Seven

G R I E F

Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk menghadapi kesedihan. Ada yang menenggelamkan diri dalam kesibukan, beberapa memilih untuk menyendiri—jauh dari orang yang peduli, sisanya berusaha untuk mempertahankan hubungan yang perlahan retak akibat duka mendalam.

Sudah hampir satu bulan sejak kedua orangtuanya meninggal. Kecelakaan lalu lintas beruntun akibat rem blong. Tidak satu pun dari mereka yang menduga bahwa sarapan penuh tawa pagi itu adalah sarapan terakhir keluarganya. Berita tentang kematian pasangan Uchiha menjadi berita utama di surat kabar, bahkan masih hangat diperbincangkan oleh beberapa stasiun televisi. Banyak yang berujar simpati, turut berbela sungkawa, tapi selain keluarga sepupu tidak ada yang benar-benar berempati.

Akemi berusaha mengembalikan suasana hangat dalam kediaman Uchiha, tapi sia-sia. Masing-masing dari mereka memerlukan waktu lebih lama untuk pulih. Baik ia, Itachi maupun Sasuke kini tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sibuk dengan perasaan sendiri hingga melupakan yang paling penting.

Itachi yang sudah berada di tingkat akhir, saat ini tengah magang di perusahaan sang Ayah. Paman mereka, Uchiha Kagami, yang berperan sebagai pengganti sementara. Walau meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit, Itachi tidak ingin terlalu lama bersantai. Ayah mereka sudah berambisi menjadikannya pewaris sedari kecil, Itachi berniat untuk menggenapi keinginan sang Ayah. Akibat tekadnya untuk segera menggantikan posisi ayah mereka, Itachi sering pulang larut. Belakangan Akemi hampir tidak pernah melihat sosok kakak sulungnya sebelum tengah malam.

Lain halnya dengan Sasuke. Pria itu tampak tidak peduli dengan perubahan sang kakak. Sepeninggal orangtua mereka, Sasuke menjadi lebih dingin. Hatinya mengeras, bahkan tidak bisa ditembus oleh Akemi. Kakak bungsunya kini lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ia tidak tahu kemana kakaknya pergi, tapi ketika kembali tidak jarang Akemi menemukan luka baru di tubuh Sasuke. Setiap kali ditanya, Sasuke hanya menjawab 'aku baik-baik saja' lalu mengunci diri di kamar.

Akemi mengerti. Ia mengerti betapa dalam luka yang ditinggalkan akibat peristiwa ini. Ia mencoba untuk memahami perubahan sikap kedua kakaknya. Itachi hanya ingin yang terbaik untuk mereka dan Sasuke perlu waktu menyendiri, mengatur emosi dan pikirannya. Namun, saat keduanya sibuk dengan urusan pribadi, mereka meninggalkannya sendiri. Rumah yang sebelumnya dihiasi dengan canda dan kasih sayang, kini terasa dingin dan sepi. Ia merasa sendirian di rumah yang besar ini.

Akemi bahkan harus menghubungi pamannya atau Kisame untuk mendengar kabar Itachi. Walau satu sekolah, ia hampir tidak bicara lebih dari lima kalimat dengan Sasuke. Ia mempercayakan kakaknya pada Naruto yang masih enggan membiarkan Sasuke sendiri.

Akemi melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. Jarum jam menunjuk ke angka sembilan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa Sasuke akan pulang. Hening. Ia hanya ditemani dengan deru pendingin ruangan juga detakan jam. Akemi menggigit bibir, menahan luapan emosi yang belakangan ditekan. Dadanya sesak, pilu menghadapi kesedihan seorang diri. Ia kesepian, seakan keluarganya yang tersisa telah meninggalkannya.

Ia menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Di atas meja makan sudah terhidang makan malam, makanan kesukaan Sasuke. Gejolak emosinya meluap menjadi air mata. Sunyi berganti dengan isakan tangis. Tidak sanggup. Ia tidak sanggup menjalaninya seorang diri. Harus sampai berapa lama lagi hingga ia mendapatkan kedua kakaknya kembali?

"Aku pulang," suara pintu depan terbuka. "Akemi?"

Akemi menahan napas. Itachi pulang sebelum tengah malam adalah hal yang tidak pernah terjadi setelah kematian orangtua mereka. Ia mengusap wajah, menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi. Ia tidak ingin menyambut kakaknya pulang dengan tangis.

"Akemi, hey. Ada apa?" Itachi terkejut, buru-buru menghampiri adiknya. "Apa yang terjadi saat aku tidak ada?"

Akemi menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Nii-san."

"Jangan berbohong padaku," hardik Itachi. Ia menangkup wajah adiknya. "Kenapa menangis? Ke mana Sasuke?"

Akemi tidak memiliki energi untuk membela kakak bungsunya. Ia menarik napas panjang, mengatur napas yang masih gemetar. "Aku tidak tahu. Akhir-akhir ini Sasu-nii selalu pulang malam."

Itachi terhenyak seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan Akemi. Ia melirik meja makan kecewa. "Jadi kau sendirian saja?"

Sebelum Akemi mampu menjawab, pintu depan kembali terbuka. Langkah kaki terdengar samar, berjalan melewati ruang makan dan ruang tengah. Itachi menggeram lemah, menarik diri dari Akemi lalu berbalik menatap Sasuke dengan tatapan tajam. Akemi membasahi bibirnya. Ia bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Dari mana saja kau?"

Sasuke menoleh tanpa minat. "Bukan urusan Nii-san."

"Bukan urusanku? Kau bilang bukan urusanku?" kedua tangan Itachi mengepal, berusaha menata emosinya yang hampir meledak. "Kau dan Akemi adalah tanggung jawabku sekarang. Aku berhak tahu kemana kau pergi. Saat kubilang kau harus dirumah, aku ingin kau berada di rumah."

"Aku tidak percaya ini," Sasuke mendengus mengejek. "Untuk apa aku di rumah? Sudah tidak ada ayah dan ibu lagi. Lagipula kau tidak bisa mengaturku."

"Aku kakakmu Sasuke dan Akemi membutuhkanmu."

"Lalu kemana kau?" suara Sasuke mulai meninggi. "Di mana kau saat aku membutuhkanmu? Selalu saja Akemi yang didahulukan. Dari dulu selalu begitu. Aku sudah muak."

Napasnya tercekat. Akemi mendongak. Matanya beradu pandang dengan iris jelaga kakak bungsunya. Netra hitam yang biasanya tampak tenang kali ini menyala dengan amarah dan sirat kesedihan yang amat dalam. Namun, yang mengejutkan adalah nada kebencian yang terucap bersamaan dengan namanya. Ini pertama kalinya. Pertama kalinya Sasuke menyebut namanya dengan penuh benci.

"Sasuke!" Itachi mulai dikuasai emosi. Ia menarik kerah adiknya. "Sudah cukup."

Bibir Sasuke menyeringai remeh. "Kabar baru untukmu Itachi. Kau bukan ayah. Kau tidak bisa memerintahku."

Akemi tidak kuat. Ia berlari menuju pintu depan. Seolah tuli, ia tidak mengindahkan teriakan kakaknya. Kakinya menuntun tanpa arah, abai dengan keadaannya yang hanya mengenakan piyama dan sandal rumah tanpa membawa ponsel. Di mana pun asal tidak mendengar kedua kakaknya berkelahi. Air mata mengaburkan pandangan. Dari kejauhan ia mengenali sosok yang mengenakan kemeja hitam.

"Lho, Akemi? Kau mau pergi ke mana malam-malam begini?"

Shisui. Itu suara Shisui. Tanpa memikirkan penampilannya, Akemi menghambur pada Shisui. Bibirnya terkatup saat Shisui berulang kali menanyakan apa yang terjadi padanya. Merasa tidak akan mendapatkan jawabannya, Shisui menghela napas. Saat sepupunya merogoh ponsel barulah Akemi bereaksi.

"Tidak," pinta Akemi lemah. "Kumohon jangan telepon Nii-san atau Sasu-nii."

"Kalau begitu cerita apa yang terjadi," Shisui menyampirkan jas di bahunya saat tubuhnya gemetar.

Tidak punya pilihan lain, Akemi menumpahkan semua keluhannya pada Shisui. Kakinya kembali melangkah saat Shisui menarik tangannya lembut, memintanya untuk ikut tanpa suara. Shisui tidak berkomentar selama Akemi bercerita, pria yang lebih tua dari kakaknya itu hanya berulang kali mengangguk atau berdehem sebagai pertanda bahwa ia masih mendengarkan.

"Aku tidak ingin kembali ke rumah itu lagi," isak Akemi mengakhiri penjelasannya. "Tidak ada gunanya jika aku hanya seorang diri."

Shisui mendesah. "Sudah kuduga hal ini akan terjadi cepat atau lambat."

"Maksud Shisui-nii?"

"Tidak ada," Shisui menggeleng pelan. Pria itu mengukir senyum hangat, sesuatu yang sudah lama tidak ia dapatkan dari orang terdekatnya. "Malam ini kau menginap saja di apartemenku. Aku janji tidak akan mengatakan pada Itachi atau Sasuke tentang keberadaanmu, bagaimana?"

Akemi mengangguk pasrah. Tidak ada pilihan yang lebih baik selain menginap di apartemen sepupunya. Berkunjung ke rumah salah satu temannya selarut ini hanya mengundang tanda tanya, Akemi belum siap menjelaskan apapun pada siapapun.

"Oh ya, kenapa Shisui-nii ada di sekitar sini?"

"Aku mau mengantar berkas Itachi yang tertinggal di kantor," Shisui melirik Akemi lalu mengusak rambut sepupunya yang dikepang rendah. "Sudah jangan menangis lagi. Nanti biar kuberi pelajaran pada Itachi dan Sasuke."

Akemi tersenyum tipis. "Terima kasih karena membiarkanku menginap di apartemenmu Shisui-nii.

"Tidak perlu seformal itu," Shisui mengibaskan kedua tangannya cuek. "Sudah lama aku tidak bicara dengan sepupuku yang paling manis. Apa kau sudah makan? Kalau belum kubuatkan kare mau tidak? Kujamin rasanya bisa mengalahkan restoran bintang lima."

Perlahan tapi pasti, beban yang memberatkan hatinya mulai sedikit terangkat dengan keberadaan Shisui yang lebih ceria. Ia beringsut mendekat saat Shisui merangkul bahunya. Sudah lama sejak terakhir kali ia didekap hangat seperti ini, meski bukan dari sosok yang benar-benar ia inginkan. Walau lancang, Akemi tidak bisa menahan diri untuk tidak terlena.

"Terima kasih Shisui-nii."

Aku sudah kehilangan orangtuaku. Kami-sama... kumohon, aku tidak ingin kehilangan kedua kakakku juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top