6
Pulang dari les lewat jam delapan malam, Hana benar-benar ingin langsung melemparkan diri ke tempat tidur begitu sampai rumah. Dia tidak ingin berurusan dengan urusan rumah yang pasti terabaikan. Tapi apa yang dia harapkan? Impian untuk langsung tidur sirna ketika dia memasuki rumah yang hanya dihuni dirinya dan sang kakak.
Kardus pizza dan botol-botok kosong dari minuman ringan berserakan di ruang tamu, beberapa botol minuman keras, kulit kacang berserakan di lantai, dan piring serta gelas kotor menumpuk segunung di wastafel.
Hana menggertakan rahangnya, menarik napas dalam-dalam, lalu berteriak, "Abang!!!" Tidak mendengar adanya jawaban dari sang kakak, Hana melemparkan tasnya ke sofa lalu berteriak lagi, "Bang Fel!!" Masih tetap dia tidak mendapat sahutan dari yang dipanggil.
Sambil berjalan menaiki tangga, Hana menggerutu. Padahal Feliko yang diberi tugas oleh orang tua mereka untuk menjaga Hana dan berbagi pekerjaan rumah, tetapi sejak orang tua mereka pergi, Hanalah yang menjadi babysitter kakaknya. Setiap pagi dia yang membangunkan Feliko, menyiapkan makanan untuk mereka berdua dan memastikan kakaknya itu berangkat kuliah. Setiap malam dia harus mengunci semua pintu dan menyembunyikan kuncinya agar Feliko tidak bisa berkeliaran tengah malam, nongkrong di club, mabuk-mabukan, dan memulai kekacauan.
Seharusnya dia melaporkan kelakuan kakaknya yang mulai di luar kontrol itu pada orang tua mereka yang berada di luar kota untuk bekerja, tetapi dia tahu kalau ayah dan ibunya tidak akan terlalu peduli. Sebelum pergi saja pesan mereka hanya satu untuk Hana dan satu untuk Feliko, mereka bilang dua anaknya itu boleh melakukan apa saja asal Hana jangan hamil dan Feliko jangan membunuh orang.
Hana menghela napas. Terkadang dia menginginkan orang tuanya tidak terlalu cuek, setidaknya mereka mengecek keadaan anak-anaknya dua hari sekali, kek. Mereka bahkan terkadang lupa kalau mereka sudah menjadi orang tua bagi dua anak. Pernah dalam dua bulan mereka tidak menghubungi rumah sama sekali, Hana pun sengaja tidak menelpon, ingin tahu berapa lama mereka lupa.
Hana mengetuk pintu ketika sampai di depan kamar kakaknya. "Abang, beresin sampah-sampah di depan TV itu, ih. Kalian macam bayi aja, sih, habis main nggak diberesin. Bang!"
Hana berdecak kesal saat tidak juga mendapat jawaban. Tanpa mengetuk lagi, dia memutar gagang pintu dan membuka kamar kakaknya yang tidak dikunci, menemukan Feliko tidur tengkurap tanpa baju. Wajahnya yang dimiringkan menghadap pintu membuat Hana langsung bisa melihat keadaan kakaknya. Ada air mata yang membasahi wajah, suara ringkikan lirih terdengar, dan dua tangannya mengepal meremas selimutnya. Hana segera mendatangi kakaknya, mengernyit ketika aroma alkohol mencapai hidungnya.
"Abang?" Hana menggoyang bahu kakaknya. "Bang Fel bangun." Nada suaranya lembut dan sedikit memohon, berbanding terbalik dengan Hana yang penuh kekesalan tadi. "Bang Fel! Ayo bangun, Bang. Kalau nggak Hana bakal ngamuk nih!"
Hana menggoyangkan bahu Feliko semakin kencang saat melihat wajah kakaknya mengernyit dan suara seperti keluhan kesakitan keluar dari mulutnya yang tertutup. Hana memanggil kakaknya beberapa kali lagi namun tetap tidak bisa menarik kakaknya dari alam mimpi. Hana melihat ke sekeliling kamar, mencari benda yang bisa dia gunakan untuk membangunkan Feliko. Matanya menemukan toa kecil tergeletak di lantai dekat dengan tas ransel yang sebagian isinya berantakan keluar ke lantai. Hana segera mengambil benda itu, tersenyum senang membayangkan bagaimana kakaknya akan bereaksi. Mendekatkan mulut toa ke telinga kakaknya, Hana menarik napas panjang, bersiap untuk berteriak.
"Liz, please." Bisikan itu menghentikan gerakan Hana.
Selalu nama itu yang diigaukan kakaknya dan selalu pula diikuti kata memohon. Sudah setahun lebih dan Feliko belum bisa melupakan cewek itu. Eliz sudah lama mati, tetapi masih menyiksa orang yang masih hidup.
Saat diketahui bahwa Eliz hamil, orang tuanya meminta polisi untuk memeriksa semua cowok, terutama yang sekelas, yang bergaul dengan putri mereka. Didorong rasa marah, sedih dan terluka, mereka ingin melampiaskan rasa sakit itu pada orang yng sudah menghamili anak mereka dan mendorong gadis itu untuk bunuh diri. Feliko sekelas dengan Eliz. Saat diperiksa, Feliko mengaku tidak terlalu dekat dengan gadis itu dan saksi anak sekelas mendukung pernyataan itu.
Menjadi saksi bagaimana efek kematian Eliz terhadap Feliko, Hana tidak yakin mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Inilah kenapa Hana masih mengikuti kabar tentang Eliz, dia ingin mendapat pencerahan dan mungkin bisa membantu kakaknya menjadi kembali seperti semula.
Sebenarnya sempat terbesit di kepala Hana, jangan-jangan kakaknya ini memang ayah dari jabang bayinya Eliz namun, pikiran itu segera dia tepis. Setahunya, kakaknya ini bukan seorang pengecut, dia pasti mau bertanggung jawab kalau memang dia yang menghamili Eliz. Akan tetapi, mungkin dia tidak benar-benar mengenal kakaknya. Tingkahnya akhir-akhir ini benar-benar di luar karakter yang dikenal Hana.
Menarik napas dalam lagi, Hana mengeluarkan suaranya sekeras dan sepenjang mungkin. "Feliko Rastya!! Bangun bangsaaaat!!"
Rasa kejut dan telinganya yang berdenging membuat Feliko reflek meringkukkan tubuhnya, menutupi kedua telinga, dan melindungi kepala yang diletakannya di atas lutut, membentuk sikap pertahanan diri dari serangan. Sementara Feliko kaget setengah mati, Hana justru tertawa terbahak-bahak.
Menyadari kelakuan adiknya, Feliko mengangkat kepala, melemparkan tatapan tajam pada Hana. "Kamu mau mati, ya, Dek?" geramnya.
Hana mendengkus. "Nggak dong. Aku mau Abang beresin tuh sampah di bawah. Heran deh. Udah pada kuliah kelakuan kayak bayi yang habis main nggak beresin mainannya." Bukannya bangkit dari tempat tidur, Feliko malah kembali merebahkan diri sambil menghela napas. "Iih Abang ayo cepat beresin. Nanti keburu ngundang tikus."
"Besok aja. Pusing kepala ini."
"Siapa suruh minum alkohol?" Feliko memutar badannya, memunggungi Hana.
Tidak mau menyerah, Hana memicingkan mata sebelum menarik tangan kakaknya, memaksanya untuk turun dari tempat tidur. Untuk waktu yang lama, terjadi tarik menarik antara keduanya dan beberapa adegan berulang. Misalnya Hana berhasil menarik Feliko keluar kamar, pemuda itu akan menemukan waktu Hana lengah dan kembali lari ke kamarnya. Hal itu terjadi beberapa kali sampai Hana menggigit tangan kakaknya itu saking kesalnya sampai Feliko menjerit kesakitan dan berjanji akan membereskan sampahnya asal adiknya itu melepaskan gigi dari tangannya.
***
Jam sepuluh malam, selesai mandi, Hana membereskan buku-buku untuk dibawa besok. Saat dia mengeluarkan semua isi ransel untuk diganti dengan jadwal besok, ada benda asing di antara buku-bukunya. Hana diam sesaat menatap benda itu sebelum menjerit, membuang semua buku yang dipegangnya, lalu meloncat ke tempat tidur, meringkuk di bawah selimut di sudut kamarnya.
Kenapa novel hijau itu berada di dalam tasnya? Dia yakin sekali saat saat pulang masih melihat novel itu diam di atas meja Eliz di mana Biru meletakannya, dan saat memeriksa tasnya di dalam mobil Ning juga tidak ada, tetapi kenapa sekarang novel itu ada di dalam tasnya? Apa seseorang sedang mengerjainya?
Hana mengintip dari balik selimut, melihat novel itu tergeletak di lantai dekat tempat sampah Doraemon di kaki meja belajarnya. Matanya lalu jelalatan mencari ponsel. Beruntung baginya menemukan benda elektronik itu di dekat kakinya di atas tempat tidur. Dia kembali bersembunyi dan segera menghubungi seseorang. Terdengar dua kali nada tunggu sebelum terdengar suara manusia menjawab teleponnya.
"Hana Banana sayang, gue lagi kencang, ngapain lo nelpon malam-malam?"
"Pis, apa lo yang naro novel ijo itu di tas gue?" tanya Hana berbisik.
"Novel ijo?"
Hana mengangguk kemudian sadar kalau dia sedang bertelepon, Pisara tidak bisa melihatnya. "Iya. Novel ijo yang di atas meja almarhum." Hana tidak berani menyebut nama, takut kalau yang disebut datang.
"Oh. Atheis? Kapan gue naro di tas lo? Orang lo udah pulang waktu gue sama biru pulang." Pisara diam sedangkan dada Hana semakin berdegup kencang. "Wait. Novel itu ada di tas lo?"
Hana mengangguk lagi. "Iya."
"Lo lagi nulis novel misteri, yah?" Pisara terkekeh. "Lo harus mikirin gimana caranya novel itu ada di tas lo dengan hati-hati biar nggak jadi plothole soalnya Biru membawanya pulang tadi."
Hana semakin meringkukkan badannya. "Gue sumpahin pantat lo gosong kalau lo lagi ngerjain gue."
Pisara tergelak. "Ngapain gue ngerjain lo begitu? Kalau gue niat ngerjain lo, mending yang bersangkutan sama Biru. Bakal asik banget liat wajah lo."
"Pis! Gue lagi nggak bercanda. Lo atau Biru yang naro novel itu di tas gue, kan?"
"Nggak, Hana. Seriusan novel itu di rumah Biru, gue liat sendiri dia naro di atas meja belajarnya." Terdengar Pisara berbicara pelan dengan seseorang, menyampaikan apa yang Hana katakan. Hana mengeluarkan suara keluhan putus asa. "Serius ada di tas lo?" Hana menggumam mengiyakan. "Bisa vidcall? Kasih liat gue."
Hana memutus sambungan telepon dan berganti video call melalui WhatsApp. Ketika sebuah wajah tiba-tiba muncul di layar besar ponselnya, Hana langsung melemparkan benda itu menjauh. Kenapa Biru yang nongol padahal dia menghubungi Pisara?
"Hana." Terdengar suara Biru. "Di mana kamu? Kenapa gelap?"
Hana berdeham lalu mengambil ponselnya, menarik dan menghembuskan napas beberapa kali sebelum memberanikan diri bertatap muka dengan Biru. Saat akhirnya Hana mempunyai keberanian untuk menatap layar ponsel, wajah Pisara yang terpampang di mana. Dia mendecak kecewa. Dengan latar belakang sebuah tempat makan yang ramai, senyum jail bermain di sudut bibir Pisara.
"Sembunyi di mana lo? Gelap amat. Ati-ati kaki lo ditarik."
Hana melotot, semakin erat mendekap kedua lututnya. "Di bawah selimut."
Terlihat seseorang menepuk bahu Pisara. "Oh. Iya. Mana, mau lihat."
Hana membuka selimutnya sedikit, mengubah kamera ponselnya menjadi kamera bagian belakang dan mengarahkannya ke tempat di mana novel itu masih diam tergeletak di lantai. Dua wajah yang muncul di layar ponsel Hana menunjukan ekspresi kaget yang berbeda. Mata Biru hanya mengerling keget sejenak sedangkan Pisara terang-terangan melebarkan mata dan mulutnya lalu menoleh pada Biru.
"How is that possible?!" bisik cowok itu.
Hana menutup selimutnya kembali. "Tolong beri penjelasan yang masuk akal biar nggak ada plothole."
"Genre novel lo harus bergenre fantasy atau horor biar semua kejadian yang nggak masuk akal bisa lo salahkan pada hantu atau makhluk jadi-jadian keluarga peri yang melakukannya," kata Pisara yang sudah pulih dari keterkejutannya.
"Lo sama sekali nggak membantu." Mata Hana beralih ke sosok yang duduk di sebelah Pisara. Biru nampak sedang melamunkan sesuatu. "Biru!" Mata cowok itu langsung fokus pada Hana. "Bantuin. Kamu, kan, pinter. Apa yang harus aku lakukan?" Hana mengabaikan Pisara yang pura-pura mau muntah
Biru menyeringai. "Nggak ada. Sepertinya novel itu akan menginap di rumah kamu malam ini."
"Aaah. Nggak mau!!"
Pisara terkekeh. "Goodluck, my friend." Cowok itu memutus sambungan.
Terdengar pintu kamar Hana terbuka. "Dek, lihat charger-an hape abang, nggak, sih?"
Hana langsung membuka selimut dan menghambur memeluk kakaknya. "Abang, aku mau tidur di kamar Abang."
"Lihat charger abang, nggak?"
"Iya, lihat. Ayo ke kamar Abang, nanti aku kasih tahu."
Terbiasa dengan tingkah adiknya yang terkadang aneh dan ajaib, Feliko tidak bertanya kenapa dan ikut saja ditarik adiknya balik ke kamar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top