Bab 4 "Cerita Masa Lalu"
Haah … belum lama terbangun di dunia aneh ini, aku sudah mendapat satu musuh. Dia mengaku sebagai jendral kerajaan ini, sekaligus Pangeran Kedua. Astaga, musuhku berat sekali.
"Dia selalu bersikap seperti itu. Seharusnya Anda segera menentukan siapa yang menjadi Putra Mahkota, Yang Mulia." Perempuan yang duduk di dekatku bangkit, berjalan menuju Raja yang masih terdiam.
"Aku masih bimbang, istriku. Tidak ada kandidat yang pantas saat ini." Raja membalas perkataan Permaisuri.
"Bukankah putra kita orang yang berhak?" Permaisuri menggenggam tangan Raja yang penuh guratan.
"Para petinggi takkan menyetujuinya." Raja melepaskan genggaman sang Permaisuri. Ia memandang sang Permaisuri yang menunduk.
"Malangnya nasib Feng…." Permaisuri memandangku. Matanya berair.
"Kita harus tetap berusaha, istriku." Raja memeluk Permaisuri. Mata sang Permaisuri yang memang sudah basah, mengeluarkan air yang mungkin ia tahan dari tadi. Namun karena melihat keadaanku---Pangeran Feng--- ia tak mampu untuk membendung.
Seandainya ayahku juga perhatian seperti Raja itu pada Pangeran Feng. Hatiku terasa bahagia karena Raja mempedulikan Pangeran Feng---aku. Permaisuri juga sangat harmonis dengan Raja. Tidak bertengkar walaupun ada masalah, yaitu terlukanya Pangeran Feng. Hal itu mengiris hatiku dimana sehari-hari ayahku selalu bertengkar dengan ibuku walaupun alasannya sepele. Apalagi sekarang, aku berpindah tempat ke kerajaan yang tak pernah kuketahui. Mereka pasti khawatir karena aku pulang terlambat. Dan itu bisa membuat Ayah marah pada Ibu dan berakhir dengan luka di beberapa bagian tubuh Ibu.
Itu artinya, Ibu bisa saja berada dalam bahaya! Aku harus segera pergi menyelamatkan Ibu!
Astaga! Aku lupa kalau sekarang aku bukanlah Oryza. Aku menjadi seorang pangeran di negeri antah berantah. Aku harus mencari cara agar bisa kembali ke dunia asalku.
"Feng putraku. Biarkan Ibunda tinggal sementara disini untuk menjagamu." Permaisuri kembali duduk di sampingku.
Ah, disini, aku haruslah menyamar menjadi Pangeran Feng. Aku harus memanfaatkan posisinya untuk kabur dari sini.
"Saya sudah membaik, Ibunda." Aku menimpali ucapan Ibunda Pangeran Feng atau Permaisuri itu. Sebisa mungkin, aku berbicara baku agar mereka tak curiga.
"Tabib mengatakan bahwa tubuhmu masih dipenuhi racun. Biar Ibunda keluarkan racun-racun itu." Permaisuri memegang tanganku erat seakan ingin meyakinkanku. Namun, berada terlalu dekat dengannya dalam waktu yang lama bisa jadi ia curiga padaku. Seorang ibu pastilah memiliki bakat seperti itu.
"Ibunda tak usah khawatir. Ada pelayan saya disini yang siap menjaga saya," ucapku. Jingmi dan Jia yang mendengar ucapanku langsung berlutut.
"Kami siap melayani Yang Mulia Pangeran Pertama sekuat tenaga!" ucap mereka mantap.
"Sepertinya ingatanmu tak sepenuhnya hilang, Nak." Raja berucap. "Semoga saja kau segera pulih sempurna." Raja mengusap kepalaku pelan. Tanpa sadar, setetes air jatuh dari mataku. Baru kali ini aku mendapat belaian lembut ini dari ayah--ah bukan, beliau adalah Ayah dari Pangeran Feng, bukan ayahku.
Aku mengusap air mata yang jatuh, mencoba bersikap biasa saja untuk mencegah kecurigaan. "Yang Mulia Raja dan Permaisuri tak perlu khawatir. Saya baik-baik saja," ucapku.
"Nak, jangan panggil kami 'Yang Mulia'," tegur Permaisuri, "panggil kami dengan sebutan Ayahanda dan Ibunda."
"Ah, iya. Ayahanda dan Ibunda tak perlu khawatir." Aku mengoreksi cepat ucapanku sebelumnya.
"Lagipula, Ayahanda dan Ibunda pasti punya tugas yang harus diselesaikan." Aku melanjutkan.
"Ah, kau benar, Feng. Urusan para bandit yang meneror warga perlu diselesaikan." Raja memilin jenggot panjangnya.
"Ibunda harap, kau mendapat keberuntungan, Nak." Permaisuri mencium tanganku.
"Ibunda jangan khawatir," ucapku, "keberuntunganku sudah ada sejak lahir."
"Jangan lupa, hadirlah besok di perayaan kesembuhanmu, Nak." Permaisuri berbisik di telingaku.
Raja dan Permaisuri pun meninggalkan ruangan. Suasana yang mencekat sudah berakhir. Aku tak perlu berpura-pura untuk sekarang.
"Kakek Tabib, tolong buatkan ramuan itu lagi. Kirimkan setiap pagi padaku agar aku cepat sembuh." Aku memerintah kakek tabib.
"Baik, Yang Mulia Pangeran. Saya akan membuatkannya untuk Anda," balas sang kakek tabib.
"Anda boleh pergi."
"Saya undur diri, Pangeran." Kakek Tabib meninggalkanku, Jingmi, dan Jia.
Hening. Tak ada percakapan antara kami bertiga. Jingmi dan Jia mungkin canggung padaku karena jabatanku lebih tinggi dari mereka. Memecah keheningan, aku berinisiatif untuk bertanya. "Apa yang terjadi sebenarnya padaku?"
Jingmi dan Jia saling pandang. Ini mencurigakan. Kenapa mereka tak menjawab?
"Aku tahu kalian pasti dilarang oleh Yang Mulia Raja untuk menceritakan hal itu." Aku bicara asal. Tanpa diduga, mereka berdua mengerutkan alis sambil membuka mulut lebar-lebar.
"Ba-bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Jia dan Jingmi.
"Aku tidak mengetahuinya, aku hanya menebak hal itu," jawabku santai. Jingmi dan Jia menunduk, mungkin malu bahwa rahasia mereka terbongkar.
Aku berucap lagi pada mereka. "Jika itu tidak boleh, ceritakan kisah hidupku secara lengkap."
"A-anu…."
"Kenapa? Apa ada masalah?"
"Ti-tidak, Pangeran," jawab Jia ragu-ragu, "hanya saja ini mungkin bisa menyakiti Anda."
"Tidak apa-apa. Bantulah aku untuk mengingat semuanya." Cerita langsung dari sumber yang terpercaya dapat membantuku untuk menyusun rencana. Kesempatan yang bagus.
"Baiklah, jika Anda memaksa." Jia menghela napasnya pelan.
"Semuanya dimulai saat hari kelahiran Anda. Kemarau panjang sedang menerpa kerajaan saat itu. Sebagai kultivator hebat, Yang Mulia Raja dan Permaisuri mempersiapkan segalanya untuk Anda."
Raja dan Permaisuri kultivator hebat? Itu artinya, dunia ini memiliki sihir?
"Di hari kelahiran Anda, berakhir musim kemarau berkepanjangan itu. Tanaman yang mati kembali tumbuh subur. Panen padi pada bulan itu amat melimpah. Sayangnya, energi besar dari Baginda Raja dan Permaisuri membuat dantian Anda rusak dan tidak bisa digunakan untuk mengumpulkan energi qi." Jia berhenti bicara. Ia menunduk, menatap ke lantai.
"Mengapa kau berhenti?" Aku bertanya padanya.
"Sa-saya tak kuat, Pangeran," jawab Jia.
"Lanjutkanlah, demi ingatanku." Aku menatap wajahnya. Jia tidak membalas.
"Jing … mi? Ceritakan kelanjutannya."
"Ba-baik, Pangeran." Jingmi menyanggupi.
"Tahun demi tahun berlalu. Anda tidak tumbuh seperti anak kebanyakan. Anda rapuh dan mudah sakit. Itulah sebabnya Baginda Raja dan Permaisuri amat menyayangi Anda. Baginda Raja bahkan menugaskan saya dan Xi Jia khusus untuk merawat Anda.
Semasa kecil, Anda sering dihina oleh orang lain akibat kekurangan Anda yang tak bisa berkultivasi. Putra Raja dari Selir Pertama, Pangeran Wei, dan Putra Raja dari Selir Kedua, Pangeran Yong, selalu mengungguli Anda di segala bidang. Pangeran Kedua ahli dalam bela diri dan kultivasi, sedangkan Pangeran Ketiga ahli dalam alkimia dan pengobatan."
"Ceritakan langsung pada intinya saja," pintaku. Kisah Pangeran Feng terlalu menyedihkan. Ia tak bisa berkultivasi, dan selalu mendapat hinaan sejak kecil. Pantas saja Jia enggan untuk menceritakannya.
"Baik, Pangeran," jawab Jingmi. Jingmi pun melanjutkan ceritanya.
"Seminggu lalu, tepat di hari ulang tahun Anda yang ke-19, diadakanlah tanding beladiri khusus para prajurit. Namun, Pangeran Kedua menantang Anda untuk bertarung dan Anda terluka parah setelahnya." Jingmi mengakhiri kisahnya. Ia terdiam, wajahnya tak berekspresi.
Ternyata, menjadi seorang pangeran tak seenak yang kubayangkan. Konflik sudah pasti menerpa semua kerajaan. Aku tak boleh menyerah disini, demi kembali ke duniaku yang asli, dan bertemu orang yang kucintai, Ibu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top