Bab 29 "Langkah Awal"

Sikap Jingmi berbeda dengan saat dia menjadi pengawalku di Istana Koi. Peristiwa tadi di bawah jelas menunjukkan hal itu. Ia memaksaku untuk memberitahukan rahasia Pangeran Feng yang kusinggahi tubuhnya. Tidak, tidak mungkin dia berubah dari Jingmi yang baik menjadi kasar.

Suara ketukan di pintu kamar membuatku tersenyum. Mereka berdua menuruti permintaanku. Anehnya, Jingmi yang seorang Kapten prajurit tidak curiga. Ia benar-benar ingin mengetahui keadaan Feng saat ini.

"Masuklah." Aku mempersilahkan mereka masuk.

Pintu kamar terbuka. Pria berbaju besi dengan ukuran ikan dan perempuan ber-hanfu kumal masuk ke kamar pribadiku.

"Jangan basa basi. Cepat katakan informasi tentang Pangeran Feng." Pria itu, Jingmi, berucap dengan suara baritonnya. Perempuan di samping Jingmi menyenggol dengan sikut. Ia berbisik ke telinga Jingmi.

"Hati-hati. Tidak mungkin seorang pelayan memiliki kamar sebesar ini." Ucapannya dengan mudah kudengar karena kultivasiku menajamkan kelima indra.

"Aku akan mengatakannya," ucapku, "tapi kalian harus mengatakan keadaan Istana Kerajaan Quon terlebih dahulu."

"Sialan kau!" Jingmi berteriak. "Rupanya kau adalah mata-mata!"

"Tenang dulu, Jingmi. Kau tidak perlu marah." Aku menonaktifkan jurus kamuflase, yang langsung memperlihatkan wajah asli dari Feng.

"Anda masih hidup?!" Mereka berdua seketika memelukku. Mereka terisak, melepas rindu mereka pada orang yang telah dijaga dengan penuh cinta. Air mataku menetes, ikut terharu dengan kedekatan tuan dan bawahannya. Feng bukan Pangeran yang semena-mena. Setelah sekian lama, aku mendapatkan orang yang bisa kuanggap teman. Mereka berdua selalu baik walaupun aku merupakan sampah kultivasi dan aib kerajaan.

"Tidak mungkin tuan kalian ini mati dengan mudah." Aku terkekeh. Mereka berdua melepaskan pelukan.

"Anda memakai jurus penyamaran? Bukankah Anda tidak bisa berkultivasi?" Jingmi bertanya, masih dalam keadaan terharu.

"Ceritanya panjang." Aku menjawab. "Perlu tiga tahun untuk menceritakan itu."

"Keadaan Istana Kerajaan sedang memanas, Tuan. Setelah kejadian penculikan Anda, Pangeran Kedua dan Pangeran Ketiga berebut posisi Putra Mahkota." Setelah keadaan menjadi tenang, Jia menjelaskan apa yang kutanyakan.

"Ceritakan semuanya padaku. Silahkan duduk." Jika terus berdiri seperti ini, lama-lama akan pegal. Lebih baik duduk saja. Jingmi dan Jia menurut. Mereka duduk di kursi di tengah kamar.

Aku menyiapkan tiga cangkir untuk minum teh. Kutuangkan teh di teko yang ada di meja ke dalam cangkir. Jia langsung berdiri saat aku akan menuangkan tehnya.

"Biar saya yang melakukannya." Kuberikan teko penuh teh melati pada pelayanku itu. Jia langsung menuangkan teh ke tiga cangkir yang telah disiapkan.

"Yang Mulia Raja memerintahkan Pangeran Kedua untuk mencari Anda. Ini demi meredakan suasana panas Istana akibat perebutan takhta." Jingmi menyesap teh yang dituangkan Jia. Jia yang telah selesai menuangkan teh, duduk di samping Jingmi.

"Informanku mengatakan bahwa kemarin pasukan Wei berada di Hutan Terlarang." Aku menimpali perkataan Jingmi. "Ia menemukan desa tempatku disembuhkan."

"Di Hutan Terlarang ada desa?" Jia bertanya dengan dahi yang berkerut.

"Ya, ada." Aku menjawab. "Setelah aku terluka parah karena para penculik itu, warga desa menemukanku dan berhasil menyembuhkanku dari luka." Sedikit berbohong tidak apa kan?

"Dan berhasil memperbaiki dantian Anda?"

"Y-ya." Semoga saja mereka tidak menanyakan ini lebih lanjut. Jangan sampai mereka mengetahui kejadian sebenarnya.

Jingmi kembali meneguk teh melati yang kusajikan.

"Tunggu sebentar. Aku akan memberikan ramuan itu pada kalian." Aku beranjak dari kursi. Mengambil ramuan yang berada di lemari di sudut ruangan dekat dapur. Ramuan yang kusimpan di botol keramik putih. Aku menyerahkannya pada Jingmi. "Ini."

Jingmi membuka kain penutup lubang botol ramuan. Ia menghirup ujung botol, mungkin sedang mengecek baunya. "Baunya harum. Tidak seperti ramuan yang lain."

"Tentu saja." Aku membalas bangga. "Ramuanku dibuat dengan bahan rahasia yang tidak bisa didapatkan di tempat lain."

"Bagaimana bisa?" Jia ikut menimpali.

"Itu rahasia." Aku tertawa melihat ekspresi Jingmi dan Jia yang masam. Mereka mengerucutkan bibir. Dahi mereka mengerut.

"Anda memang suka bercanda, Tuan." Jia berucap masih dengan wajah masamnya.

"Ini yang kita rindukan selama setahun." Jingmi tersenyum tipis. Setetes air keluar dari kedua matanya.

"Kalian benar-benar menyayangiku sepenuh hati. Semoga saja kita tetap seperti ini selamanya." Aku meneteskan air mata. Mereka adalah orang yang paling peduli padaku. Aku akan menjaga mereka dari bahaya. Harus.

"Terima kasih ramuannya, Tuan." Mereka berdua berucap.

"Sama-sama." Aku membalas. "Kalian cepatlah kembali. Jangan sampai ada yang curiga kalian terlalu lama disini."

"Baik. Kami akan pergi." Jingmi dan Jia bangkit. Mereka berdua membungkuk padaku. "Terima kasih, Tuan. Kami undur diri." Mereka berdua berjalan menuju pintu, kembali lagi ke istana tempat mereka bertugas.

***

Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Namun kedai masih ramai oleh para pelanggan. Aku sedang mencuci piring dan cangkir yang kotor di kolam khusus mencuci peralatan di dapur. Kedai akan tutup setelah para pelanggan selesai makan. Karenanya semua peralatan akan segera dicuci.

Setelah selesai mencuci, aku menaruh cangkir dan piring dari tanah liat itu di lemari untuk mencegah kotor kembali. Aku kembali ke tempat biasa aku berdiri, meja pembayaran di depan.

Seorang pria berbadan besar mendekati meja pembayaran. Ia mengenakan baju hitam yang sesuai dengan rambut panjangnya yang terurai hingga pinggang.

"Berapa semuanya?" tanya pria itu.

Aku yang tadi melayani sang pria mengatakan total harga makanan yang ia pesan. "Dua koin perak, Tuan."

"Baiklah." Pria itu merogoh kantong di ikat pinggang hitamnya, mengambil dua koin perak. "Ini." Ia menaruhnya di atas meja.

"Terima kasih atas kunjungannya, Tuan." Aku mengambil koin itu dan memasukkannya ke dalam laci meja pembayaran.

"Sebelum pergi, aku akan bicara padamu."

"Apa yang ingin tuan bicarakan dengan saya?" tanyaku.

"Kerajaan mengadakan sayembara untuk menemukan Pangeran Feng, hidup atau mati. Hadiahnya adalah seribu koin emas. Cukup menggiurkan." Pangeran Feng? Bukankah Raja telah mengutus Wei untuk mencarinya?

"Saya ingin mengikuti sayembara itu. Tapi sekarang saya bekerja sebagai pelayan disini, Tuan." Aku menolak tawaran itu secara halus. Aku bahkan sudah mengetahui lokasi Feng berada. Ya, karena aku berpindah tubuh ke tubuh Pangeran Pertama Quon itu. Untung saja aku sudah mengaktifkan jurus kamuflase energi qi untuk menyamarkan ciri Feng. Sebagai gantinya, aku harus rajin berkultivasi agar energiku tidak cepat habis karena jurus itu memakan banyak energi saat digunakan.

"Seribu koin emas cukup untuk biaya hidupmu untuk beberapa tahun. Gaji di kedai ini belum tentu mencukupi." Aku tidak tertarik dengan uang. Percuma, uang tak bisa mengantarkanku untuk kembali. "Apalagi kau memiliki kesempatan untuk menjadi bawahan Pangeran Wei, kandidat terkuat Putra Mahkota."

"Maaf, Tuan. Sepertinya saya harus menolaknya."

"Sayang sekali. Padahal Pangeran Wei sedang mencari artefak Dewa Kegelapan untuk memperkuat Kerajaan Quon ini. Hadiahnya pasti akan jauh lebih besar."

"Artefak Dewa Kegelapan?" Aku memekik kaget. Ini merupakan peluang besar untuk menemukan pelaku pencurian artefak. Namun pencarian ini mencurigakan. Dewa Pengetahuan mengatakan bahwa artefak itu sudah dicuri. Pria ini mengatakan bahwa artefak itu masih dalam pencarian. Apakah ini jebakan?

"Ya. Bagaimana?"

"Aku akan menerimanya." Satu-satunya cara untuk memastikannya hanyalah dengan mengikuti. Semoga saja pelakunya bisa kutemukan. "Bagaimana rencananya?"

"Datanglah ke perbatasan Quon. Kita akan berkumpul disana." Pria itu langsung pergi setelah mengatakannya.

Langkahku semakin dekat ke artefak itu. Kunciku untuk memenuhi perjanjian dengan Kakek Jun akan segera terpenuhi. Semoga saja semuanya berjalan sesuai keinginanku.

_______________________________

Jangan lupa vote dan comment yaa!

Bogor, Kamis, 12 Januari 2023
Ikaann

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top