4
Karma itu ada. Jika kalian berbuat jahat pada orang, percayalah kalian akan dibalas di lain waktu, jika kalian menghina dan mengejek seseorang, suatu saat kalian akan merasakan bagaimana berdiri di sepatu mereka.
Dulu, saat Ning baru memasuki dunia kpop, menjadi fan berbagai grup dari Korea, Hana begitu nyinyir pada temannya itu, ikutan-ikutan orang lain mengejek tingkah sahabatnya yang suka kelewat histeris padahal cuma melihat iklan idolanya di televisi dan menggila bertemu cardboard sosok biasnya di mall. Hana suka bereaksi berlebihan ketika mendengar lagu Korea, menutup telingan dan berteriak histerik, meminta tolong pada Tuhan agar terbebas dari siksa dunia.
Tapi, lihatlah sekarang, dari naik bus, dalam perjalanan, sampai akhirnya tiba di sekolah, matanya tidak lepas dari layar ponsel, jempol mengeser-geser di permukaan benda elektronik yang menunjukan sebuah timeline di aplikasi Twitter. Hana yang dulu anti kpop, sekarang sama aktifnya dengan Ning di Twitter walau grup yang diikuti hanya satu-dua, tidak sebanyak temannya. Bangun pagi, membuka Twitter, sebelum tidur, membaca AU (alternative universe). Begitu saja kegiatannya setiap hari selain sekolah.
"Han, Kartika udah duduk sama gue, yah."
Hana hanya mengangkat tangannya singkat saat mendengar suara Pisara. Menggerakkan jarinya di layar ponsel dan tersenyum sendiri. Ketika sampai di mejanya, dia melihat sekilas teman sebangkunya, yang menutupi kepalanya yang di taruh di meja, tapi tidak menyapa. Dia hanya menaruh tasnya sebelum duduk dan melanjutkan kegiatannya.
Menemukan sebuah crack AU BTS, dia tertawa sampai menarik perhatian teman sebangkunya yang baru, tapi dia tetap tidak peduli dan terus saja cekikikan menatap ponselnya.
"Orang bisa mengira kamu gila kalau tertawa sendiri seperti itu," teman sebangkunya bersuara.
"Masa bodo. Yang pernting aku bukan tertawa tanpa sebab," Hana menjawab tak acuh, lalu terkekeh lagi. Dia bisa merasakan tatapan dari teman sebangkunya.
Selesai membaca AU, Hana meletakkan ponselnya di meja lalu akhirnya menoleh untuk membalas tatapan teman sebangkunya yang tidak henti dia rasakan. Namun, ketika akhirnya melihat siapa orang baru itu, dia menciut, segera menjauhkan diri, mata membulat lebar dan dua tangan memegang dada kirinya, dia menatap wajah tak asing itu tanpa berkedip.
"Aku bukan hantu, tahu," ucap cowok itu, sedikit tersinggung dengan reaksi berlebihan Hana.
Hana segera kembali menghadap ke depan, meletakkan telapak tangannya yang terbuka di sisi kiri wajahnya, bersembunyi dari orang yang tidak diajaknya bicara sejak orang itu mematahkan hatinya.
Kenapa Biru ada di kelasnya? Sejak kapan mereka sekelas? Oke, mungkin dari awal, toh, saat dia memeriksa daftar penempatan kelas hanya sampai dia melihat namanya saja, tidak sampai ke urutan bawah di mana nama Sabiru Alam tertulis. Tetapi bagaimana bisa tiba-tiba cowok itu ada di sana? Hana yakin sekali sejak masuk ke kelas ini di hari pertama tak ada wajah Biru yang pasti akan bisa ditangkap oleh matanya.
Ya Tuhan. Karma apa lagi yang didapatnya kali ini?
Hana melihat Pisara, yang melambai senang padanya. Hana membalas dengan pelototan, menunjuk Biru, berganti menunjuk Pisara, lalu membuat gerakan seolah memotong leher pemuda itu. Bukannya takut, Pisara malah tertawa lalu menjulurkan lidahnya.
Pisara sialan. Dia tahu betul sejarah memalukan yang terjadi antara Hana dan Biru, tetapi dengan kurangajarnya pemuda itu malah menempatkan mereka berdua dalam satu ruang lingkup yang super sempit. Hana menoleh ke belakang, merenungkan kemungkinan bisa duduk di kursi Eliz tanpa membuat hantu itu menampakkan diri.
"Silakan saja." Terdengar suara celetukkan Biru.
"Hah? Apanya?" tanya Hana tanpa menoleh ke Biru.
"Kamu memikirkan untuk duduk di situ, kan?"
"Dih. Sok tahu. Aku lagi mikir buat pasang lampu tumblr di sudut situ, terlalu gelap dan terkesan angker."
Sebenarnya gadis itu memikirkan untuk meletakkan Biru di sana saja, kehadirannya terlalu menyilaukan kalau duduk di sebelahnya, membuatnya tidak bisa melihat.
Colekkan pelan di paha yang di lakukan oleh teman di seberang tempat duduknya membuat Hana menoleh. Teman itu lalu berbisik, "Kan emang angker, Han."
Seperti tahu sedang dibicarakan, makhluk tak kasat mata itu memberi tahu kehadirannya dengan menggerakkan mejanya sampai menendang kursi Hana. Tubuh Hana kaku seketika di tempat, dia dan teman yang berbisik tadi saling melemparkan tatapan ngeri lalu keduanya sepakat memutar badan, dengan pelan, menghadap kembali ke depan.
Memang tidak baik membicarakan hantu. Kalau keseringan nanti dikira mereka sedang dipanggil. Amukan dilemparnya kursi ke dinding waktu sudah cukup hampir membuat semua orang kena serangan jantung, jangan sampai sosoknya muncul, bisa langsung pada mati semua.
Hana menghembuskan napas lega ketika akhirnya guru datang dan pelajaran segera di mukai. Dengan hawa panas dan hati yang tak mau tenang karena Biru masih sering meliriknya, Hana berusaha berkonsentrasi pada pelajaran.
***
"Hahahahhahahahhahah."
Hana memelototi Ning yang tengah tertawa, mulutnya membuka sangat lebar sampai sepertinya sebentar lagi kepalanya akan terbelah jadi dua. Ingin rasanya Hana memasukkan sepatu ke mulut sahabatnya itu.
"Nyesel gue bela-belain ke kelas lo tapi malah diketawain. Kalau balik dari sini gue celaka, ini semua salah lo!"
Hana adalah jenis anak yang percaya bahwa dia hanya diberi keberuntungan sebanyak tiga kali perhari dan menurut kepercayaannya juga, jika sebuah hari diawali dengan kesialan, maka sepanjang hari itu dia akan mengalami kesialan terus menerus.
Ning terkekeh. "Bisa duduk bareng Biru itu bukan kesialan. Ini sebuah keberuntungan. Coba lo beli lotre, sapa tau menang." Ning terkekeh lagi.
"Kalau ini terjadi sekitar dua atau satu tahun lalu, gue bakal nganggap ini sebagai sebuah keberuntungan yang maha luar biasa. Tapi nggak, ini harus terjadi sekarang, di mana sejarah memalukan sudah terjadi dan gue nggak punya muka buat menghadap dia." Ning terkekeh lagi. "Lo tau dia bilang apa pas dia liat tulisan gue?" Ning menggeleng. "'Tulisanmu jelek sekali', gitu."
Sementara Ning kembali tertawa terbahak-bahak, Hana mengeluh dan menyembunyikan wajahnya dengan dua tangan. Sejak Biru mengejek tulisannya, kepala tidak mau berhenti membayangkan reaksi cowok itu saat membaca surat pernyataan cintanya dulu. Mengingat model tulisan Hana sama sekali tidak berubah, masih sama jelek dan susahnya untuk dibaca, Hana membayangkan pemuda itu menertawakan tulisan dan isi surat Hana sebelum kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Hana menghela napas. Walau sudah mengklaim dan meyakinkan Ning bahwa dia sudah move on dari Biru, bayangan suratnya ditertawakan dan atau bahkan langsung dibuang tanpa dibaca mengingat saat itu Biru sudah punya pacar, tetap membuatnya sedih dan sedikit sakit hati.
"Bagaimana dengan Pisara? Mau tukeran tempat duduk sama lo lagi?"
Hana mendecak sebal. "Nggak tau. Anak itu langsung kabur saat bel istirahat dan chat gue nggak dibales."
Ning menepuk-nepuk tangan Hana, menyuruhnya bersabar dan semoga dikuatkan hati agar tidak jatuh cinta lagi dengan Biru.
"Erm, Ning, boleh minta cat warna pink? Gue kehabisan." Danista, gadis yang duduk di sebelah Hana, mengirimkan tatapan memelas pada Ning. Dia memakai apron kotak-kotak dan sarung tangan lateks berwarna biru. Di tangan kanannya dia memegang kuas kecil sementara tangan kiri memegang gelas plastik berisi air kotor berwarna coklat.
"Boleh dong." Ning mengeluarkan tas khusus berisi alat-alat gambarnya.
Danista terlalu bersemangat karena ada yang mau menolong, tanpa mempedulikan keadaan sekitar, bergerak dengan tiba-tiba, memutar badan dengan cepat dan sembrono, membuat gelas yang dipegangnya menabrak bahu Hana. Air coklat mengalir, merubah warna kemeja yang awalnya putih bersih.
"Aaak!" mereka memekik serentak.
"Ya ampun. Sorry. Sorry. Sorry, Han," Danista panik. Dia menyerahkan banyak tisu pada Hana.
Hana menerima tisu-tisu itu lalu menggeleng. "Nggak apa-apa. Sudah terprediksi." Dia melirik Ning. Tuh, kan? Kesialan.
Ning mendengkuskan tawa. Hana melototinya sebelum melanjutkan kegiatannya mengeringkan lengannya yang basah sementara Danista membantunya di bagian belakang sembari terus mengucapkan maaf.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top