5

BRUK!!

Telinga Hana berkedut mendengar suara keras tiba-tiba datang dari belakang. Walau begitu dia tidak menoleh untuk memeriksa benda apa yang jatuh. Dia sedang berkonsentrasi, mencoba membuat sebuah AU. Dia mempunya ide, banyak, bagaimana awal dan endingnya, tetapi walau dikerjakan sejak semalam, dia masih juga belum menyelesaikan satu adegan. Terbiasa menulis cerita original, menulis sebuah AU menurutnya sangat susah, padahal karakter dan tokoh sudah disediakan, tetapi dia merasa kesulitan merealisasikan cerita dalam kepalanya.

Sepuluh menit kemudian, masih mencoba mengeksekusi satu adegan dengan mulus, dia baru menoleh ke belakang, ke bawah meja. Sebuah buku bersampul warna hijau tergeletak di bawah kursi Eliz.

Benda milik orang mati jangan diambil kecuali jika memang diserahkan kepadamu.

Hana teringat omongan neneknya dulu, setelah dengan lugunya Hana kecil hendak mengambil permen yang berada di genggaman tetangganya yang meninggal karena tenggelam. Padahal waktu itu dia baru menyentuh gagang lolipopnya saja, tetapi beberapa hari kemudian Hana kecil didatangi almarhum dalam setiap mimpinya.

Hana menegakkan badan lalu melihat ke sekitar. Di dalam kelas hanya ada dirinya dan seorang cowok berkacamata duduk dekat pintu,  airpod menyumpal telinganya. Kelas itu memang selalu sepi saat jam istirahat, apa lagi setelah dua hari yang lalu ada yang melihat sosok Eliz duduk di belakang Hana yang sibuk main cekikikan membaca novel.

Abaikan. Abaikan. Abaikan.

Bel berbunyi, tanda waktu istirahat telah selesai, kelas pun semakin ramai. Hana menggeliat, meregangkan otot-otot tangannya di atas meja. Dia melihat Biru datang, tapi tidak mengacuhkannya, pun dia tidak berdiri untuk membiarkan Biru masuk ke kursinya. Namun,  bukannya langsung berjalan ke belakang untuk bisa masuk ke tempat duduknya sendiri, Biru malah berhenti di samping Hana lalu berjongkok. Hana mengalihkan wajah, tidak ingin melihat wajah cowok itu dari dekat.

"Bukumu jatuh."

Sebuah buku bersampul hijau diletakkan di atas kedua lengan Hana. Awalnya Hana hanya terdiam, masih dalam proses mencerna kenapa buku itu terlihat familier walau itu bukan bukunya, lalu dia teringat kalau buku itu adalah buku yang dilihatnya di bawah kursi Eliz. Hana memekik seketika, dengan cepat menarik tangannya, membuat buku itu kembali jatuh ke lantai. Dia berpindah duduk di kursi Biru. Biru berdecak lalu berjongkok lagi.

"Itu bukan punyaku!" seru Hana sebelum Biru meletakkan buku itu di atas mejanya.

Biru mengangkat buku, yang ternyata sebuah novel berjudul Atheis, di atas kepalanya, melihat ke sekitar, bertanya dengan matanya pada anak-anak yang memperhatikannya. Semuanya menggeleng.

"Berarti ini punyamu." Hana menggeleng cepat. "Buku ini di bawah kursimu tadi."

Kedua mata cewek itu membulat lucu. "Tapi beneran bukan punyaku." Dia menggerakkan tangannya, isyarat meminta Biru mendekat. Cowok itu duduk di kursi Hana lalu sedikit mencondongkan badannya ke arah cewek itu, membuat Hana sempat kehilangan fokus sejenak. Sudah mendapat perhatian Biru, Hana lalu berbisik, "Tadinya novel itu ada di bawah kursi almarhum Kak Eliz. Kita nggak boleh mengambil benda milik orang mati."

Ekspresi Biru tidak berubah, seakan dia tidak baru saja mendengarkan omong kosong dari mulut Hana. Cowok itu malah mengatakan, "Tapi sudah berpindah ke kursimu. Berarti dia sudah memberikannya untukmu. Ambil ini." Biru menepuk novel di atas meja Hana. Hana menggeleng, tidak bergerak, masih memandang ngeri novel milik setan itu.  "Minggir dari tempat dudukku."

"Singkirin dulu bukunya, ih."

Biru mengambil novel itu lalu meletakkannya di atas meja Eliz. Hana tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih sebelum kembali duduk di kursinya.

***

"Serius lo Han?" Ning masih kurang percaya dengan apa yang baru saja diceritakan Hana.

"Seriuslah." Hana melirik Ning, yang menatapnya dengan wajah serius dan tatapan panik. "Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?" tanyanya sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.

Ning memukul tangan Hana dengan gulungan buku di tangannya. "Ada cerita soal novel milik Eliza. Masa lo lupa."

Hana berhenti, mengerutkan dahi. "Hah? Cerita apaan?"

"Soal novel milik Eliz yang tiba-tiba berada di dalam tas teman sebangkunya."

"Hm? Nggak pernah denger gue." Dengan santai Hana melanjutkan mengetik dialog dalam cerita yang sedang diketiknya.

Ning memukul tangannya lagi, lebih keras kali ini untuk menyita perhatiannya. Hana mengelus-elus tangannya dan memandang Ning dengan tatapan protes.

"Denger, ini serius." Ning mengedarkan oandangan ke sekelilingnya sebelum mencondongkan badannya ke arah Hana. "Nggak lama setelah kejadian 'itu', selain kursi yang berhantu, ada benda lain yang tiba-tiba muncul, menghantui mantan teman sebangku Eliz."

"Novel?"

Ning mengangguk. "Suatu hari tiba-tiba saja novel itu ada di bawah kursi Eliz. Nggak mau berurusan panjang, si penemu mengembalikannya ke perpus. Tapi tebak apa yang terjadi."

Walau kemungkinan tebakannya akan benar, tapi Hana diam saja, membiarkan temannya melanjutkan.

"Seperti halnya si kursi yang selalu balik ke kelas walau sudah disingkirkan, novel itu pun selalu kembali ke tangan si penemu, selalu kembali ke tasnya walau sudah disingkirkan berulang kali."

Hana memutar otaknya, mencari ingatan soal cerita itu. Ada begitu banyak rumor, cerita, dan gosip yang beredar di sekolah setelah peristiwa bunuh diri itu. Hana berusaha tidak mendengarkan semua, setiap kali ada orang yang sedang mengungkit soal Eliz dia selalu menyingkir, tidak mau dengar, tapi tetap saja dia mendengar sedikit-sedikit mengenai semua rumor. Bukan karena gadis itu takut akan cerita hantu atau tidak tertarik dengan cerita seru, walau cerita fiksi bikinan orang untuk mendramatisasi sebuah kisah tertentu, tetapi lebih karena ingin menghormati sang mendiang. Walau tidak mengenal secara prbadi dengan dekat, rasanya tetap tidak enak mendengar cerita buruk tentang orang yang dikenal, apalagi orang itu sudah meninggal. Kalau orang yang dibicarakan masih hidup, sih, hayo, gibahkan bersama. Hahahaha.

Setengah menit berpikir dan tidak menemukan ingatan mengenai novel yang menghantui, akhirnya yakin ini kali pertama dia mendengar cerita mengenai novel angker ini.

"Cepet periksa tas lo!"

Hana segera menyingkirkan ponselnya, mengambil tas lalu langsung menumpahkan semua isinya ke lantai mobil sampai tidak ada yang tersisa. Memindai semua barang yang berantakan, keduanya menghela napas lega saat tak menemukan sebuah novelpun.

"Mungkin dia ngikut ke Biru. Semoga." Hana memejamkan mata sejenak dan mengangguk dengan tegas sebelum membuka matanya.

Memperhatikan tingkah Hana, Ning geli sendiri. Melihat sikap temannya yang seperti itu, tidak ada simpati untuk cowok yang pernah disukainya, sepertinya walau duduk berdekatan, hubungan mereka tidak naik ke titik yang berbeda. Dia memutuskan untuk bertanya.

"Bagaimana keadaan lo sama Biru?"

Sambil memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tas, Hana menghela napas dalam. "Ada sebuah lagu yang selalu dinyaniin kepala gue setiap kali lihat Biru duduk di sebelah dan ngajakin gue ngomong." Ning menelengkan kepalanya ke samping. "Jangan dekat atau jangan datang kepadaku lagi. Aku semakin terluka karena tak memilikimu."

Ning tergelak sejenak. "Lagu siapa itu?"

"Rossa, dih."

"Oooh ... Hahah... Nggak tahu." Ning terkekeh kecil sementara Hana berdecak. "Kenapa nggak bergerak dikit? Dicolek gitu Birunya."

"Lo pikir dia sabun krim yang dicolek bisa langsung nempel ke yang nyolek? Gila aja. Yang ada gue dianggap genit dan dia jadi ilfil sama gue. Mana si Anggi nyamperin terus ke kelas setiap jam istirahat, ngejakin makan. Rasanya kayak ... ugh, luka gue digosok garam laut yang gede-gede itu, loh."

Ning mengikik. "Cari pacar, gih. Buktiin kalau lo udah mupon."

Hana mengerucutkan bibirnya, menunjukkan tatapan dan wajah memelas pada Ning. "Nggak bisa. Susah. Trus ... trus gue menolak menyiksa diri pacaran sama orang yang nggak gue suka."

Ning menggelengkan kepala, menepuk-nepuk punggung temannya. "Kalau begitu bertahanlah di sana, kawan. Semoga kao selalu dalam lindunganNya."

Hana menyuarakan tangisan palsu yang sangat berlebihan sampai membuat tepukan pelan pada punggungnya menjadi pukulan keras yang membuatnya mengaduh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top