Bab 16 "Danau Qi"
Dewa Pengetahuan mengatakan bahwa sekarang aku sudah bisa berkultivasi. Beberapa menit yang lalu, ia memperbaiki dantian milikku dengan bola energi berwarna hijau. Aku mengalami rasa sakit yang luar biasa, dibuktikan dari darah hitam yang masih menempel di hanfu robek yang kukenakan.
"Sekarang, setelah dantian-mu pulih, aku akan melatihmu." Kakek Jun, Sang Dewa Pengetahuan berucap.
"Baiklah, Kek. Aku akan melakukannya," jawabku. Aku duduk di pinggir danau dengan posisi bersila. Eh, tapi bagaimana caranya berkultivasi ya?
"Duduklah di tempat yang teduh, Nak. Itu akan membuatmu semakin konsentrasi," saran Kakek Jun.
Mendengar saran darinya, aku segera berpindah tempat ke bawah salah satu pohon apel di pinggir danau. Kakek Jun mengekor dari belakang. Aku duduk kembali dengan posisi bersila, seperti saat di batu teratai itu.
"Sekarang, tutup matamu. Aturlah napasmu baik-baik, dan berkonsentrasilah." Aku mengikuti arahan dari Kakek Jun. Kututup mataku, mencoba memusatkan fokus pada rasa tenang dan damai yang langsung terasa saat menutup mata. Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung, dan menghembuskannya perlahan lewat mulut. Kuulangi itu berkali-kali hingga sebuah energi asing masuk perlahan ke daerah perut.
"Jangan hilang konsentrasi," ucap Kakek Jun pelan, "energi asing itu akan terus masuk saat kau berkultivasi."
Aku melanjutkan kultivasiku, mencoba mengabaikan gelenyar asing yang terus muncul. Lama kelamaan, gelenyar itu semakin terasa hingga aku terganggu dan membuka mata.
"Apa yang kaurasakan, Nak?" tanya Kakek Jun.
"Gelenyar asing itu mengganggu konsentrasiku. Juga, sekarang aku merasa lebih segar," jawabku. Baru beberapa menit berkultivasi saja bisa membuatku merasakan ketenangan yang membuat hati sejuk. Badanku juga terasa lebih segar dalam beberapa menit. Apalagi jika sudah bertahun-tahun kultivasi, efeknya pasti jauh lebih besar.
"Semakin kuat energi yang kaurasakan, itu artinya qi di sekitarmu sangat melimpah. Itu bukan suatu hal yang buruk," timpal Kakek Jun.
"Oh iya, Kek. Mengapa disini penuh dengan energi qi?" tanyaku.
"Ini karena Ruang Dimensi milikku diciptakan dari Air Ilahi Dewa Alam. Bukan dari energi qi milikku sendiri," jawab Kakek Jun.
"Kakek pernah berkata waktu itu, semua pencatatan di Alam Semesta ada disini ya?"
"Tentu saja. Sebagai Dewa Pengetahuan, aku mencatat semua peristiwa penting yang pernah terjadi di Alam Semesta, juga segala pengetahuan yang berada di dalamnya."
"Apa itu artinya Anda mengetahui takdirku?" tanyaku penuh harap. Jika ia mencatat semuanya tentang Alam Semesta, itu berarti takdir para makhluk juga dicatat olehnya. Sebenarnya aku ragu Kakek Jun akan menjawab, tapi aku hanya ingin tahu apakah aku bisa kembali ke dunia asalku?
"Tidak." Jawaban Kakek Jun agak mengecewakan. "Mencatat takdir itu adalah tugas dari Dewi Takdir, dan Dewa Alam tak mengizinkannya untuk melihat tulisan takdir. Lagipula, itu adalah rahasia dari Dewa Alam yang harus dijaga."
Aku bersandar pada batang pohon apel. Mengambil sebuah apel merah yang jatuh dari pohon. Aku memakan apel itu perlahan.
"Kau sepertinya ragu akan takdirmu, Oryza?" Pertanyaan dari Kakek Jun langsung membuatku tersedak.
"Uhuk! A-apa maksud kakek?" tanyaku.
"Kau tak usah ragu, karena apapun yang akan terjadi, maka itu akan terjadi."
"Aku masih kurang paham," ucapku.
"Kau merindukan ibumu?" Aku mengangguk atas pertanyaan Kakek Jun. "Maka kau harus berusaha keras untuk kembali padanya."
Aku memalingkan wajah dari Kakek Jun.
"Kau butuh penyemangat dari kegalauanmu," ucap Kakek Jun, "aku akan menceritakan kisah para Dewa zaman dulu."
"Dewa Zaman dulu?" Aku bertanya.
"Ya. Mungkin kau nanti akan mendapat pelajaran dari kisah ini."
Kakek Jun pun memulai ceritanya. "Pada awal penciptaan alam semesta, Dewa Alam membentuk Waktu, Takdir, Pena dan Perkamen Ilahi, dimana keempat unsur itu berubah menjadi dewa-dewi paling awal yang diciptakan juga makhluk paling awal yang tercipta, yaitu Dewa Waktu, Dewi Takdir, dan aku, Dewa Pengetahuan. Kemudian Dewa Alam menciptakan Dewi Cahaya dan Dewa Kegelapan sebagai keseimbangan di alam semesta."
"Kemudian, Dewa Alam mulai menciptakan milyaran bintang termasuk matahari, juga planet-planet termasuk bumi. Sebagai satu-satunya planet yang disiapkan untuk kehidupan, Dewa Alam menciptakan seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kemudian berkembang hingga ribuan manusia."
Aku bertanya pada Kakek Jun, "Apa hanya bumi saja planet yang berisi kehidupan?"
"Ya. Hanya satu-satunya yang disiapkan untuk manusia. Manusia tercipta demi menjaga alam ciptaan Dewa Alam. Namun, seiring waktu, manusia terbelah menjadi orang yang taat pada Dewa, dan orang yang ingkar pada Dewa. Hingga mereka mati, jiwa orang baik berkumpul di Alam Dewa bersama Dewi Cahaya. Jiwa orang yang ingkar berkumpul di tempat yang kelam dengan Dewa Kegelapan."
"Apa saat itu manusia belum berkultivasi?" tanyaku.
"Belum. Dewa Alam tidak mengizinkan ilmu para Dewa turun ke bumi. Dia berkata, seharusnya manusia berusaha sendiri demi kebaikannya. Namun Dewa Alam berubah pikiran setelah mendapatkan pendapatku. Kultivasi bisa mempermudah manusia untuk menjaga bumi dan mengembangkan apa yang ada. Kemudian, Dia menanamkan setetes Air Ilahi yang berasal dari singgasana-Nya ke setiap mata air di seluruh bumi, hingga semua manusia bisa berkultivasi. Namun, seperti yang kaudengar dari ceritaku, manusia yang bisa berkultivasi mencemari alam yang indah. Kemudian Dewa Alam mencabut Air Ilahi dari bumi, dan membiarkan manusia mengembangkan kultivasi dengan caranya sendiri."
"Kakek, bagaimana bisa artefak Dewa Kegelapan bisa dicuri?" tanyaku saat Kakek Jun bercerita.
"Masih ingat bahwa jiwa orang yang ingkar berkumpul dengan Dewa Kegelapan?" Aku mengangguk mendengar ucapan Kakek Jun. "Jiwa-jiwa manusia ingkar itu ia kumpulkan hingga membentuk sebuah batu prasasti berkekuatan luar biasa, ia pun mengobarkan perang dengan seluruh Dewa di Alam Dewa."
"Mengobarkan perang?"
"Ya, demi merebut takhta kepemimpinan Alam Semesta dari Dewa Alam. Kami para Dewa, juga jiwa orang yang taat berperang melawan Dewa Kegelapan. Dewa Alam tidak ikut berperang karena Dia mengatur semua jalannya makhluk. Pada akhirnya, Dewa Kegelapan kalah dan disegel oleh para Dewa di artefaknya yang sakti itu. Setelah ribuan tahun, artefak itu dikubur dalam-dalam di bumi, agar jiwa orang ingkar tidak masuk ke Alam Dewa. Aku pun membentuk perisai kuat di sekitar artefak itu untuk menjaga agar para manusia tidak mencuri artefak. Namun, setelah ribuan tahun berlalu, perisaiku melemah dan bisa ditembus oleh seorang makhluk fana. Sudah pasti ia akan membawa kehancuran di bumi." Dewa Pengetahuan, Kakek Jun, mengakhiri ceritanya, membuat suasana menjadi hening.
"Apakah aku harus melawan orang itu?" tanyaku.
"Kau harus melawannya. Hanya kau yang bisa untuk mengalahkannya. Para Dewa tak boleh ikut campur terlalu kuat dalam takdir manusia lagi, bahkan yang kulakukan saat ini melanggar perintah Dewa Alam. Namun aku tak bisa membiarkan pengetahuan mulia yang kuturunkan ke bumi hancur sia-sia."
Sulit, benar benar sulit. Aku harus melawan orang yang kekuatannya setara dengan seorang dewa. Aku harus berlatih sekuat tenaga demi mencapai tujuanku, kembali ke dunia asliku. Tapi, apakah aku bisa mengalahkan orang itu? Zaman dahulu pun, seluruh Dewa harus bersatu melawan Dewa Kegelapan demi mengalahkannya. Sekarang aku harus mengalahkan orang yang telah mencuri artefak itu dengan tanganku sendiri, tanpa bantuan siapapun.
"Tenanglah, Nak. Aku takkan meninggalkanmu seperti para Dewa lain. Aku akan membantumu." Ucapan Kakek Jun setidaknya menenangkanku yang kebingungan
"Kalau begitu, tolong bimbing aku, Kakek!" Aku membungkuk pada Kakek Jun. Setelah ini, tak akan ada lagi waktu untuk bersantai. Aku harus berusaha keras demi mengalahkan orang itu.
____________________________________
Jangan lupa vote dan comment yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top