Bab 8 "Guzheng"

Malam semakin larut, tapi aku belum mengantuk. Bulan sudah bersinar sempurna di langit malam tanpa awan. Bintang-bintang mulai menunjukkan cahayanya yang serupa dengan kilauan berlian.

Aku masih berada di gazebo kolam ikan koi, bersama dengan Jingmi dan Jia. Aku berdiri di tepian gazebo, memandangi ikan-ikan yang berenang lambat. Aku jadi penasaran, sebenarnya bagaimana caranya ikan tidur? Saat malam hari begini, ikan-ikan koi ini masih berenang, tidak berhenti sejenak untuk tidur hingga pagi. Mata mereka pun masih terbuka, tidak tertutup seperti orang yang sedang tidur.

"Tuan, mengapa Anda melamun?" Jingmi menepuk pundakku.

"Eh-eh, tidak ada apa-apa." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Tuan pasti sedang banyak pikiran. Apakah ramuan itu berhasil atau tidak. Apa saya benar?"

"Tidak, sayangnya kau salah, Jingmi. Walaupun itu benar juga." Ya, setelah makan tadi, aku meminum ramuan yang telah dibawa oleh Jia. Campuran ginseng dan lotus itu membuatku semakin bertenaga dan mataku semakin enggan untuk menutup.

"Mungkin Tuan butuh bermain Guzheng. Itu pasti akan menyenangkan Anda," ucap Jia. Aku baru mendengar kata guzheng akhir-akhir ini. Aku tidak tahu seperti apa bentuk dari guzheng itu.

Jia menyingkap sebuah kain di sisi gazebo. Sebuah kecapi dengan banyak senar diangkat oleh Jia ke meja di tengah gazebo. Jingmi membantu Jia untuk meletakkan alat musik itu di atas meja. Jia dan Jingmi meniup kecapi itu, khawatir ada debu yang menempel.

Oh, ternyata benda itu yang disebut guzheng.

"Silahkan, Tuan," ucap Jingmi dan Jia. Aku duduk di kursi yang tadi kupakai. Aku duduk dengan posisi bersila. Sebenarnya, aku belum pernah memainkan alat musik kecapi, tapi akan kucoba untuk memainkannya. Aku mulai memetik satu-persatu senar kecapi, mencari nada yang pas untuk dimainkan. Perlahan, aku terbiasa dengan nada-nada kecapi. Aku pun mencoba untuk memainkan lagu You Raise Me Up yang sering kudengarkan sambil menyanyikannya.

"When I am down and, oh my soul, so weary." Aku memetik senar yang berbunyi sol, do, mi, do, re, do, do, la, dan sol sambil menyanyikannya.

"When troubles come and my heart burdened be." Aku kembali memetik senar kecapi sambil bernyanyi.

"Then, I am still and wait here in the silence. Until You come and sit awhile with me.…"

Jingmi dan Jia menatapku lekat. Ekspresi mereka sama sekali tak menunjukkan rasa kekaguman. Alis mereka malah bertaut.

"Apa permainanku ini tidak bagus?" tanyaku.

"Eh tidak, Tuan," jawab Jia.

"Hanya saja, itu bukan lagu yang biasa Tuan mainkan." Jingmi berucap.

"Benarkah?"

"Iya. Biasanya, Anda memainkan nada yang lembut dan tenang, bukan lagu dalam bahasa Eropa."

Astaga. Aku terlalu sembrono memainkan guzheng ini. Mereka jadi tahu bahwa aku bisa bahasa Inggris. Juga, aku tidak memainkan guzheng dalam nada yang familiar bagi Jia dan Jingmi. Apa yang telah aku lakukan?

Mendadak, kepalaku sakit seperti ditusuk ribuan jarum. Aku menahan agar tidak mengeluarkan suara, agar Jingmi dan Jia tidak curiga. Pandanganku langsung buram. Sedetik kemudian, muncul kilasan adegan seseorang yang sedang memainkan kecapi China ini. Ia duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Tangannya telaten memetik satu persatu senar guzheng berwarna coklat. Alunan nada lembut dari kecapi merasuk telingaku. Sebuah nada yang asing, belum pernah kudengar sama sekali. Setelah lagu yang dimainkan oleh orang itu berakhir, pandanganku kembali jelas. Rasa sakit yang kualami tadi menghilang.

"Ada apa, Tuan? Anda perlu sesuatu?" tanya Jia.

Aku tidak menjawab pertanyaan Jia. Aku kembali memetik senar-senar yang ada pada guzheng. Nada yang tadi sempat muncul di pikiranku, kucoba untuk mengingatnya. Semua perhatianku tertuju pada nada-nada asing itu. Petikan demi petikan, menyusun sebuah nada yang mengalun indah. Tanpa menghiraukan tepuk tangan Jia dan Jingmi, aku terus melanjutkan permainan. Aku mengulangi nada yang kumainkan selama beberapa menit. Jari-jariku terasa pegal, tapi kupaksakan untuk mengalunkan nada indah dari guzheng. Namun, sebuah suara langkah kaki yang berat mengganggu pikiranku yang sedang berkonsentrasi.

Sebuah suara yang berat membuatku kehilangan semua fokus. Beberapa petikanku tidak sesuai dengan nada tadi. "Lelaki sejati takkan duduk bermain guzheng, sedangkan lelaki lain berangkat ke medan perang."

Aku langsung menghentikan permainan guzheng-ku. Mengistirahatkan jari-jari yang kugunakan untuk bermain, dan menghadapi orang yang datang untuk mengganggu. Ternyata dia adalah Pangeran Kedua Wei, si jendral yang tempramental.

"Ada apa Pangeran Kedua repot-repot datang ke istanaku yang sederhana ini?" tanyaku seramah mungkin.

"Disaat petinggi Quon yang lain sibuk mengurus kepentingan Kerajaan, kau malah sibuk bermain guzheng seperti seorang perempuan." Wei mengepalkan tangannya. Matanya sudah membelalak sejak kali pertama aku menatapnya. Alis tebal Wei bertaut akibat kerutan di jidatnya.

"Apa ada yang salah dengan itu? Bukankah mereka itu orang yang sudah ahli?" Aku bertanya. "Lagipula, Anda tak butuh bantuan dari sampah seperti saya."

Di belakang Wei, Jia dan Jingmi menunduk. Sepertinya mereka ketakutan pada Wei yang pemarah dan suka mengganggu ini. Apalagi mereka sudah lama bertemu. Kemungkinan besar, mereka tahu sifat asli dari Pangeran Kedua ini. Sikap mereka yang diam saat aku menghadapi Wei adalah alasan dimana aku harus berkultivasi. Aku harus bisa melindungi diriku sendiri, tak perlu mengandalkan orang lain sebagai tameng.

"Pantas saja kau tak menjadi Putra Mahkota." Wei berucap sambil berjalan satu langkah ke hadapanku. "Pekerjaanmu hanyalah melukis dan bermain guzheng saja, seperti seorang perempuan."

Tersulut emosi, aku membalasnya dengan kasar. "Perempuan ini sedang melakukan pekerjaannya. Silahkan Jendral Quon yang terhormat pergi dari sini."

"Heh, akhirnya kau mengaku juga, Putri Fengying," ucap Wei yang menekankan kata 'Putri Fengying'.

"Apakah Anda tidak memiliki pekerjaan lain selain mengganggu sampah ini, Pangeran Wei yang terhormat?" Aku bangkit dari kursi, membentak Wei yang sedang tersenyum puas.

"Tentu saja tidak," jawab Wei, "aku seorang jendral, dan pasukanku butuh pemimpin yang kompeten."

"Anda merupakan jendral yang berbakat, tapi tidak mampu menangani seorang sampah yang berada di hadapan Anda."

"Dasar sampah! Jika tidak ada Ayahanda di sini, aku sudah pasti akan membunuhmu saat ini juga!"

"Silakan, Pangeran Wei yang terhormat. Saya sudah siap menghadapi kematian dua kali," jawabku sambil tersenyum pada Wei.

"Awas kau, Feng! Aku akan mengulitimu hidup-hidup nanti!" Wei pun pergi dari gazebo dengan langkah yang lebih keras pada saat ia datang. Jingmi dan Jia menggeleng, mereka tidak marah karena tentu saja mereka berdua tak bernilai di hadapan Wei. Wei mungkin saja akan membunuh mereka tanpa ragu.

Akhirnya, setidaknya aku bisa bernapas lega untuk sejenak. Wei mengatakan para petinggi sedang sibuk, mungkin saja ia akan berangkat ke medan perang. Semoga saja ia gugur dan membawa kejayaan bagi Quon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top