Bab 50 "Rumahku Istanaku"
Upacara terakhir bagi Wei sudah dilakukan. Tangis haru mengiringi kepergian Pangeran Kedua yang merupakan jendral kepercayaan Raja.
"Sampaikan pada Ayahanda bahwa aku menyayanginya." Perkataan Wei terlintas di pikiranku. Pesan terakhir dari orang yang kukalahkan itu.
Aku berjalan ke dekat Yang Mulia Raja, berdiri di sisinya. "Ayah, Wei pernah berkata padaku. Ia menyanyangimu."
"Aku tahu, Nak. Aku tahu." Raja membalas ucapanku tanpa menoleh. Ia fokus menatap api yang membumbung tinggi di tengah halaman istana yang menjadi tempat pengkremasian jasad Wei. "Di balik wajah garangnya, tersembunyi sebuah luka yang tidak diperlihatkan pada orang lain."
"Ia cemburu padaku." Saat pertama kali kami bertemu, Wei berkata pada Raja bahwa ia mengalahkanku dengan adil dalam duel. Namun saat itu Raja menjatuhkan hukuman padanya, memangkas seperempat jumlah pasukan Wei. Sebuah kerugian untuk seorang jendral karena kekuatannya berkurang. Yang Mulia Raja terlalu peduli pada Feng, mengabaikan anak-anaknya yang lain. Wajar jika Wei sampai melakukan kesepakatan dengan Qing untuk merebut posisi Putra Mahkota dari Feng.
"Tindakanku sudah menimbulkan perpecahan di kerajaan ini. Akulah yang patut disalahkan atas segalanya."
"Anda tidak perlu menyalahkan diri sendiri, Ayahanda. Semuanya sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa." Aku membalas ucapan Raja.
"Kau memang orang yang pantas untuk menggantikanku nanti, Nak." Ia menoleh padaku. Mata Raja yang sayu menatap langsung mataku. Ia tersenyum simpul. "Seorang Raja haruslah bijak dan adil."
"Terima kasih atas pujian Anda, Ayahanda."
***
Semuanya terjadi begitu cepat. Raja memutuskan untuk membuat upacara terakhir bagi Wei, dan upacara itu sudah selesai beberapa menit yang lalu. Aku dan para bawahanku dibebaskan karena tidak terbukti memberontak. Yang Mulia Permaisuri bersikeras ingin menemaniku di Istana Koi, tapi kutolak karena lelah. Berada di peperangan membuat siapapun lelah. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah air hangat di pemandian juga beberapa makanan enak.
"Yang Mulia, mari kita pergi ke kediaman Anda." Jingmi berlutut di hadapanku.
"Bagaimana dengan para bawahanku?" Bukan hanya aku yang lelah dan lapar, tapi mereka juga. Mungkin di depanku mereka semua tidak berani meminta karena enggan. Akulah yang harus berinisiatif.
"Mereka sepertinya lelah. Apa Anda ingin mereka pergi bersama kita ke Istana Koi?"
"Ya. Berikan juga makanan pada mereka."
Dua puluh satu orang mengikuti seorang prajurit berzirah perak untuk pergi ke Istana Koi, kediaman Feng- aku. Kami melewati lorong yang dipenuhi prajurit lain yang sedang berjaga. Mereka semua membungkuk saat aku lewat.
Semuanya berbeda dari saat pertama kali aku terbangun di sini. Dahulu, aku masih dianggap sampah. Seorang pelayan pun berani membicarakan keburukan Feng, padahal saat itu aku berada di depannya. Sekarang, para prajurit melakukan penghormatan. Julukan "Pangeran Sampah" sudah terlepas dariku- Feng.
Beberapa menit berjalan, kami semua sudah tiba di kediamanku ini. Para bawahanku tersenyum melihat pemandangan yang sepertinya baru pertama kali mereka alami. Istana yang dibentuk sesuai yang ada di film China yang pernah kutonton. Atap yang bertingkat dengan puluhan pilar yang menopang. Lentera merah bertulisan bahasa Mandarin menggantung di atap. Tak lupa jajaran pohon di kolam yang berada di sebelah timur. Pepohonan buah yang lebat mengelilingi sebuah kolam yang penuh dengan ikan koi bermacam-macam warna.
"Beristirahatlah di tempat yang kalian mau." Aku berucap kepada semua anggota Black Lotus Assassin. Raut muka mereka seketika berubah menjadi bahagia. Wajah mereka yang lesu kini dihiasi senyuman yang manis.
"Terima kasih, Tuan!"
***
Istana Koi masih sama seperti sebelum aku pergi. Jajaran pohon buah yang ranum mengelilingi kolam besar yang ditengahnya dibangun sebuah gazebo. Puluhan ikan koi berenang bebas di kolam berair jernih dan segar ini. Ditemani Jingmi dan Jia di gazebo, aku memainkan guzheng milik Feng. Guzheng milik Feng masih terawat meskipun aku sudah tidak memainkannya selama beberapa tahun. Tidak ada satupun senarnya yang putus, bahkan setitik debu pun tak ada di permukaan alat musik kecapi versi China ini. Mereka berdua tidak mengabaikan kediaman ini bahkan setelah aku dikabarkan menghilang. Benar-benar bawahan yang setia.
"Tuan, ceritakan kepada kami mengenai kejadian yang menimpa Anda." Jingmi yang duduk di depanku mengeluarkan suara setelah ia diam mendengarkan alunan musik guzheng. "Aura Anda sangat berubah semenjak terakhir kali kita bertemu."
Jari-jemariku memetik senar-senar kecapi China. Alunan lembut nada yang riang membawa ketenangan di tempat bagaikan setitik surga yang jatuh ke bumi ini. Bersamaan dengan gerakan jari, aku melantunkan sebuah puisi. Puisi dadakan yang terlintas di kepala saat itu.
"Yang lalu biarlah berlalu...
Kini saatnya berdiri dengan kakimu...
Rahasia tetaplah menjadi rahasia...
Hingga habis waktu Sang Nyawa..." Kubalas pertanyaan Jingmi dengan puisi.
"Jadi Tuan tidak ingin menceritakan pada kami?" Kini Jia yang bertanya. "Anda tidak mempercayai kami?"
"Saat waktu telah tiba, kuceritakan semuanya...
Bukan dengan hati penuh luka dan darah...
Apalagi dalam keadaan perut kosong...
Aku butuh makanan dari Istana Kerajaan...."
"Hahahaha!" Jingmi dan Jia tergelak. Aku menghentikan permainan guzheng, memperhatikan mereka berdua.
Kalian tidak berubah ya?
"Santaplah dumpling istimewa buatan pelayan Anda ini, Tuan. Perut Anda akan langsung penuh setelah menyantap beberapa!" Jia menyodorkan sepiring dumpling yang berukuran sekepalan tangan. Ia benar-benar bertekad untuk membuatku kekenyangan rupanya.
"Jangan lupa membaginya dengan saya, Tuan. Bukan hanya Anda yang lapar." Jingmi tertawa. Ia terkikik sambil memegangi perutnya.
"Ini khusus untuk Yang Mulia Pangeran. Kau tidak berhak mendapatkan dumpling ini, Jingmi." Jia mendekatkan piring berisi dumpling itu padaku, menjauhkannya dari Jingmi.
"Tidak apa." Aku membalas. "Lakukan seperti dahulu saat kita makan bersama setelah latihan pedang."
"Terima kasih atas kemurah hatian Anda, Tuan!" Pengawalku itu bangkit lalu membungkuk ke arahku.
Senyum dan tawa. Berlainan dengan pertama kali aku berada di istana ini. Kemarahan Wei, tangisan Permaisuri, dan hukuman dari Yang Mulia Raja kepada Wei. Istana yang dulunya hanya ada tiga orang di dalamnya kini dipenuhi oleh orang-orang yang telah membantuku untuk memenuhi tujuan.
Semua kenyamanan ini membuatku bertanya-tanya. Apa ini adalah akhirnya? Akhir bahagia dimana semua benci dan jijik berubah menjadi cinta dan rasa hormat? Artefak Dewa Kegelapan telah hancur bersama tubuh Wei yang terbakar api. Perjanjianku dengan Dewa Pengetahuan sudah terpenuhi. Haruskah aku kembali sekarang?
***
Gemericik air kolam tidak mampu meredakan pikiran yang masih berkecamuk dari siang. Purnama di langit malam bersinar terang bersama jutaan bintang yang membentuk rasi-rasi. Para anggota Black Lotus Assassin sudah tertidur tanpa alas di halaman belakang istana. Jingmi pengawalku pun tidak berada di depan pintu bangunan istana. Istana ini hening, tanpa manusia lain yang terbangun.
"Oryza...."
Suara bisikan itu memanggil namaku. Namun, tidak ada siapapun kini di dekatku, lorong istana yang berhadapan langsung dengan kolam ikan koi yang luas.
"Oryza Sky...."
Suara yang sama memanggilku dengan nama lengkap. Bisikan itu sekarang sudah seperti suara normal manusia, bukan berupa panggilan halus. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tidak ada siapapun. Namun saat berbalik ke belakang, seorang kakek tua yang memakai tongkat sudah berdiri di hadapanku tanpa terdeteksi auranya.
"Astaga!" Aku memekik keras, hampir terlonjak ke pagar pembatas kolam. Untungnya sang kakek sigap memegang tanganku.
"Sudah sekian lama tidak bertemu, kau masih belum berubah, ya?" Kakek tua itu melepaskan tanganku. Ia kembali bertumpu pada sebatang kayu yang menjadi penopangnya.
"Tidak ada aura yang kurasakan saat kau datang, Kek," jawabku atas pertanyaannya.
"Wajar, aku adalah salah satu yang terkuat diantara para dewa-dewi." Dia adalah Dewa Pengetahuan, atau yang biasa kupanggil dengan nama Kakek Jun. Muka sang kakek menjadi lebih tua setelah beberapa tahun tidak bertemu langsung seperti ini. Kami hanya pernah bertemu di Ruang Dimensi Cincin Ruang yang kini telah hancur karena kegelapan. Apa wajahnya yang menua itu ada hubungannya dengan Ruang Dimensi yang hancur?
Kedatangan Kakek Jun ke Quon pasti bukanlah iseng ingin berkunjung. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan kepadaku.
"Kau benar, Nak. Sudah saatnya aku memenuhi perjanjian kita." Kakek Jun merespon kata-kata yang terbersit di pikiranku.
"Apa sekarang aku bisa pulang?"
Kakek Jun mengeluarkan sebuah kristal dari balik lengan hanfu hijaunya. Kristal bening yang berkilau di tengah remang-remang. Ia menyerahkan kristal itu padaku. "Jawablah dengan kultivasi milikmu, Nak."
Kuterima kristal itu dengan tangan kanan. Kakek Jun mengisyaratkan bahwa aku harus mengalirkan energi qi atau hasil kultivasiku pada kristal ini. Itu hal yang mudah. Namun yang jadi masalah, apa yang terjadi setelahnya adalah jawaban dari pertanyaanku sebelumnya. Apakah aku bisa pulang sekarang?
Energi qi murni keluar dari daerah pusar, tempat dimana dantian yang menyimpan semua energi berada. Energi qi murni adalah energi yang tidak berwarna seperti energi elemen, tapi masih bisa dirasakan oleh orang lain. Energi yang keluar itu membuat kristal yang kupegang bersinar lebih terang. Ini sudah menjadi jawabannya.
"Belum. Terus alirkan energimu." Sial. Ternyata itu belum cukup. Kakek Jun ingin membuatku kehilangan semua energi qi.
Setengah energi di dantian telah keluar menuju kristal yang sekarang cahayanya makin terang. Jika ini dibiarkan, aku akan kehabisan semua tenaga.
"Itulah kegunaan dari Kristal Dimensi. Kau hanya bisa berpindah dimensi setelah energi yang masuk mencapai Semesta Tingkat 1."
Apa?! Semesta Tingkat 1? Kultivasiku sekarang berada di Langit Tingkat 1. Jarak yang jauh dari persyaratan.
Sekian lama mengalirkan energi pada kristal di tangan, kepalaku berdenyut. Kakiku lemas, tidak mampu menopang badan. Aku terjatuh berlutut. Kristal Dimensi terlepas dari genggamanku.
"Kau sudah menjawabnya, Nak." Kakek Jun berucap. "Lakukanlah saat kultivasi milikmu berada di Semesta Tingkat 1."
"Jadi aku ... tidak bisa pulang?" Masih dalam keadaan kehabisan tenaga, aku memaksakan untuk bertanya.
"Hanya itu satu-satunya jalan, dan jalan itu sudah tertutup."
Aku hanya bisa diam. Perjanjian diantara kami sudah terpenuhi. Jalan satu-satunya tidak bisa diraih, kultivasiku masih lemah. Aku harus menlanjutkan hidup sebagai Feng, bukan Oryza, untuk waktu yang lama.
"Terimalah takdir ini, Nak. Sekarang kau memiliki ayah yang peduli padamu. Tidak butuh waktu lama, takhta Quon akan berpindah padamu."
Ayah yang peduli pada anaknya. Tapi dia bukanlah ayahku. Ia adalah ayah Feng, Yang Mulia Raja Ho Hongli, bukan pria biasa yang bekerja di sebuah kantor, Aaron Sky.
"Garis takdir tidak bisa diubah, bahkan oleh dewa sekalipun. Lepaskan semua bebanmu, berkultivasilah hingga jalan itu terbuka."
_________________________________
Alhamdulillah. Oryza udah tamat. Makasih yang udah ngedukung dengan membaca cerita ini, vote, maupun comment. Dukungan kalian semua bermanfaat banget buat Author. Pokoknya makasih semuanya❤
Bogor, Jumat 31 Maret 2023
Ikaann
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top