16
Ini cerita pendek loh. Cuma ada 22 atau 23 bagian trus tamat.
***
Hana menunduk, menatap tempat di mana Eliz dulu jatuh, yang sekarang ditempati beberapa pot tanaman untuk menutupi bekas kenangan tak mengenakan di sana. Dia menghela napas, mengingat pertemuan mereka di rumah Hana dulu.
Sejak semalam Hana membayangkan, berandai-andai, jika Eliz masih hidup, mungkin mereka akan menjadi teman baik atau mungkin juga menjadi musuh karena cewek itu membuat Feliko patah hati.
Seandainya dia tahu apa yang dialami Eliz waktu itu, bisakan dia membantu mengubah akhir cewek malang itu? Kalau Feliko tahu, sudah pasti mungkin Pak Lukman sudah masuk penjara atau langsung ke alam baka, tapi kenapa Eliz tidak mengatakannya?
Hana meletakkan setangkai bunga krisan putih di atas semen, tempat Eliz jatuh, lalu menghela napas lagi. Rasa bersalah terasa berat menggelayuti hatinya. Secara tidak langsung, dia dan kakaknya membantu Eliz memilih akhir yang tidak diinginkan siapa pun.
"Ngapain?" Hana berjingkat mendengar suara tiba-tiba di belakangnya. Dia menghela napas saat melihat si pemilik suara. Biru mendekat, berdiri di samping Hana, mengamati bunga krisan segar di dekat kakinya. "Berdiri di sini saja sudah membuat ingatan buruk dan trauma orang lain muncul, kamu malah bawa bunga. Ckckck."
Hana memutar bola mata. "Trus, apa aku harus meminta maaf pada semua orang karena memberi penghormatan pada orang yang sudah meninggal?" Dia mengedarkan pandangan. Tidak hanya satu dua anak yang mengamatinya, hampir semua anak yang berada di koridor melirik dan mengamatinya.
Terdengar tawa kecil dan singkat dari Biru. "Ya nggak gitu juga." Dia menatap wajah Hana yang menunduk dengan seksama. "Serius, apa yang kamu lakukan?"
Nada tak suka yang terdengar pada suara Biru membuat Hana sedikit terkejut, terheran-heran dengan reaksi pacarnya itu. Apakah tindakannya ini begitu mengganggu? Dia melihat ke sekitar lagi sebelum menatap Biru, kembali dibuat kaget mendapati raut wajah bimbang yang tergambar di wajah pacarnya itu juga. Ah.
"Maaf. Aku hanya teringat pertemuanku dengan almarhum." Hana menunduk, ucapan lirihnya yang terdengar penuh penyesalan membuat Biru menghela napas.
"Maksudmu saat kamu ngasih aku surat cinta itu?"
"Bukan. Maksudku proper meeting, berkenalan secara resmi. Ternyata dia pernah main ke rumahku." Hana melihat tangan Biru yang nganggur, mengambilnya, lalu memainkan jari-jari panjangnya.
Kemurungan yang nampak di wajah Hana menarik perhatian Biru. Dia tidak pernah melihat cewek ini murung begitu walau saat membahas mengenai Eliz. Biasanya Hana lebih memilih tidak menaruh perhatian pada obrolan teman-temannya yang sedang bergosip mengenai Eliz.
Menangkup wajah Hana, Biru membuat mereka bertatap muka lalu bertanya, "Why? Did she say something?"
Hana menggeleng. "Tapi aku berharap dia mengatakan sesuatu. Ke Bang Fel, kek. Sepertinya mereka ada hubungan khusus."
Biru menelengkan kepala. "Sepertinya?"
Hana terkesiap lirih, menyadari dia baru saja mengucapkan hal yang mungkin akan menggiring orang untuk mencurigai kakaknya. "Maksudku ... Mereka teman sekelas dan kakakku pandai menyimpan rahasia. Eh. Eh. Bukan. Bukan. Maksudku kalau Kak Eliz nggak mau mengatakannya pada teman sekelas yang nggak dekat, mungkin dia bisa ngomong ke aku sebagai sesama cewek."
Hana ingin menampar mulutnya sendiri menggunakan kursi, apalagi melihat Biru mengangkat kedua alisnya dan menyeringai kecil. Hana mengedarkan pandangannya menghindari tatapan Biru. Saat bel masuk berbunyi, Hana menghela napas lega. Dia tidak pernah merasa sebersyukur itu saat mendengar bel tanda jam pelajaran dimulai.
***
Jika pagi hari Hana yang ditemukan sedang menatap tempat jatuhnya Eliz, siang itu dia yang menemukan Biru menggantikan tempatnya. Tangan cowok itu memainkan kelopak bunga melati sedangkan pandangannya tidak fokus.
Apa yang dilakukan Biru di sana? Tadi pagi cowok itu menegurnya karena melakukan sesuatu yang membangkitkan ingatan trauma, tapi sekarang dia sendiri melakukannya.
Hana mengeluh, menggigit-gigit bibir bawahnya dengan cemas, menganggap dirinya yang menjadi pemicu. Jangan-jangan Biru sedang berpikir untuk menyebarkan hal mengenai Feliko yang tidak sengaja dia ceploskan. Dia harus menjelaskan lebih banyak agar pacarnya itu tidak salah paham.
Memasang wajah ceria, Hana menghampiri Biru. "Bi! Lagi ngapain?"
Biru berkedip, bangun dari pikirannya sendiri, laku memberi Hana senyum. "Lagi nyoba pengin lihat apa yang kamu lihat tadi pagi."
Hana mencibir, menarik lengan pacarnya menjauh dari tempat itu. "Kita punya mata, kepala, dan kenangan yang berbeda dengan seseorang. Nggak mungkin kamu bisa lihat apa yang aku lihat di sana."
"Hm. Ternyata kamu lumayan pintar."
"Dih. Mentang-mentang dapat nilai sempurna kemaren." Hana mencibir kesal.
Orang-orang menertawakannya kemarin hanya karena dia mendapat nilai 87 padahal duduk bersebelahan sama Biru yang mendapat nilai 100 sementara Hana menyentuh 90 saja tidak.
Ya maap aku nggak nyontek ke pacarku yang pintar.
"Ngomong-ngomong, kamu ada acara apa pulang sekolah? Ada les, kah?"
Biru menggeleng. "Pisara ngajakin main game, tapi dia baru aja bilang dibatalkan. Mau kencan sama Kartika."
Dengan senyum lebar, Hana menggandeng lengan Biru. "Ayo, Biru kencan sama aku aja."
Biru berpikir sejenak. "Boleh juga. Mau ke mana?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Ke rumahku aja. Ibuku baru aja ngirimin snack banyak banget, bantuin ngabisin."
Biru mendecakkan lidah. "Kirain mau dimasakin sesuatu yang spesial."
"I'm a practical person. Ngapain masak kalau semua jenis makanan udah ada yang jual matengan?"
"Bukan soal ada yang jual atau nggak, tapi masak sendiri, kan, lebih spesial. Aku janji walau nggak enak aku akan bilang masakanmu paling enak sedunia."
"Maaf, Beb. Aku bukan orang yang romantis seperti itu."
Biru menghela napas dengan berlebihan. Dia nampak lesu. "Yeah, you've changed. Entah kemana cewek yang menulis lima halaman surat cinta buatku itu."
"Berhenti mengungkit soal suratku yang pertama itu," kata Hana sembari mencubit lengan pacarnya, membuat Biru memekik kesakitan namun, juga tertawa.
***
Menghentikan mobilnya di depan rumah Hana, Biru mengerutkan dahi menatap taman depan rumah yang kosong lalu melirik rumah di sebelahnya yang dipenuhi tanaman berdaun rindang.
"Ya ampun. Ckck. Gersang banget halaman rumahnya. Tanami sesuatu, kek, kayak taman milik tetangga," Hana menyeletuk dari samping Biru, mengikuti arah tatapan pacarnya,
Mau tidak mau Biru terkekeh. "Kamu bisa baca pikiran sekarang?"
"Nggak perlu kemampuan membaca pikiran, isi kepala kamu terungkap lewat tatapan mata."
Biru tertawa, tidak ada rasa bersalah sama sekali karena apa yang dipikirkannya diketahui. "Kalian atau orang tua kalian nggak suka tanaman?" Dia membuka seatbelt, turun dari mobil lalu berjalan memutar ke sisi penumpang untuk membukakan pintu Hana.
"Kami sibuk. Nggak ada waktu buat ngurusin bunga. Jangankan memikirkan soal taman di rumah, orang tua kami bahkan kadang lupa kalau mereka punya anak."
"Ah. Poor children."
Melangkah bersama menuju pintu rumah, Biru bertanya kenapa mereka tidak tinggal dengan kerabat saja. Hana menjelaskan bahwa kerabat terdekat mereka adalah adik tiri dari ibunya yang memiliki sepasang anak remaja namun baik Hana maupun Feliko tidak ada yang akur dengan mereka. Sejak SMP mereka hanya tinggal berdua dan hanya ditengok oleh teman baik ayahnya yang sesekali datang ke rumah.
Seolah memuji kemandirian Hana, Biru menyentuh ujung kepala pacarnya lalu menepuknya beberapa kali. Hana menunjukkan wajah bangga dan sombongnya.
"Ngapain lo di sini?" terdengar suara tak suka dari arah tanggah. "Ngapain pegang-pegang adek gue?"
"Abang!" seru Hana dengan ceria, berlari ke tempat kakaknya. "Abang mau kemana? Kok udah rapi, ganteng banget pula."
"Ada kerja kelompok sama teman," jawab Feliko, mata tajamnya masih tidak beralih dari Biru. "Ngapain dia di sini?"
"Ngapelin aku." Hana menubrukkan badan ke kakaknya, memeluk Feliko agar kakaknya itu tidak menyerang Biru.
"Why?"
"Biru, kenalin ini Bang Fel, kakak semata wayangku. Abang, kenalin itu Biru pacar baruku."
"Your what?" Kali ini tatapan Feliko beralih ke adik yang masih memeluknya dengan erat.
"Ma bopren."
"Nggak boleh! Siapa yang ngijinin kamu pacaran? Masih kecil nggak boleh pacaran!" Hana memutar bola mata. Mengabaikan adiknya yang masih bergelayut seperti monyet, Feliko menunjuk wajah Biru. "Pergi lo dari sini, sialan."
Sebal dengan kelakuan kekanak-kanakkan kakaknya, Hana menggigit lengannya, mengundang jerit kesakitan keluar dari mulut Feliko. "The fuck, Dek!!"
"Dia tamuku. Cuma aku yang boleh mengusirnya."
"Ini rumah abang juga. Abang berhak memilah tamu yang boleh masuk, dan lo," Feliko melototi Biru, "segera angkat kaki lo dari sini."
Hana pikir dia akan melihat wajah ketakutan atau tersinggung Biru, tapi cowok itu hanya mengangkat alis dan menyeringai, menggoda amarah Feliko.
"Brengsek, sini, lo!!"
Dengan langkah lebar dan membawa berat Hana, Feliko mendekati Biru. Namun, sebelum dia sampai, sebuah dering ponsel berbunyi dari sakunya. Awalnya dia mengabaikan, tapi akhirnya diangkat juga setelah benda itu berbunyi tiada henti. Sementara Feliko berbicara dengan temannya di telepon, Hana turun dari badan kakaknya lalu mengajak Biru ke dapur, menyingkir dari jangkauan pandang Feliko.
"Kakak kamu punya sister complex, yah?"
Hana mengernyit. "Maaf, yah, kalau kamu kaget. Abangku emang gitu. Dia nggak mau aku punya pacar, tapi kalau ada cowok yang menolakku dia juga marah."
"Either way, I'm doomed. Got it."
Hana tertawa. "Dia nggak jahat kok. Cuma agak goblok dikit kadang-kadan-Awck!!" Sebuah pukulan mendarat di kepala belakang Hana.
"Abang denger, yah." Mata Feliko beralih ke Biru, menatap lama pacar adiknya. Biru membalas tatapan itu dengan berani. "Awas kalau kalian macam-macam selama gue pergi."
"Abang pulang jam berapa?"
"Nggak tahu."
"Jangan sampai lebih dari jam sepuluh, yah. Kalau lebih, Biru bakal nginep di sini."
Giliran Hana yang mendapat pelototan dari Feliko. "Nggak ada acara nginep-nginepan!"
"Ya, itu, kan, tergantung Abang mau pulang jam berapa."
Feliko memelototi adik dan pacar adiknya sekali lagi sebelum keluar dari dapur.
Mengintip dari jendela, Hana menyaksikan kakaknya membawa mobil ayah mereka, sengaja mengarahkan moncong mobil itu mendekati badan mobil Biru, membuatnya deg-degan. Setelah melihat kakaknya pergi, Hana memutar badan menghadap Biru.
"Ngomong-ngomong, soal hal yang nggak sengaja keceplosan itu, yang soal Abangku sama Kak Eliz, Aku harap Biru nggak menyebarkannya ke orang lain."
Biru menatap Hana dalam diam.
"Kakakku mencintai Kak Eliz dan cintanya terbalas, tapi aku yakin bukan dia yang menghamilinya. Dan Bang Fel belum move on dari almarhum." Menatap mata Biru lekat-lekat, dengan nada memohon dia berkata, "Jangan bilang siapa-siapa dulu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top