Bab 22 "Rencana Selanjutnya"
"Selamat, Nak. Kau sudah cukup kuat."
Dewa Pengetahuan--- atau Kakek Jun--- keluar dari serpihan perisai energi penuh asap sambil bertepuk tangan. Tubuhnya tidak terluka sama sekali akibat jurus Telapak Tangan Dewa yang mampu menghancurkan perisai miliknya. Jika ia tak terluka, kenapa Kakek mengakui aku sudah cukup kuat?
"Sejauh ini, tak ada yang bisa menghancurkan perisaiku. Kau satu-satunya makhluk fana yang berhasil menembus perisai seorang dewa." Kakek Jun berucap. Tangannya menepuk bagian hanfu yang kotor yang ia kenakan akibat ledakan.
Aku tak membalas perkataan Kakek. Energiku benar-benar habis setelah menggunakan Jurus Telapak Tangan Dewa dengan kekuatan penuh. Sebenarnya, jika Kakek Jun berniat melanjutkan pertarungan, maka ia akan menang telak. Aku tak memiliki kesempatan saat energi dalam dantian-ku habis. Aku terjatuh ke tanah, dalam posisi terlentang.
"Energimu habis. Sebaiknya kita beristirahat dulu sebelum melanjutkan rencana." Kakek sudah berada di dekatku. Tangan keriputnya meraih badanku. Ia membopongku ke batu yang dinaungi dedaunan rimbun pohon apel di pinggir Danau Qi. Sesampainya di batu, ia menyandarkanku di tempat kesukaanku itu.
"Minumlah air danau ini." Kakek Jun memberikan sebuah botol keramik berwarna putih. Aku mati-matian berusaha meraih botol itu dengan tangan. Dengan segera, aku meminum air Danau Qi yang sangat bermanfaat untuk pemulihan energi. Air sejuk itu masuk ke mulut, mendinginkan saluran pencernaanku. Dantian-ku perlahan terisi energi, mengembalikan sebagian tenaga yang hilang akibat bertarung dengan Kakek Jun. Setidaknya, dengan energi yang sedikit ini, aku bisa leluasa bergerak tanpa rasa lemas.
"Apa maksud Kakek dengan 'makhluk fana yang berhasil menembus perisai dewa'?" Aku bertanya.
"Kau satu-satunya makhluk fana dalam kurun waktu kehidupanku, yang menghancurkan perisaiku," jawab Kakek Jun.
"Seharusnya Kakek mampu mengalahkanku dengan mudah."
"Jika aku melakukan itu, kekuatanmu yang kuat seperti ini takkan muncul." Alasan yang cukup masuk akal.
"Setelah ini, aku harus melakukan apa?" tanyaku.
"Kita akan pergi ke Hutan Terlarang untuk melanjutkan pencarian artefak." Kakek Jun menjawab.
***
Lembab dan gelap. Seperti inilah suasana hutan yang ditakuti oleh orang-orang di sekitarnya, Hutan Terlarang. Setelah tiga tahun berlalu, aku kembali merasakan kesuraman dari hutan dengan segala macam isinya ini. Pemandangannya pun masih sama, remang-remang dengan sedikit cahaya, dan lembab.
"Semuanya tak berubah." Aku bergumam.
"Tentu saja." Kakek Jun menyahut. "Dalam hitungan dunia ini, kau hanya hilang selama sembilan bulan saja."
"SEMBILAN BULAN!" Bagaimana mungkin? Aku berada di Dimensi Kakek Jun selama tiga tahun, atau kurang lebih 1,095 hari. Selama waktu itu juga aku berlatih keras. Melahap segala buku tentang jurus, kultivasi, ramuan, dan beberapa pengetahuan tentang dunia ini. Satu-satunya yang mungkin adalah, waktu di Ruang Dimensi Kakek Jun berjalan lebih cepat daripada dunia. Namun, bagaimana itu bisa terjadi?
"Karena waktu di dalam Ruang Dimensiku berjalan lebih cepat dari dunia. Satu hari di dunia sama dengan empat hari di Ruang Dimensi, lebih jelasnya satu bulan di dunia nyata sama dengan empat bulan di Ruang Dimensi." Kakek Jun menjelaskan panjang lebar. Sudahlah, itu mungkin salah satu kekuatan 'ajaib' Kakek Jun yang tak bisa dijelaskan kepadaku.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Kek?" tanyaku.
"Kau harus pergi ke desa di bagian timur hutan ini." Kakek Jun memberitahu. "Warga desa itu adalah pengikut setiaku."
"Aku tidak tahu timur itu sebelah mana." Jika hutan ini tak temaram dan cukup terang, akan mudah untuk menentukan arah melalui matahari.
"Kau gunakan elemen tanah untuk menentukan arah." Kakek Jun berucap. "Ingat esensi elemen tanah, kokoh, lembut, kepekaan, dan alam."
"Baik, Kek."
"Sebelum itu, aku akan memberimu bekal. Karena aku tak bisa menemanimu lebih jauh lagi." Kakek berucap sendu. Ia menjentikkan jari tangannya, memunculkan beberapa botol keramik juga sekantong koin yang bergemerisik saat mendarat di tangan Kakek yang sudah keriput. Ia
"Jika aku ingin bertemu Kakek bagiamana?"
"Aku akan berada di Ruang Dimensi. Aku akan bersembunyi di sana, dan aku akan memberikan ini." Ia melepaskan sebuah cincin giok hijau dari jari manisnya. "Cincin Ruang Dimensi milikku."
"Terima kasih, Kek, atas semua yang telah Kakek berikan padaku." Aku mendekat pada Kakek Jun. Kupeluk ia erat, sebagai ungkapan terima kasih. Jika tak ada dia, aku akan berakhir menjadi santapan para serigala domba hutan terlarang. Jika aku tak ditolong, aku mungkin akan meninggal dan tak bisa kembali ke dunia asalku. Aku takkan melupakanmu, Kek.
"Selamat berjuang, Nak. Doaku selalu bersamamu." Tubuh renta Kakek Jun memudar perlahan, berpecah menjadi butiran-butiran kecil yang terbang ke langit.
"Selamat tinggal, Kakek. Terima kasih atas semuanya." Aku berucap pada butiran-butiran cahaya yang memudar, hingga butiran itu hilang sempurna.
Sekarang adalah saatnya aku melanjutkan perjalanan.
Aku memasang kuda-kuda, bersiap mengeluarkan energi elemen tanah untuk menentukan arah mata angin. Pendar cahaya coklat tua menyingkirkan sebagian kegelapan dari pandangan. Aku mengalirkan energi elemen ke sekitar, meraba-raba denah lokasi hutan. Esensi elemen tanah adalah kokoh, lembut, kepekaan, dan alam. Pepohonan disini mungkin akan merespon energi tanah, dan akar dari pepohonan bisa menunjukkan arah. Benar saja, dalam beberapa detik, sebuah akar pohon keluar dari tanah dan menunjukkan arah timur.
"Rupanya ke arah sana." Aku berjalan sesuai arahan akar pohon yang mencuat. Aku menggunakan Jurus Peringan Tubuh untuk berlari di dahan pepohonan agar perjalananku semakin cepat ke desa yang dimaksud Kakek Jun. Ternyata, jurus tingkat rendah pun berguna di saat seperti ini.
Pepohonan di sekitarku bergetar hebat. Hal yang sangat mencurigakan, apalagi getaran itu terus menerus, berarti bukan gempa alami. Aku menghentikan perjalanan untuk sementara, menyelidiki keanehan yang terjadi.
Groaarr!
Suara beruang?
Seekor beruang yang berukuran sangat besar sedang melawan laba-laba raksasa. Tubuh beruang raksasa itu penuh dengan luka, sedangkan laba-laba raksasa tak terluka sama sekali. Kaki-kaki tajam milik sang laba-laba mencabik perut beruang yang penuh luka. Namun, sang beruang tak menyerah. Ia tetap melayangkan cakaran pada kaki laba-laba, yang dapat dihindari dengan mudah oleh lawannya.
Mereka pasti akan lama bertarung. Aku harus membereskan ini secepatnya untuk sampai ke desa.
Aku duduk di dahan pohon dalam posisi lotus. Energi elemen cahaya yang berwarna putih menguar, menggantikan pendar coklat tua elemen tanah. Sebuah bunga lotus terbentuk di bawah kakiku. Segera kuluncurkan kelopak tajam pada hewan buas yang masih bertarung di kejauhan.
"Seribu Kelopak Lotus!" Aku berseru. Hanya dalam beberapa detik saja, ratusan kelopak bunga lotus merobek tubuh kedua hewan hingga tewas. Daging dan darah segar berceceran menimbulkan bau amis.
Apa kedua hewan itu hewan mistik? Jika iya, aku harus mencari batu energi diantara daging yang berceceran. Dalam waktu singkat, aku menemukan dua buah batu yang berkilau diantara darah dan daging yang tersebar. Lumayan untuk cadangan energi qi.
Aku segera mengalirkan energi tanah untuk petunjuk ke arah timur. Aku menggunakan Jurus Peringan Tubuh lagi untuk mempercepat perjalanan.
Keadaan hutan yang temaram perlahan berubah terang saat jajaran pepohonan mulai renggang. Cahaya masuk dengan mudah melalui celah besar antar pohon. Dari kejauhan, barisan kayu yang dijadikan pagar terlihat jelas. Beberapa orang berdiam di sekitar pagar itu.
Apa mungkin itu tempatnya?
Aku mendekat ke pagar, tepatnya ke sebuah gapura yang terbuat dari bambu. Namun, kedatanganku yang tiba-tiba membuat orang yang berjaga menabuh sesuatu yang bersuara keras. Para penjaga menghalangiku dari gapura, menodongkan tombak bermata tajam.
"Siapa kau dan apa maksud kedatanganmu!?" bentak salah seorang penjaga.
___________________________________
Jangan lupa vote dan comment yaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top