menambahkan terigunya, maka harus dipanggang lebih lama juga. Sasuke menghela napas ketika Itachi menambahkan semua takaran bahan lebih banyak.

Bukannya ia tidak percaya dengan kejeniusan sang kakak, tapi kepintaran Itachi berlaku untuk manajemen bisnis bukan menerka takaran bahan pai. Ditambah lagi, ini adalah percobaan pertama mereka memanggang kue. Singkat kata, Itachi terlalu nekat.

Sasuke melirik Itachi yang tengah memotong pai menjadi delapan bagian. "Aku tidak tanggung jawab kalau rasanya aneh."

"Apa yang kalian berdua lakukan di dapur?"

Sasuke dan Itachi kompak menoleh ke arah pintu dapur. Akemi menyandarkan bahu ke dinding, kedua tangan terlipat di depan dada dengan pandangan memicing penuh curiga.

"Memanggang pai ceri untukmu," Itachi mengisyaratkan agar Akemi duduk di meja makan. "Kau yang pertama mencoba. Beritahu bagaimana rasanya?"

Mata Akemi berbinar antusias mendengar kata pai. Adik bungsunya duduk di meja makan sambil menggosok kedua tangannya tidak sabar. Itachi mengulas senyum tipis dengan reaksi Akemi. Sedangkan Sasuke memilih untuk mengambil jus jeruk dari dalam lemari pendingin, antisipasi kalau rasa painya benar-benar aneh.

Itachi menyodorkan sepiring pai. "Semoga kau suka."

Akemi mengangguk. Ia menyuap sepotong besar pai ke dalam mulut lalu mengunyah pelan. Menyadari perubahan raut wajah adiknya, Sasuke langsung menaruh gelas di samping piring.

"Bagaimana?"

"Nii-san, kulit painya terlalu tebal dan keras. Aku mengecap rasa gosong," Akemi buru-buru meneguk jusnya. "Dan... apa Nii-san terbalik menakar gula dan garamnya?"

Sasuke melirik Itachi dengan senyum kemenangan. Kan sudah kubilang.

***

Itachi sadar betapa besar pengaruh koneksi dan relasi di zaman sekarang. Ayahnya berulang kali mengatakan bahwa memiliki banyak kenalan di berbagai kalangan adalah hal yang penting untuk mendapatkan informasi berharga. Itulah sebabnya Itachi menyamankan diri dengan bergaul pada berbagai macam orang. Alasan yang sama juga menjadi penyebab ia dan teman-teman kampusnya tergabung dalam Akatsuki.

Walau demikian tetap saja ada batasan. Sesekali ia mengiyakan ajakan untuk karaoke dan minum bersama teman sekelasnya, tapi kian hari teman sekelasnya—terutama perempuan, semakin gencar mengejarnya. Itachi risih dengan kedekatan para gadis yang terlalu 'berani' padahal mereka tidak dekat.

"Ayolah Itachi-san. Eventnya akan berakhir hari ini," bujuk para gadis. "Tidak baik menyia-nyiakan kesempatan bagus lho."

Itachi memejamkan mata, mencoba untuk mengatur emosi. Jika yang berada di sampingnya adalah seorang pria, maka ia tidak segan melancarkan serangan pada perutnya. Namun, seberapa menyebalkannya mereka, Itachi tidak mungkin bersikap kasar pada seorang gadis. Terlebih ketika ia memiliki adik perempuan. Bayangan seseorang memperlakukan adiknya kasar mampu membuat darahnya mendidih karena amarah. Ia tidak tega melakukan hal yang sama pada gadis-gadis ini.

Sialnya, Kisame hanya tertawa tampak menikmati penderitaannya.

"Terima kasih atas tawarannya, tapi aku benar-benar tidak bisa," Itachi menolak halus. "Aku sudah ada janji."

"Eh... janji dengan siapa?"

Dari kejauhan, ia melihat sosok Sasori dan Deidara yang berjalan beriringan dengan Akemi dari pintu gerbang universitas. Sejenak tatapannya beradu dengan iris senada. Akemi melambaikan tangan, menyapanya tanpa suara. Itachi menyeringai tipis, sebuah ide muncul di kepalanya.

"Aku sudah janji akan menemani gadis spesialku sore ini," ucap Itachi mengulas senyum sopan. Ekor matanya melirik Kisame tajam, memaksanya untuk bungkam.

Itachi mengabaikan desahan kecewa yang kompak berasal dari kerumunan di sampingnya. Ia tidak sabar menjauh dari kumpulan gadis genit. Saat Akemi berjarak kurang dari dua meter, Itachi merangkul adiknya.

"Nah, ladies karena gadis spesialku sudah datang terpaksa aku harus pergi," Itachi segera membawa Akemi yang linglung menjauh. Sesaat ia beradu tatap dengan Sasori dan Deidara. "Terima kasih karena sudah membawanya kemari."

Balasan yang ia dapatkan hanyalah anggukan kecil dan acungan ibu jari.

Desahan kecewa juga desakan yang menuntut nama 'gadis spesial' Itachi masih terdengar bahkan saat keduanya sudah berada cukup jauh. Itachi meringis, membayangkan betapa sulitnya berhadapan dengan gadis-gadis itu. Sasori mungkin melengang pergi, Deidara akan segera menyusul seniornya, tapi Kisame mungkin tidak seberuntung itu. Itachi mengingatkan diri untuk mentraktir temannya lain kali.

"Jadi, yang tadi itu apa?"

Itachi melirik Akemi yang menatapnya bingung. "Kau baru saja menyelamatkan Nii-san dari segerombolan serigala lapar."

Akemi termenung sejenak lalu tertawa. "Apa serigalanya cukup buas sampai Nii-san berbohong ada janji dengan gadis spesial?"

"Aku tidak berbohong," Itachi mengangkat bahu, mengeratkan rangkulannya. "Kau memang gadis spesialku."

Akemi mendengus. "Jadi inilah alasan utama Sasu-nii enggan keluar rumah."

***

Sudah menjadi rahasia umum bahwa putra kedua Uchiha tidak suka tidurnya terganggu. Suasana hatinya akan memburuk seharian. Ia tidak ragu mendamprat dan melemparkan tatapan tajam bagi siapapun yang mengusiknya. Hanya beberapa orang yang menjadi pengecualian. Karena itu, lebih baik membiarkan Sasuke bangun dengan sendirinya.

Hari ini, stok kesabaran Itachi tidak seluas itu. Adiknya sudah berjanji untuk menemaninya mengambil kue pesanan juga buket bunga untuk malam ini. Kue peringatan hari jadi orangtua mereka. Akemi sudah bertanggung jawab dengan hadiah, sedangkan Itachi dan Sasuke menangani sisanya. Itachi memesan kue dari toko langganannya sedangkan Sasuke berinisiatif untuk memesan bunga dari keluarga Yamanaka.

Itachi bisa saja mengambil kuenya lalu kembali pergi mengambil buket setelah Sasuke bangun karena ia tidak tahu toko keluarga Yamanaka. Baginya itu tidak efektif. Lebih baik sekali jalan, sekaligus menjemput Akemi yang sekarang berada di butik.

Kini, Itachi berdiri di ambang pintu kamar Sasuke. Adiknya masih tertidur pulas, bergelung dengan selimut. Sasuke tidak bisa dibangunkan dengan cara biasa.

"Sasuke. Kapan kau akan mengantarku mengambil buket?"

Tidak ada respon yang berarti. Sasuke berganti posisi, memunggungi pintu.

"Sasuke," panggil Itachi. "Kau tahu Akemi akan menunggu di butik lebih lama jika kau tidak segera bangun."

Masih belum ada respon. Kali ini Itachi mendengar Sasuke menggumamkan 'jemput Akemi saja dulu.'

Ia menghela napas panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk membangunkan adik sulungnya. Namun, Itachi tidak kehabisan akal. Jika bujukan dengan nama adik bungsunya masih belum memotivasi Sasuke untuk bangun, ia punya senjata rahasia.

"Sasuke," panggil Itachi lagi. Ia menahan kekehan saat Sasuke menyumpal wajahnya dengan bantal. "Kalau kau tidak bangun juga. Akan kuberikan fotomu pada Sakura-chan. Kau ingat saat ketiduran di sofa beberapa waktu lalu? Saat air liurmu menggenang dibantal."

Bagai kuda dipecut, Sasuke bangkit dari kasur dengan ekspresi garang. "Nii-san dapat darimana nomor Sakura?"

Itachi terkekeh. Panik menguasai raut wajah Sasuke ketika ia meraih ponsel dari dalam saku celana. "Tidak penting. Kalau kau tidak bangun, akan benar-benar kukirimkan, lho."

Ia menghindar saat Sasuke melemparnya dengan bantal. Itachi melengos pergi saat Sasuke mengeluarkan sederet ancaman keji jika ia mengirimkan foto aibnya pada Sakura. Itachi tidak bisa menahan tawa. Yah... setidaknya kini ia tahu bahwa gadis berambut merah muda itu memiliki pengaruh yang cukup kuat pada adiknya.

"Nii-san sialan!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top