3
Hana menopang dagunya dengan dua tangan, mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang sunyi. Semua anak duduk di kursi masing-masing, tetapi mereka tidak membuat kegaduhan atau sekedar mengobrol dengan teman sebangku. Kelas yang sangat tidak asik, berbanding terbalik dengan kelas Hana di tahun-tahun sebelumnya, kelas yang terasa hidup, yang selalu mendapat sebutan sebagai kelas neraka yang berisi setan-setan kurang ajar. Di kelasnya terdahulu, setiap waktu pergantian guru mata pelajaran sekalipun ada yang berani keluar kelas untuk ke kantin, menerima titipan anak-anak sekelas untuk membeli makanan walaupun kalau kebetulan sedang sial semua makanan itu akan disita oleh guru yang masuk kemudian.
Hana melirik teman sebangkunya, Kartika, cewek berambut sebahu dengan bingkai kacamata putih, yang terlihat cemas duduk di kursinya. Empat hari duduk di sana, cewek itu tidak pernah terlihat santai, postur tubuhnya selalu terlihat tegang, selain itu juga dia pendiam. Sejak mereka duduk bersama, sepertinya dia hanya pernah empat kali berbicara pada Hana, yaitu saat memperkenalkan diri, saat meminta Hana duduk di dekat tembok, ketika bertanya apakah kira-kira mereka bisa bertukar tempat duduk dengan yang lain, lalu saat dia meminta kontak WhatsApp. Hana menghela napas lagi. Bahkan teman sebangkunya tidak asik.
"Selamat pagi, anak-anak besar!" Pak Lukman, guru mata pelajaran Biologi, memasuki kelas dengan senyum lebar dan antusias yang berlebihan.
Hana tersenyum, merasa mendapat kesempatan untuk meramaikan suasana. "Selamat pagi, Pak Ganteng!" Sebagai paruh baya, Pak Lukman memang benar-benar tampan dan terlihat paling muda untuk ukuran lelaki seusianya.
Pak Lukman terkekeh, tetapi anak-anak lain malah melirik Hana dengan tatapan tajam. Hana memberi mereka senyum lugu, seperti anak bodoh tak berdosa, membuat mereka geleng-geleng kepala. Hanya ada satu dua anak yang tertawa dan mengulum senyum dengan tingkah blak-blakan gadis itu.
"Semangat pagi yang luar biasa." Pak Lukman mengacungkan jempol, Hana membalasnya. "Baiklah, mari kita memperkenalkan diri, biar bapak paham wajah dan nama kalian, bapak tidak mau memanggil kalian dengan nama orang lain. Kita mulai, yah!"
Seisi kelas menjawab serentak dan mulailah Pak Lukman memanggil nama-nama anak muridnya. Tidak seperti guru-guru lain yang mengecek daftar kehadiran sesuai nomor urut, guru ini memanggil nama mereka dengan acak. Awalnya semua berjalan lancar, suasana kaku di kelas juga sudah mulai mencair namun, saat Pak Lukman memanggil nama selanjutnya, sesuatu terjadi.
"Elisabeth-"
BRAK!!!
Satu kursi yang tak berpenghuni, terletak tepat di belakang Kartika, terlempar sendiri ke dinding di sudut kelas di belakang Hana, menciptakan kerusakan pada lapisan cat dan semen di sana. Hana melonjak terkejut di kursinya, Kartika menjerit dan mencengkeram tangan Hana di atas meja, lalu seisi kelas kembali hening dan tegang.
Wajah Pak Lukman sempat mengeras, tetapi segera berubah ceria, melemparkan lelucon yang sebenarnya tidak lucu untuk menghibur murid-muridnya sebelum kemudian melanjutkan proses memanggil nama-nama mereka.
Mereka tidak membahas apa yang baru saja terjadi sampai bel tanda istirahat berbunyi. Sepanjang mata pelajaran Pak Lukman, Kartika tidak melepaskan cengkeraman tangannya dari tangan Hana, wajahnya yang terlihat tegang dan ketakutan serta tatapannya lurus ke depan membuat Hana tidak enak hati meminta gadis itu melepaskannya padahal tangannya sudah sakit. Namun, Hana sedikit menyesal melakukan kebaikan itu, karena saat istirahat, bukannya berterima kasih atau meminta maaf padanya, Kartika malah kabur dari kelas begitu saja.
"So rude," Hana menggerutu sambil mengusap pergelangan tangannya yang sakit. Dia berhenti ketika merasa seseorang duduk di kursi Kartika.
"Hai, Hana Banana." Seorang pemuda memberi Hana senyum manis dengan bumbu dua lesung pipi di kedua pipinya.
Hana membalas senyum itu dengan lirikan tajam dan tatapan curiga. "Hai, Pisang Kepok."
Pemuda bernama asli Pisara Kendra itu menopanh dagunya di atas meja. Dengan menginvasi personal space gadis itu, dia menatap mata Hana dalam-dalam. Gadis lain mungkin akan kehilangan fokus dengan keadaan sekitar jika ditatap Pisara seperti itu, tapi Hana tidak. Seperti sudah ditakdirkan oleh Tuhan agar Hana bisa mempunyai teman lelaki tanpa harus mempertanyakan hubungan di antara keduanya, Pisara diperkenalkanNya pada Hana saat hari pertama MOS dan menjadi teman sekelas sejak masuk SMA ini. Dia sudah kebal dengan semua pesona Pisara juga.
"Ayo bertukar tempat duduk."
Hana menjauhkan diri. "Lo waras?" Pisara mengangguk. "Semua menghindari duduk dekat dengan kursi di belakang lo itu, tapi lo malah mau bertukar sama gue?" Pisara mengangguk lagi, lebih antusias kali ini, membuat Hana semakin menatapnya dengan curiga. "Apa tujuan lo?"
Pisara menyunggingkan senyum lebar bagai kuda. "You see, cewek ini yang duduk di sebelah lo."
"Ah." Hana menganggukan kepala, Pisara mengikuti. "Hm? Tapi, yah, dari pada bertukar tempat duduk sama gue, mending dia yang diajak ke tempat duduk lo di depan sana. Lihat tangan gue nih, merah gara-gara dia ketakutan tadi."
Pisara langsung sumringah. "Beneran? Lo nggak keberatan duduk sama temen gue?"
Hana mengedikkan bahu. "Asal dia nggak kebaratan duduk dekat hantu, gue oke-oke aja."
Pisara mengibaskan tangan. "Dia nggak peduli sama lingkungan sekitar, dia yang penting bisa tidur. Nanti lo jangan ganggu dia."
"Gue, sih, nggak akan ganggu orang, tapi yang duduk di belakang lo itu, tuh, yang suka mengganggu."
Pisara menyentil dahi Hana gemas. "Nyantai banget, sih, lo ngomongin gituan." Hana membalas sentilan Pisara dengan pukulan pada bahu pemuda itu. "Eh, tapi lo beneran mau, yah?"
Hana berdecak. "Sekali lagi lo nanya, gue bakal berubah pikiran."
"Iya. Iya, Hana baik." Dengan wajah sumringah Pisara meninggalkan Hana.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top