Bab 5 "Perayaan"

Ahh … hangat sekali….

Cuaca di kerajaan ini lebih dingin daripada di Surabaya. Untungnya, di istana ini tersedia selimut yang sangat nyaman dan hangat. Kehidupan Pangeran Feng sangat bergelimang harta. Uhh, akan kubawa selimut ini saat pulang nanti.

"Ehm … Mom, gimme five minutes…."

"Pa-pangeran bisa berbicara bahasa Eropa?" Suara seorang perempuan membuatku terkejut setengah mati. Aku terlonjak dari tempat tidur, membuat kasur yang kutempati berantakan.

"Astaga! Ternyata itu kau, Jia?"

"Maafkan saya, Pangeran." Perempuan berkulit kuning langsat itu menunduk. "Saya hendak mempersiapkan keperluan Anda untuk sarapan di Aula Matahari."

"Baiklah, aku akan mandi sekarang." Aku turun dari tempat tidur secara perlahan, menginjakkan kaki di lantai kayu yang mengkilap bagai sudah dipoles. Badanku tidak terasa sakit lagi, hanya saja masih kaku untuk digerakkan. Aku menjadikan kasur sebagai tumpuan untuk berdiri. Aku pun mulai melangkahkan kaki. Namun masalahnya adalah, "Dimanakah letak kamar mandi?"

Mengapa aku tidak bertanya tadi pada Jia? Dasar Oryza si pelupa!

"Mari, saya bantu, Pangeran." Jia yang sedang merapikan beberapa baju, segera menghampiriku. Dia membopongku, membawa ke sebuah pintu berukiran ikan koi. Jia membukakan pintu itu, mendudukkanku di tangga menuju ke sebuah kolam yang sudah berisi air.

"Untuk air mandi Anda, saya menambahkan aromaterapi sebagai penenang," ucap Jia.

"Baiklah, terima kasih, Jia." Aku tersenyum padanya.

Jia melepaskan tali hitam yang melekat di pinggangku, membuat hanfu merah yang kupakai lebih longgar. Jia menarik hanfu yang sudah longgar, menyisakan sebuah lapisan tipis putih polos yang menutupi tubuhku. Tangan kecilnya hendak membuka lagi satu ikatan yang membuat pakaian tipis ini ketat. Lapisan terakhir pun terbuka sedikit, hampir memperlihatkan seluruh tubuhku.

"A-apa yang k-kau lakukan!?" Aku menepis tangan Jia yang membukakan pakaianku. Dasar perempuan mesum!

"Ma-maafkan saya, Pangeran!" Jia menunduk. "Saya hendak membantu Anda untuk membuka pakaian."

"Tidak usah! Aku bisa melakukannya sendiri!" Aku membentak Jia.

"Maafkan saya yang bodoh ini, Pangeran." Jia membungkuk 45° ke arahku. "Saya undur diri." Ia berjalan ke pintu pemandian dengan terburu-buru.

Huuh, ada-ada saja dia.

Aku melangkahkan kaki ke arah kolam, menuruni tangga kolam yang terbuat dari batu alam. Kucelupkan sedikit kakiku ke air yang telah disiapkan oleh Jia. Hangat, cocok untuk cuaca pagi yang dingin ini. Akhirnya, aku berendam di air hangat beraroma pinus ini. Sangat menyegarkan.

Setelah beberapa menit berendam, aku baru tersadar karena pakaianku yang berwarna merah tadi tidak ada. Yang ada hanyalah sebuah baju berwarna emas yang berada di pinggir kolam dekat tangga. Mungkin Jia yang menyiapkannya saat aku berendam tadi.

Aku berjalan ke pinggir kolam, mengakhiri sesi mandi pagi yang menenangkan. Kugunakan sebuah kain putih untuk mengelap air yang masih menetes dari badanku. Setelah agak kering, aku mengambil hanfu putih polos. Aku memasukkan kedua tangan ke masing-masing lubang yang memang untuk lengan, lalu kukencangkan dengan tali putih. Selanjutnya, aku mengenakan hanfu emas yang sudah disiapkan. Kukencangkan dengan tali pinggang berwarna emas yang tergeletak di lantai. Aku pun keluar dari pemandian ini.

"Anda sudah selesai, Tuan?" tanya Jia yang berdiri beberapa langkah dari pintu pemandian.

"Sudah," jawabku, "apalagi yang harus kulakukan?"

"Anda harus menata rambut Anda yang masih belum rapi."

"Apa? Rambutku itu pendek mengikuti aturan sekolah!" Aku membalas. Eh? Aku memegang rambut yang menjuntai hingga ke punggungku. Ya ampun, rambutku juga berubah!

"A-aturan sekolah? Apa itu sekolah?"

"Itu adalah tempat untuk belajar, Jia," jawabku.

"Tapi, Tuan tidak pernah masuk ke Akademi Kerajaan. Anda belajar bersama guru dari akademi yang didatangkan langsung oleh Yang Mulia Raja." Jia berucap sambil mengerutkan alisnya yang tipis.

"Sudahlah. Lebih baik aku harus merapikan rambut yang kusut ini."

"Baik, Tuan." Jia melangkah ke sebuah meja rias dengan cermin besar di depannya. Ia mengeluarkan sebuah sisir dari laci meja. "Silahkan duduk, Tuan."

Aku berjalan ke meja rias, lalu duduk di kursi kayu yang berbantalan lembut. Tangan Jia telaten menyisir rambutku yang berubah menjadi panjang. Aneh rasanya saat rambutku yang pendek dan mudah disisir menjadi panjang seperti rambut perempuan. Lagipula, aku bisa menyisir rambutku sendiri. Namun, Jia dengan sigap melakukannya. Setelah merapikan rambut, Jia mengikat rambutku, lalu menusuknya dengan tusuk rambut yang terbuat dari giok.

"Selesai, Tuan." Ia memasangkan sebuah hiasan kecil mirip topi di gulungan rambut yang diikat Jia.

Kutatap wajah yang terpantul di cermin besi yang sudah dipoles. Agak buram, karena tidak seperti cermin pada umumnya. Namun, dapat kulihat bayangan di cermin. Tubuh Pangeran Feng kurus kering. Kulitnya putih, tidak seperti Pangeran Kedua yang kulitnya cerah tapi kusam. Wajar, dia adalah seorang jenderal yang bertempur di medan perang. Rambut Pangeran Feng lurus dan mudah diatur, Jia tidak sampai membuatku sakit saat disisir. Jia mengikat rambutku hingga tidak tergerai sebahu, ia juga menusuk rambutku supaya kencang.

"Ayo, Pangeran. Kita harus berangkat ke Aula Matahari." Jia mengajakku untuk segera pergi.

"Baiklah." Aku bamgkit dari kursi rias.

Jia menuntunku ke pintu ganda berukiran sepasang ikan koi. Dia membuka pintu itu. Di luar, Jingmi menyambutku dengan hormat.

"Hormat saya pada Pangeran Pertama Kerajaan Quon, Ho Fengying." Jingmi membungkuk 90° padaku.

"Bangkitlah, Jingmi," ucapku. Posisi Jingmi kembali tegak.

"Ayo, kita berangkat!" ucapku penuh semangat.

***

Aku, Jia, dan Jingmi berjalan beriringan menuju ke tempat acara makan pagi di Aula Matahari. Beberapa kali aku berpapasan dengan prajurit maupun pelayan, tapi tak ada yang menyapaku seperti Jingmi tadi. Apa setiap hari Feng diperlakukan seperti ini?

Saat berjalan, Jingmi berbisik padaku. "Pangeran, Anda harus hati-hati dengan Pangeran Kedua."

"Aku sudah tau. Dia tidak menghormati Raja." Aku membalas ucapan Jingmi dengan berbisik juga.

Setelah beberapa kali melewati persimpangan, dan kebun yang luas, tibalah aku, Jingmi, dan Jia di tempat  tujuan kami. Pilar-pilar berwarna merah menopang atap yang berbentuk trapesium. Lampion bertuliskan huruf-huruf China digantungkan di atap yang terbuat dari genting berwarna hitam. Di depan pintu menuju Aula, sebuah lapangan luas terhampar. Banyak prajurit yang berjaga. Benar-benar megah istana kerajaan ini.

Dua orang penjaga pintu masuk Aula langsung membukakan pintu saat aku lewat. Jingmi dan Jia mengikutiku di belakang. Dua penjaga itu berteriak lantang. "Mengumumkan kedatangan Pangeran Pertama Quon, Ho Fengying!"

Aku melangkah pelan ke dalam Aula yang mulai ramai. Tak ada satupun orang yang menyapaku disini. Mereka semua malah berbincang tanpa melirik padaku.

Mereka parah sekali!

"Kita duduk di dekat tempat Yang Mulia Raja, Pangeran," ucap Jia.

"Baik," jawabku.

Jia menuntunku ke sebuah meja yang berada di samping meja yang lebih besar dari yang lain. Aku duduk bersila di kursi pendek. Di depanku, beberapa makanan sudah tersaji. Namun tentu saja, aku harus menunggu Raja membuka acara ini. Jingmi dan Jia berdiri di belakangku.

Beberapa saat kemudian, penjaga gerbang meneriakkan sebuah nama dengan lantang.

"Mengumumkan kedatangan Pangeran Kedua Quon, Ho Weiheng!"

Wei, yang merupakan Pangeran Kedua, melangkah dengan tegas ke Aula. Beberapa orang menghampirinya dan menyapa Wei. Mereka berbincang-bincang agak lama. Dari percakapan mereka, aku mendengar beberapa kalimat.

"Anda dengan mudah mengalahkan Pangeran Feng. Anda pastinya berusaha keras untuk itu," ucap seorang pria pada Wei.

"Aku tak berusaha, dalam tidur pun aku bisa mengalahkannya." Wei membalas.

"Ya, Anda benar. Pangeran Feng hanyalah seorang sampah kultivasi, sedangkan Anda adalah jenius."

Setelah berbincang, Wei berjalan ke meja di ujung, agak jauh dariku, tapi masih dekat dengan meja besar untuk Raja dan Permaisuri. Ia mendelik padaku.

Awas saja kau, Pangeran Kedua!

Tak lama kemudian, datanglah orang yang utama di acara ini, yaitu Raja, Permaisuri, juga dua perempuan lain yang mengikuti mereka di belakang. Para tamu yang sudah hadir, berdiri untuk menyambut Raja. Begitupun aku dan Wei.

"Hormat kami pada Yang Mulia Raja, Yang Mulia Permaisuri, Yang Mulia Selir Pertama, dan Yang Mulia Selir Kedua!" ucap para tamu, aku mengikuti ucapan mereka.

Raja dan rombongan duduk di tempat yang sudah disediakan. Permaisuri duduk di sampingku. Para tamu pun duduk setelah Raja dan rombongan duduk.

"Hadirin semua, tidak ada lain sebab aku mengumpulkan kalian di Aula ini untuk merayakan dua hal." Raja berucap. Kami semua menyimak ucapan Raja.

"Kerjasama antara Quon dan Wu sudah disetujui oleh Raja Wu. Perjanjian dagang juga militer sudah disepakati antara dua kerajaan. Kerjasama dengan kerajaan pusat dagang seperti Wu, dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat."

"Dan satu lagi, Pangeran Pertama sudah sembuh dari kejadian tak terduga kemarin. Pangeran Fengying sudah bisa berkegiatan seperti biasa." Raja memandangku setelah berbicara.

"Untuk merayakan hal itu, mari kita menyantap hidangan yang sudah disajikan."

Para tamu mulai memakan makanan yang sudah tersaji di depan mereka. Sedangkan aku, menengadahkan tangan untuk berdoa sejenak. Setelah berdoa, aku mulai makan. Permaisuri, yang duduk di dekatku, memandang apa yang aku lakukan.

"Pangeran Pertama, kudengar kau sudah sembuh dari kejadian kemarin." Pangeran Kedua Wei mengajakku bicara.

"Ya. Tabib sudah memberikan ramuan pada saya untuk menyembuhkan luka," jawabku sambil berperan sebagai Pangeran Feng.

"Percuma saja. Racun itu tak akan hilang sempurna. Apalagi untuk sampah kultivasi sepertimu." Aku tidak merespon ucapan Wei. Beberapa orang menoleh padaku dan Wei. Bahkan, Raja memandangi Wei sambil membelalakkan matanya.

"Pangeran Kedua, sebaiknya Anda jaga perkataan Anda," ucap Raja.

"Ayahanda, bukankah itu kebenaran? Untuk seorang dengan tahap kultivasi Emas Tingkat Dua, melawan orang yang tak bisa berkultivasi itu seperti gajah melawan semut?"

"Apakah Pangeran Kedua sangat ahli berkultivasi?" tanyaku.

"Tentu saja! Tinggal beberapa tingkat lagi untuk kultivasi ke tahap Berlian," jawab Wei.

"Namun sepertinya Anda belum pandai berkultivasi, Pangeran Kedua. Orang yang tidak bisa berkultivasi bahkan bisa selamat dari serangan Anda."

"Huh! Itu hanya sebagian kecil dari kekuatanku saja, Feng!" Seketika muka Wei memerah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top