Bab 2 "Pangeran Feng"

Hah? Ini dimana?

Aku bukan berada di jalan raya penuh kendaraan, bukan juga di rumah sakit yang dindingnya serba putih. Malah, aku berada di sebuah bangunan dengan bentuk yang mirip istana di film-film China yang pernah kutonton. Langit-langit bangunan bukan terbuat dari plafon, melainkan jajaran kayu yang menyangga genting tanah liat. Tiang-tiang penyangga atap berwarna merah tinggi menjulang, dipenuhi ukiran-ukiran ikan di permukaannya. Aku menatap baju yang kukenakan. Bukan baju seragam putih abu yang sebelumnya kukenakan, melainkan hanfu merah dengan ukiran emas.

Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Apa aku bereinkarnasi?

Aku mencoba bangkit dari tempatku. Namun sialnya, badanku mendadak nyeri. Aku merintih, kubaringkan lagi badanku di kasur yang empuk. Kasur empuk di bangunan mirip istana, apa aku sekarang menjadi seorang bangsawan? Ah, rasanya tidak mungkin. Seharusnya aku sudah mati dan berada di surga, bukannya terdampar di dunia aneh ini.

Suara teriakan perempuan bergema di ruangan luas ini. Suaranya lembut mirip seorang penyanyi terkenal.

"Ah, Pangeran Feng! Anda sudah bangun?" teriak si perempuan. Perempuan itu duduk di samping tempat tidurku. Dilihat dari dekat, perempuan itu cukup cantik. Dandanannya sederhana tak terlalu berlebihan. Pakaian hanfu berwarna coklat usang melekat di tubuhnya yang ramping. Rambut si perempuan diikat dan ditusuk dengan benda mirip sumpit.

"Siapa kau?" Aku bertanya padanya. Perempuan itu tak menjawab, ia malah menangis. Hei, kenapa kau menangis?

"Syukurlah Tuan sudah bangun. Seandainya Dewa menganugerahkan kultivasi pada Anda, Anda tidak akan terluka parah seperti ini." Tangisannya semakin keras, bahkan air matanya menetes ke kasur. Sebenarnya siapa perempuan itu? Mengapa ia berada disini?

"Sudahlah, jangan menangis." Entah kenapa, tangisannya yang tersedu-sedu itu membuatku terharu. Namun, suaranya membuatku risih. Tanpa tau alasannya, ia menangis di dekatku hingga air matanya menetes ke kasur. Kusuruh dia untuk berhenti menangis. Sayangnya, ia tak mendengarkan. Ia malah bangkit, lalu berbicara sambil menangis.

"Sa-saya akan memanggil ta-tabib untuk memeriksa keadaan Anda." Perempuan itu berlari keluar.

Sebenarnya, siapa perempuan itu?

Kepergian si perempuan membuat suasana tenang kembali. Perlahan-lahan, aku mencoba untuk duduk menyandar ke ujung tempat tidur. Kedua tanganku menopang badan yang terasa sakit, memaksa untuk bangkit.

Tak lama kemudian, perempuan itu kembali lagi bersama seorang kakek yang membawa sebuah kendi, dan seorang laki-laki yang memakai baju hitam.

"Tabib, Pangeran Feng telah bangun." Perempuan itu bicara pada kakek pembawa kendi.

"Syukurlah Pangeran telah bangun! Syukurlah!" ucap si laki-laki baju hitam. Ia bersujud di lantai berkali kali sambil berucap.

"Syukurlah Pangeran Feng selamat, Jingmi. Jika tidak, entah bagaimana nasib kita." Perempuan itu berucap dengan nada sedih.

Pangeran Feng? Siapa Pangeran Feng?

Sang kakek pembawa kendi mendekat padaku. "Mohon izin, Pangeran. Saya akan memeriksa keadaan Anda." Kakek yang disebut tabib itu meminta izin padaku. Aku mengangguk, tanda memberi izin. Namun aku masih bingung, kenapa aku disebut Pangeran?

Sang kakek memegangi kakiku. Tangannya memeriksa setiap bagian kakiku. Anehnya, tak terasa sedikitpun sakit saat si kakek memegangi kakiku. Tangan sang kakek beralih menyusuri bagian badan. Ia menekan-nekan perutku. Mendadak, rasa sakit luar biasa muncul saat si kakek menekan-nekan perutku. Isi perutku seakan diaduk-aduk, membuatku mual muntah. Tangan si kakek berpindah ke bagian dadaku setelah memeriksa perut. Ia kembali menekan-nekan dada, kali ini lebih kuat daripada saat menekan perut. Seakan ada yang memukul, dadaku mendadak sakit. Aku berteriak keras.

"Argh!"

"Racun yang berada di tubuh Pangeran belum sepenuhnya hilang," ucap si kakek, "saya akan membuatkan ramuannya. Mohon tunggu sebentar." Sang Tabib keluar dari ruangan ini.

Racun? Kenapa malah racun? Bukankah aku tertabrak mobil?

Sedari tadi, mereka menyebutku pangeran. Itu artinya aku sekarang berada di istana entah di kerajaan apa. Namun, siapa pangeran ini?

Mendadak, kepalaku sakit seakan ditusuk ribuan jarum. Aku mengaduh pelan. Di otakku, muncul gambaran kerajaan yang luas dan megah. Banyak bangunan bernuansa China yang muncul. Gambaran beralih ke dua orang yang duduk di kursi singgasana. Namun, wajah mereka buram. Tapi aku dapat memastikan, mereka adalah Raja dan Ratu kerajaan ini.

"Pangeran? Apa Anda baik-baik saja?" Kedua orang yang berada di dekatku bertanya panik. Jingmi--pria berbaju hitam itu sigap keluar ruangan untuk memanggil tabib. Ia berlari tergesa-gesa. Sedangkan perempuan yang entah siapa namanya, ia segera menghampiriku lalu memijat bahuku pelan.

Pemandangan sekelilingku memburam. Kepalaku masih sakit. Muncul lagi gambaran yang aneh. Prajurit berkuda saling membunuh. Darah membanjiri tanah yang kering. Orang-orang berbaju hitam membunuh siapapun orang yang berada di atas kuda. Sebenarnya siapa mereka? Apakah Jingmi--lelaki berbaju hitam itu anggota dari kelompok baju hitam?

Setelah rasa sakit yang begitu terasa, gambaran-gambaran itu berhenti muncul. Aku pun dapat melihat dengan normal lagi. Kakek tabib juga pria berbaju hitam itu telah kembali. Si kakek membawa sebuah botol dari kaca. Ia memberikan botol itu padaku.

"Minumlah ramuan ini, Pangeran. Ini adalah ramuan obat dari racun," ucap si Kakek Tabib. Kugerakkan tanganku untuk meraih botol itu, tapi rasa sakit yang muncul membuatku mengurungkan niat. Perempuan yang entah siapa namanya, mengambil botol ramuan. Ia mendekatkan botol itu di mulutku.

"Ini, Yang Mulia. Silahkan diminum," ucapnya lembut. Aku meminum cairan yang berada di botol kaca kecil itu.

"Uhuk uhuk!" Aku memuntahkan cairan yang baru saja kuminum. Agh, rasa ramuan itu seperti buah mengkudu yang dicampurkan ke tanah yang dilarutkan.

"Anda harus meminum ramuan ini, Pangeran. Agar Anda sembuh sepenuhnya." Kakek Tabib itu berucap.

"Pahit sekali!" bentakku.

"Pangeran, Anda harus tetap meminum ini agar Anda sembuh." Perempuan yang sedari tadi berada di sampingku berucap.

"Ya, benar apa yang dikatakan Jia. Anda harus meminumnya," ucap Jingmi.

"Shh ... baiklah...." Kupaksakan untuk meminum ramuan yang sangat pahit itu. Rasa mual kembali muncul, tapi kupaksakan untuk menghabiskan cairan pemberian Kakek Tabib. Akhirnya, cairan pahit itu habis. Huek! Aku ingin muntah!

"Tuan Tabib, Pangeran tidak memanggil nama saya saat bangun. Apa yang terjadi padanya?" tanya si perempuan pada tabib.

"Sepertinya Pangeran Fengying mengalami hilang ingatan karena kejadian itu." Kakek Tabib menjawab pertanyaan si perempuan. "Luka yang diderita Yang Mulia Pangeran sangat parah. Hal itu bisa terjadi."

Aku memberanikan diri untuk bertanya. "Siapa Pangeran Fengying itu?"

Jingmi, Jia, dan kakek tabib mengerutkan dahi akibat pertanyaanku. Perempuan itu-- Jia, menjawab, "Anda adalah Pangeran Fengying itu, Tuan."

"Dugaanku benar. Pangeran Feng mengalami hilang ingatan akibat duel dengan Pangeran Wei." Kakek Tabib menambahkan.

Mendadak seseorang berteriak kencang, "mengumumkan kedatangan Yang Mulia Raja Ho Hongli, Permaisuri Qui Mei Yin, dan Pangeran Kedua Ho Weiheng!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top