Bab 1 "Insiden"
"Ughh!"
"Iza, kamu itu laki-laki atau perempuan sih? Tidak bertenaga sama sekali!"
"Hahahaha!"
"Ini kesempatan yang bagus! Tidak ada orang lain!"
Pukulan demi pukulan mereka layangkan padaku. Mereka berteriak dalam bahasa Jawa yang sedikit kumengerti. Aku tahu, apa penyebab mereka melakukan ini. Mereka bertiga, orang yang memukulku adalah geng yang menjadi langganan masuk ruang BK. Dan aku melaporkan mereka pada guru BK karena mereka merokok memakai seragam sekolah. Mereka bertiga dihukum menyapu taman dan membersihkan toilet sekolah. Mengapa aku melaporkan mereka? Karena mereka merokok di warung kepunyaan ibuku. Itu merusak citra ibuku yang baik-baik dan menolak memberikan rokok pada anak di bawah umur. Itu alasan aku berani melaporkan mereka.
"Masih berani, hah?" bentak Fitra, si ketua geng berbadan jangkung dan besar. Ia menarik kerah bajuku, membuatku terangkat beberapa senti dari tanah.
"I'm not afraid. You should stop this, Fitra." Aku menjawab tanpa ragu. Namun, tangan Fitra yang satunya menghantam pipiku keras hingga aku terpelanting ke tanah.
Aku bangun setelah dipukul oleh Fitra dan kawan-kawan, mengabaikan rasa sakit yang kualami. Pipiku sakit akibat pukulan mereka. Badanku rasanya sudah tak bertulang lagi dan akan roboh. Namun, kupaksakan untuk bangkit. "I'm not afraid, Fitra. You can't make me afraid."
"I'll kill you, Oryza!" Fitra berseru keras, hendak merangsek padaku yang baru bangkit dari pukulan. Namun, teman-teman Fitra yang berada di sampingnya mencegah Fitra mendekat padaku.
"Fit, jangan. Nanti kita di-DO kalau kena peringatan lagi!" seru Ragil, lelaki tambun anak buah Fitra.
"Iya, mending kita tinggalkan si cepu culun ini!" Yogi, anak laki-laki tinggi besar berucap. Akhirnya, Fitra mengurungkan niat untuk menghajarku lagi. Ia dan dua kawannya pergi meninggalkanku di kebun belakang sekolah yang sepi.
Pukul lima sore, aku berjalan limbung akibat pukulan geng Fitra. Keadaan sekolah sudah sepi sekali karena kini sudah jauh dari jam pulang. Pedagang yang berjualan di kantin juga sudah pulang, begitu juga para penjaga sekolah. Aku berjalan ke pintu besi kecil di ujung kebun. Kebun belakang sekolah ini tak terawat sama sekali. Banyak rerumputan yang sudah tumbuh meninggi, membuatku semakin sulit berjalan. Beberapa pohon sudah berbuah, tapi tidak ada orang yang ingin memetiknya hingga banyak sekali buah yang membusuk. Aku harus pulang sebelum sore berlalu. Jika tidak, ibu akan sangat marah nanti. Dalam cahaya jingga matahari yang mulai terbenam, aku berjalan ke luar sekolah melalui pintu belakang.
Ini semua gara-gara melapor pada guru akibat ulah mereka. Jika tidak, aku tak akan dipukuli seperti ini. Ah, tapi mereka sudah menghina ibu, orang yang melarangku untuk merokok dan menolak untuk memberikan rokok pada anak di bawah umur, itu artinya aku harus bertindak. Lagipula, mereka harus kapok karena selalu melanggar peraturan sekolah. Mereka bertiga, Fitra, Yogi, dan Ragil sudah kelas 12, bukan waktunya lagi untuk bermain dan berbuat salah.
Ah, Iza! Kamu berkata seolah kamu sudah sukses saja. Sebaiknya jangan pikirkan mereka. Lebih baik pikirkan nilai matematikamu yang turun kemarin!
Keadaan jalanan kota Surabaya begitu ramai, mungkin tak seramai Jakarta sebagai ibukota negara. Mobil dan motor berseliweran di jalan, klakson kendaraan seakan wajib dibunyikan saat ada kemacetan. Rumahku tak jauh dari sekolah ini, hanya beberapa ratus meter jaraknya. Aku tak membawa motor karena jarak rumahku dengan sekolah cukup dekat. Saat berjalan, handphone di kantong celanaku tiba-tiba berbunyi. Ternyata Farid, sahabatku yang menelpon.
"Halo, Za. Kamu dimana?" tanya Farid dengan suara yang keras.
"Ini, masih di jalan, Rid. Ada apa?" Sebisa mungkin, aku menyembunyikan rasa sakit di balik suaraku dengan berbicara dengan jeda. Semoga saja ia tidak sadar.
"Lho, Za … Iza. Sampeyan iki wong Suroboyo, ora bule."
Huft, untungnya Farid tak menyadarinya.
"Ora ngerti apa kamu bicara, Rid. Pakai bahasa Indonesia saja." Aku menjawab. Jujur, walaupun aku tinggal di Surabaya, aku tidak bisa bicara bahasa Jawa. Aku lahir di London, pindah ke Indonesia tiga tahun lalu. Ibuku orang Jawa asli. Bisa dibilang, aku itu darah campuran Indo-British. Belajar bahasa Indonesia juga aku baru lancar setahun ini. Jadi, yaa … kaku sekali bahasaku ini. Sedikit-sedikit, aku belajar bahasa Jawa dari Ibu dan Farid.
"Oke. Kamu mau main ke rumahku? Abis pulang sekolah." Farid menawarkan.
"Shh … Ora iso, Rid. Aku ada kerja kelompok." Aku berbohong pada Farid. Jangan sampai ia mengetahui keadaanku. Bisa-bisa, ia malah melapor pada ibuku nanti.
"Lha, jarang-jarang lho kamu ngaso. Kerjaanmu belajar, belajar, belajar aja." Farid tertawa mendengar jawabanku.
"Itu bukannya tugas kita ya? Aku takut dimarahi bapak ibu guru." Bukan apa-apa, ibu selalu bilang aku harus rajin belajar agar tidak dimarahi bapak ibu guru sejak kecil. Akhirnya, kebiasaan belajar itu terbawa hingga besar. Ajaib sekali ibuku itu.
"Kamu itu lho, kapan mainnya? Nanti kamu gak punya temen lho."
"Ish. Kamu itu jangan berdoa yang buruk-buruk, Rid!" Aku emosi mendengar ucapan Farid yang seakan menggurui.
Suara klakson mobil maupun motor semakin kencang. Tak biasanya ramai seperti ini. Kututup telepon dari Farid, ia marah-marah, namun untungnya aku tak mendengar lebih jelas.
Aku melihat ke sekeliling, di sekitarku banyak motor dan mobil. Aku terkejut setengah mati, karena sekarang aku tidak berada di trotoar pinggir jalan, tapi ada di tengah-tengah jalan kendaraan berlalu lalang. Mendadak tubuhku kaku, tak bisa bergerak sedikitpun. Sedangkan sebuah mobil berwarna hitam melaju ke arahku dengan kecepatan yang tinggi.
Ah! Kenapa kakiku tak bisa bergerak?! Apa ini gara-gara Fitra?
Sedetik kemudian, mobil itu menghantam tubuhku yang tak bergerak sama sekali. Aku terpental beberapa meter ke belakang. Kepalaku membentur aspal jalanan yang keras. Pemandangan di sekelilingku berubah buram. Kulitku dapat merasakan ada cairan kental yang mengalir di wajahku. Lantunan klakson mobil dan motor yang tadinya saling bersahutan, tak terdengar lagi.
Sekujur tubuhku terasa sakit luar biasa. Tulangku seakan remuk. Tubuhku tak bertenaga sama sekali untuk bangun. Kaki tanganku tak bisa digerakkan. Yang ada hanyalah kegelapan yang semakin nyata. Waktu terasa berjalan lambat, membiarkanku tergeletak tak berdaya. Mataku terpejam perlahan-lahan, membawa rasa kantuk luar biasa seakan aku tidak tidur berhari-hari. Akhirnya, mataku terpejam sepenuhnya.
Namun, sebuah cahaya terang mendadak muncul, membuatku silau dan terbangun dari kantuk. Cairan kental yang tadi menetes di wajahku tak terasa lagi. Perlahan, mataku terbuka, memperlihatkan ruangan bernuansa China kuno yang sama sekali belum pernah kukunjungi.
"Hah? Dimana ini?"
Aku terkejut setengah mati. Bukankah tadi aku berada di jalanan yang penuh kendaraan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top