9
Hana menghentikan langkahnya mengikuti Biru di parkiran saat dilihatnya seorang cewek duduk di sebelah kursi kemudi di sebuah mobil yang pintunya sedang Biru buka. Dia sangat tidak ingin satu mobil dengan Biru dan pacarnya, melihat mereka bermesraan tepat di depan mata. Hana benar-benar tidak ingin menyiksa hatinya lagi.
"Kenapa berdiri saja di sana?"
Sebenarnya dia bercanda saat meminta numpang ke tempat les bareng bersama cowok itu, Hana tidak memiliki jadwal less di tempat yang sama dengan Biru hari ini. Biru seharusnya tahu dia hanya bercanda, jadi kenapa cowok itu bersikeras tetap ingin pergi bersamanya?
Hana melirik cewek yang masih duduk cantik di dalam mobil Biru. "Aku pulang naik ojek aja. Kan aku udah bilang nggak ada les hari ini."
"Terus kenapa? Toh rumah kamu searah sama rumah Anggi."
Anggi, pacar Biru yang tengah mengamati mereka dari dalam mobil dengan wajah penasaran. Dahinya berkerut. Hana rasanya bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan cewek itu. Cewek mana yang baik-baik saja saat melihat perhatian pacarnya disita oleh cewek lain?
"Iya, sih. Tapi ...." Kali ini, saat Hana melirik ke mobil, Anggi memberi senyum kecil padanya.
"Kamu nggak mau melanjutkan cerita 'Kebetulan yang Lucu' itu? Kamu bisa menambahkan kalau kita juga sudah naik satu mobil juga dalam skenario itu."
Hana memicingkan mata, manatap Biru yang tengah berdiri di pintu kemudi yang terbuka sambil mengulum senyum. Hana punya firasat cowok itu tidak akan melupakan candaan Hana yang satu itu untuk waktu yang lama. Sepertinya dia harus menyiapkan mental untuk bisa menahan malu lebih lama.
"Come on."
Menghentakkan kaki, dengan bibir manyun, cemberut, Hana pergi ke mobil Biru, membuka pintunya dan duduk di belakang kursi kemudi setelah menyapa dan meminta maaf pada Anggi.
***
Ketakutan Hana benar terjadi. Dia harus selalu mengalihkan pandangannya ke luar mobil agar tidak melihat Biru dan Anggi suap-supan kentang goreng MecDee. Yah, Anggi yang menyuapi dan memberi minuman pada Biru karena cowok itu harus konsentrasi mengemudi.
"Hidup gue tragis banget, ya Tuhan," Hana menggumam pada diri sendiri.
Sudah dipilih untuk dijadikan medium oleh hantu, sekarang masih harus menyaksikan cowok yang ditaksirnya bermesraan dengan cewek lain yang notabennya adalah pacar resminya Biru.
Hana menghela napas, bahunya turun dan menyenderkan badan sepenuhnya ke kursi mobil. Dia merogoh saku kemejanya. Disimpannya di saku depan, tetapi sejak kunci itu didapatkannya, rasanya punggungnya yang menjadi berat. Sempat terpikir olehnya untuk menyerahkan tugas medium itu pada orang lain, tetapi dia tidak mempunyai orang kepercayaan yang tidak akan menyebarkan berita soal Eliz begitu barang milik cewek itu di tangan mereka. Kebanyakan orang suka haus akan ketenaran, jangan-jangan orang itu akan membuat thread di Twitter atau menulis statis di Facebook dan Instagram. Dia bahkan tidak mengatakannya pada Ning karena tahu sahabatnya itu akan keceplosan saat dia terlalu antisias. Dia tidak bisa mempercayai siapapun untuk saat ini, terlebih jika kemungkinan besar nama kakaknya akan disebutkan dalam apa yang ingin Eliz katakan.
"Hana!"
"Eh? Yah?" tanya Hana, terkejut namanya dipanggil oleh Anggi. Apalagi mendapati cewek itu sedang melihatnya dengan senyum di wajah dan Biru meliriknya lewat spion di atas dashboard. "Erm ... Ada apa, yah?"
"Kata Biru lo adiknya Feliko, ya?"
Hana mengangguk. Senyum Anggi semakin lebar. Kalau saja Hana tidak tahu bahwa cewek ini sudah memiliki pacar, dia akan mengira bahwa Anggi akan memanfatkan dirinya untuk mendekati sang kakak. Apa lagi ditambah antusia Anggi saat cewek itu merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah amplot putih.
"Bisa minta tolong sampaikan ini pada kakakmu? Undangan buat meeting soal reuni."
"Sure."
"Thank you."
Anggi melemparkan senyum pada Hana sekali lagi sebelum memutra kembali badannya mengarah ke depan dan membuka obrolan lagi dengan Biru. Hana membuang muka, memandang keluar jendela dengan dongkol dan menggerutu dalam hati, betapa Tuhan membencinya sampai menjadikannya seorang saksi kisah kasih sepasang manusia lain yang dicemburuinya.
Sial. Harusnya tadi terima saja ajakan Pak Lukman pulang bersama.
Hana mendecak lalu memilih kembali mengamati kunci milik Eliz. Tidak mungkin itu kunci lemari di kamar atau ruang apapun di rumahnya. Keluarganya bisa menemukan barang miliknya dengan mudah, gadis itu tidak perlu menggunakn cara menghantui orang-orang segala untuk mencapai tujuannya. Mungkinkah kunci loker?
Hana mengambil ponsel lalu mengetik soal penyewaan loker pada mesin pencarian, tapi hasil pada mesin penemuan membuanya mengernyit dan manautkan alis. Ada sewa loker, tapi di tempat-tempat wisata, ada pula loker yang memiliki arti lowongan pekerjaan, kemudian di Facebook ada loker pacar sewaan.
Terdengar tawa merdu Anggi. Hana melirik gadis itu sinis dan terlintas hasrat untuk menekan loker pacar sewaan namun segera tersadar. Sia-sia saja buang waktu dan uang hanya untuk membuktikan, entah pada siapa, bahwa dia sudah move on padahal kenyataannya belum.
Hana kembali ke ponselnya dan berusah keras memblokir suara Biru dan Anggi.
Tunggu sebentar. Selain ekstrakulikuler sekolah, rasanya dia lernah mendengar Eliz memiliki kegiatan lain. Ada les mapel, piano, balet, dan renang.
Hana tergolek lesu di tempat duduknya. Karena les renangnya di sekolah, okelah dia tidak keberatan untuk mencoba memeriksa loker di sana, yang mana dia ragukan barang milik Eliz masih di sana mengingat setiap loker di sana tidak dijadikan permanen milik atau disewa seseorang, tapi masa iya dia harus ke tempat les Eliz yang lain? Mana dia tidak tahu juga di mana tempat-tempat itu, yang berarti dia harus mencari tahu.
"It's too much working, I don't want to do it," keluhnya.
"What is it?" Biru meliriknya lewat spion tengah.
Hana langsung menegakkan badan ketika mendengar suara Biru, menemukan Anggi menoleh ke belakang, menatapnya. Hana tersenyum canggung.
"Ah. Bukan apa-apa. Aku hanya bicara sendiri."
Anggi tersenyum kecil lalu menghadap Biru. "Nggak apa-apa kalau besok nggak bisa. Aku naik taksi aja."
"Nggak apa-apa. Cuma sebentar doang, kan?"
"Maaf, ya, ngerepotin. PO Box-ku udah penuh soalnya, harus segera diambil."
"Hm."
PO BOX?
Sesuatu lewat di kepala Hana. Dia menatap kunci di telapak tangannnya. Mungkin ... Karena loker-loker di tempat les kemungkinan besar tidak disewakan, sampai bertahun-tahun, apalagi yang menyewa sudah meninggal. PO BOX, mungkin...
Hana terlalu tenggelam dalam pikirannya sampai dia tidak sadar saat mobil berhenti, pun mengahut saat Anggi pamit pulang sebelum turun. Dia mungkin akan tetap melamun kalau saja Biru tidak menyerukan namanya.
"Hanabi!"
"Hah?" Hana mengerjapkan matanya beberapa kali, bingung saat mendapati mobil ternyata berhenti dan kursi Anggi kosong. Dia lalu menoleh kanan kiri. "Belum sampai di rumahku, deh."
"Siapa yang bilang udah? Pindah depan."
"Oh!"
Hana sudah bergerak maju, hendak memindahkan diri ke depan lewat celah di antara dua kursi depan namun segera diurungkan. Selain untuk menjaga citranya, rasanya tidak sopan petakilan di mobil orang. Maka dia turun, memutar lewat depan untuk sampai di kursi penumpang di depan. Biru melajukan mobil tanpa kata begitu Hana menutup pintu.
"Eh, sebelumnya minta maaf, tadi aku denger kalian berbicara soal PO BOX." Biru melirik lewat ekor matanya namun tidak mengatakan apapun. "Di mana kantor pos yang nyediain jasa PO BOX?"
Hana bisa saja mencari tahunya sendiri dengan ponsel pintarnya, tapi tidak menurutnya tidak sopan sudah menumpang mobil orang tadi dia sendiri sibuk main ponsel. Walau tidak mengobrol, alangkah baiknya jika dia tidak sibuk sendiri. Dengan bertanya pada Biru, selain dia mendapat kesempatan mendengar suara cowok itu, dia juga tidak akan dicap sebagai penumpang tidak tahu diri.
Biru menyebutkan sebuah wilayah di selatan kota, membuat kedua bahu gadis itu turun. Niat ingin memeriksa, siapa tahu dugaannya benar, tapi ternyata tempat yang harus ditujunya tidak terlalu jauh. Apakah ini semua ujian untuk orang baik yang ingin membantu?
Tuhan, kenapa Engkau terus saja menguji kebesaran niat orang baik ini?
Biru melirik gadis di sampingnya sekilas, melihatnya murung. "Mau kujemput? Biar sekalian bareng Anggi ke sana."
Harusnya tawaran Biru memberinya kebahagiaan yang luar biasa, tapi gara-gara niat membantunya selalu menemui kendala, mau tidak mau semangatnya menipis dan hampir kehilangan energi. Lalu ditambah dia harus ke sana bersama pasangan ini lagi. "Nggak usah, makasih. Rumah Biru, kan, jauh. Nggak mau ngerepotin," jawabnya, lesu.
"Tahu dari mana rumahku jauh? Emangnya tahu rumahku di mana?"
"Nggak juga, sih. Kupikir naik mobil jadi pasti jauh." Jawabannya mencerminkan kemalasan berpikir lebih dalam, dia hanya menceploskan pengetahuan umum yang bahkan tidak pasti.
Biru memutar bola mata. "Rumah kamu jauh dari sekolah, tapi nggak pake mobil."
"Kan aku nggak bisa nyetir, mau hemat ongkos, jadi naik ojek." Menjulurkan lidah kecilnya sekilas, Hana lalu kembali menghadap depan.
Hari minggu kantor Pos tutup, jadi dia harus ke sana besok sore atau lusa pagi. Dia menghela napas panjang menyadari dia harus mengorbankan waktu kosongnya di hari Sabtu.
Tidak lama kemudian mereka sampai di depan rumah Hana. Sebelum turun Biru sekali lagi menawarkan pada Hana untuk memgantarnya ke kantor Pos namun lagi-lagi Hana menolak. Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Hana masuk ke rumahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top